Part 17

185 16 0
                                    

Setelah tak sadarkan diri selama hampir dua puluh jam, akhirnya, Morgan sadar juga. Pria itu terlihat sangat lemas dan tak bisa duduk seperti biasa. Aelke ngeri mendengar Morgan meringis sakit saat dia memaksakan diri untuk duduk.

"Gak usah maksain diri buat duduk gitu, Gan, kalo masih sakit." Ujar Aelke. Morgan menatap Aelke memelas. "Tapi, gak enak kalo tiduran terus. Kesannya, gue itu kayak apaan aja."

"Kamu kan masih sakit."

"Aku gak apa-apa. Seriusan." Morgan berusaha meyakinkan dan mencoba duduk kembali namun, sesaat kemudian, dia kembali berbaring memejamkan mata. Menahan sakit.

"Sebenernya, loe kenapa, sih, Gan? Loe jatoh dari motor? Kok, bisa?" tanya Dicky kepada Morgan. Morgan menarik nafas dan menjawab, "gue gak jatoh dari motor begitu aja. Sebelum jatoh, ada seseorang yang naik motor dan mukul gue pake balok dari belakang. So, gue kesakitan dan gue gak bisa ngendaliin motor gue sampe akhirnya kayak gini."

"Loe liat nomor plat motor orang itu?" tanya Ilham melipat tangan di depan dada. Morgan berpikir sejenak sebelum tersenyum tipis. "Jangankan plat motor orang itu, Ham. Orang itu siapa aja gue tau. Gue kenal sama orang itu dan kayaknya, dia mau bunuh gue karena gue udah tau semua rencana dia."

Aelke, Ilham, Dicky dan Rangga saling tatap satu sama lain sebelum bertanya bersamaan, "siapa, Gan?" Morgan tidak menjawab dan memilih untuk diam saja.


***


Morgan ke luar dari rumah sakit tiga hari setelahnya padahal, dokter sudah menyarankan agar Morgan berada lebih lama di rumah sakit. Tapi, Morgan benci rumah sakit. Itu yang menyebabkan pria itu memutuskan untuk segera kembali ke rumahnya. Ya, orang tua Morgan yang menyuruh Morgan kembali ke rumahnya lagi. Tanpa perlu menginap di rumah Sandra lagi.


Aelke sudah beberapa hari belakangan ini menginap di rumah Sandra. Aelke sudah meminta izin sebelumnya dengan Rafael dan Rafael mengizinkan Aelke menginap di rumah Sandra. Setidaknya, berkat Sandra lah Aelke bisa merasakan memiliki kakak perempuan atau bahkan, sahabat perempuan yang sampai saat ini belum pernah Aelke dapatkan.

"Kita makan di luar, yuk?" ajak Sandra. Aelke hanya menganggukkan kepalanya. Ini hari Sabtu dan Sandra libur dari kantornya.


Aelke dan Sandra pergi ke luar dari rumahnya menggunakan taksi. Mereka makan siang di sebuah restoran tradisional yang sebelumnya, belum pernah Aelke kunjungi. Seperti restoran makan khas Sunda.

Aelke membaca menu di sana. Hampir sebagian besar menunya memang benar-benar makanan Sunda. Lengkap dengan sambal dan seladanya.


***


"Mau ke mana, Gan?" tanya Elizabeth kepada Morgan yang tampak sangat rapi hari ini. Morgan menjawab singkat, "ke luar. Cari udara segar."

"Kamu baru pulang dari rumah sakit." Elizabeth menekankan kepada putranya yang keras kepala itu.

"Dan aku mau ngerasain udara segar. Di rumah sakit, gak ada udara segar. Yang ada itu bau obat di mana-mana." Jawab Morgan.

"Kamu belum sembuh sepenuhnya."

"Aku udah sembuh." Morgan berusaha meyakinkan ibunya itu.

"Enggak. Dokter bilang, seharusnya kamu belum boleh pergi dari rumah sakit sekarang. Kamu masih harus banyak istirahat." Ujar Elizabeth.

"Aku gak bisa istirahat kalo di luar sana ada seseorang yang butuh aku."

"Sepenting apapun orang itu, kamu tetap harus istirahat." Elizabeth berusaha melarang putranya itu.

"Tapi, aku gak bisa, Ma. Aku harus ngelindungin dia"

"Gan, gimana kamu bisa ngelindungin dia kalo ngelindungin diri kamu sendiri aja kamu gak bisa?"


***


Selesai makan siang, Sandra mengajak Aelke berjalan-jalan ke mall. Ya, biasa. Kebanyakan wanita memang pecinta belanja, kan?

"Aku mau beli tas." Ujar Sandra.

"Tas apa?" tanya Aelke.

"Di sana aja, ya!" Sandra tanpa permisi menarik tangan Aelke masuk ke dalam sebuah toko aksesoris yang menjual tas dengan motif yang lucu. Sementara Sandra memilah-milih tas yang akan dia beli, Aelke juga melirik-lirik aksesoris di sana. Saat tengah sibuk memilah-milih, handphone Aelke bergetar. Sebuah pesan masuk.


From: Unknown
Rafael ada sama kita. Mau dengar suaranya teriak karena kita siksa?


Tubuh Aelke bergetar membaca pesan itu. Beberapa detik kemudian, nomor tak dikenali itu menghubungi Aelke. Aelke melirik Sandra yang masih sibuk memilih tas dan memutuskan untuk menghindar dari Sandra untuk mengangkat telepon itu.

"Ha-halo?" Aelke mengangkat telepon itu setelah memastikan keadaan sekitarnya sepi. Baru mengucapkan halo, Aelke terkejut saat seseorang meraih cepat handphone-nya. Aelke membulatkan mata mendapati orang tersebut adalah Morgan, eh?

Morgan mengisyaratkan agar Aelke diam sementara dia mulai me-loud speaker handphone Aelke sehingga suara penelepon itu terdengar dengan jelas.

"Halo, manis. Remember me? Ray. Ah, semoga kamu masih ingat aku." Morgan memutar bola matanya mendengar suara Ray tersebut. Terdengar seperti penggoda ulung.

"Dan sepertinya, kita langsung to the point aja. Ini Rafael," Ray kembali berujar dan tak lama setelah itu, Aelke bisa mendengar jelas suara kakaknya yang berteriak kesakitan. Aelke menjerit kecil dan berkata, "please, jangan sakitin Rafael!" nadanya terdengar memohon.

"Rafael hanya akan memar sedikit kalo kamu datang malam ini ke tempat balapan liar kemarin. Kalo enggak, well, kamu akan ketemu kakak kamu ini di kamar jenazah. Gimana?" ujar Ray dari jauh di sana. Aelke melirik Morgan. Morgan berwajah serius dan menganggukkan kepalanya. Mengisyaratkan agar Aelke menuruti permintaan pria itu.

"O-oke. Jam berapa?"

"Jam tujuh paling lama, honey. We will wait for you." Ujar Ray sebelum mengakhiri panggilannya. Aelke mendesah ketakutan dan berpaling menatap Morgan.

"Raf-ael." Aelke menyebut nama kakaknya itu.

Morgan tersenyum tipis dan berkata, "permainan baru dimulai, Aelke. Don't be worry about it."

"Maksud kamu apa?" tanya Aelke bingung.

"Liat nanti, okay? Tenang aja."

"Gimana aku bisa tenang kalo Rafael dalam bahaya! Kamu gak pernah ngerasain apa yang aku rasain dan gak akan pernah ngerasain itu!" Aelke mulai kesal dengan Morgan yang terlihat terlampau tenang.

Morgan menatap Aelke lekat sebelum merengkuh pundak gadis itu. Mata Morgan bertemu dengan mata Aelke. "Kasih tau aku apa yang kamu rasain sekarang. Aku akan coba ngerasain itu." ujar Morgan menekankan.

"Aku..aku takut. Aku takut Rafael kenapa-napa." Aelke menggigit bibir bawahnya. Dia takut sekaligus gugup. Gugup karena Morgan yang sangat dekat dengannya sekarang.

"Aku juga ngerasain apa yang kamu rasain. Aku takut. Aku takut kamu kenapa-napa." Ujar Morgan lembut. Aelke hanya terdiam kehabisan kata. "Aku akan bunuh diri aku sendiri kalo kamu kenapa-napa, Ke. Ingat janji kamu? You have to take care of yourself for me."

"Tapi, aku gak mau Rafael kenapa-napa. Aku baru beberapa minggu bareng-bareng dia lagi. Aku gak mau kehilangan dia lagi." ujar Aelke. Morgan menarik nafas sebelum menarik tubuh Aelke masuk ke dalam dekapan hangatnya.


***


Malam harinya, Aelke menepati janjinya dengan Ray untuk menemuinya di arena balap kemarin. Aelke tidak datang sendiri tentu saja. Ilham, Rangga dan Dicky—atas perintah Morgan—datang bersamanya. Mereka bersembunyi di atas sebuah pohon besar berdaun lebat yang jika malam hari, tidak akan begitu terlihat dahannya.

Aelke menunggu di sana lima belas menit sebelum akhirnya, Ray datang bersama teman-temannya dengan sebuah mobil Jepp. Ray turun mendahului teman-temannya yang lain sambil mengerling menatap Aelke.

"Well, selamat datang kembali, cantik." Ujar Ray berjalan mendekat dan hampir menyentuh pipi Aelke jika Aelke tidak menepis tangannya itu.

"Mana Rafael?!" tanya Aelke. Ray terkekeh. "Kamu cantik kalo galak kayak gini." Ujar Ray. Aelke semakin marah di buatnya.

"Kakak gue mana?!" tanya Aelke lagi.

"Dia ada di mobil satunya lagi, Sayang. Dia akan segera datang." Ujar Ray mulai merengkuh kasar pundak Aelke.

"Sambil menunggu dia datang, gimana kalo kita bermain sedikit?"  

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang