Part 4

221 19 0
                                    

Morgan dan Aelke menghabiskan banyak waktu mereka di salah satu mall megah di Kota Depok, Jawa Barat. Sesampainya di sana, Aelke segera mengajak Morgan berkeliling. Awalnya, Morgan mungkin berpikiran Aelke akan sama seperti gadis-gadis lainnya yang akan langsung menuju ke kios pakaian tapi, pemikiran Morgan salah.

Aelke justru mengajak Morgan ke toko buku di sana. Toko buku? Yang benar saja. Di saat gadis-gadis lain sibuk memilih pakaian model terbaru yang akan mereka pamerkan ke teman-teman mereka, Aelke malah sibuk membaca sinopsis buku-buku yang ingin dia beli.

"Menurut kamu, bagusan ini atau ini?" tanya Aelke memperlihatkan dua buah buku kepada Morgan yang tadinya sibuk membaca buku juga. Aelke menunjukkan buku berjudul Blind Date dan Lovasket 4. Morgan melirik buku itu sebelum mulai berkomentar, "gak bagus dua-duanya."

"Loh, kenapa? Ini salah satu bestseller di Indonesia." ujar Aelke tak sependapat dengan Morgan.

"Ya, bestseller. Tapi, itu teenlit, Aelke." Morgan untuk pertama kalinya menyebut nama Aelke dan Aelke cukup terkejut karena Morgan menyebut namanya itu. "Kenapa?" tanya Morgan heran karena Aelke diam saja. Aelke kembali memfokuskan diri pada dua buku itu.

"Kalo teenlit emangnya kenapa?"

"Loe emangnya masih remaja? Umur loe berapa, sih?" tanya Morgan.

"Dua puluh tahun." jawab Aelke singkat.

"Nah, dua puluh tahun. Bukan remaja lagi. Jadi, cari bacaan yang sesuai dengan umur." Ucapan Morgan itu berhasil membuat Aelke kesal sendiri. "Jadi, maksudnya, aku gak pantes baca cerita teenlit gitu? Emangnya ada larangan buat baca teenlit? Emangnya salah?" tanya Aelke menggeram sebelum akhirnya berjalan melangkah menjauhi Morgan.

Morgan menutup buku yang dia baca dan meletakkannya kembali ke rak sebelum berjalan cepat menyusul Aelke yang sudah ke luar dari toko buku. Morgan mengimbangi langkahnya dengan Aelke dan berkali-kali memanggil nama Aelke agar gadis itu mau berhenti dan mendengarnya terlebih dahulu.

Aelke berjalan cepat menuruni eskalator hingga akhirnya dia sampai di lantai satu mall itu. Aelke berjalan cepat hendak ke luar dari mall. Morgan masih di belakang Aelke, berusaha menyusul namun, berkali-kali Morgan harus dihalangi dengan orang-orang yang lalu lalang.

Aelke berhasil sampai di luar mall dan berniat untuk mencari taksi dan saat ingin menyebrang, Aelke nyaris saja tertabrak sebuah motor yang melaju kencang jika saja, Morgan tidak datang cepat dan langsung menarik tangan Aelke.

"WOY!" Morgan sempat mengumpat pengendara motor itu sedangkan, Aelke hanya diam.

"Loe gak apa-apa?" tanya Morgan kepada Aelke yang menundukkan kepalanya. Morgan ikut menundukkan kepalanya dan mendapati sebuah kertas bertuliskan: 'Waktu kamu gak lama lagi'. Aelke menggigit bibir bawahnya. Apa ini lanjutan teror semalam?

Morgan meraih kertas itu dan membacanya kilat sebelum melemparkannya asal. Morgan merangkul Aelke dan berkata, "orang iseng. Gak penting." Lalu, Morgan kembali mengajak Aelke masuk ke dalam mall.


***


Morgan dan Aelke menghabiskan waktu mereka di dalam mall. Mereka memainkan beberapa permainan di Time Zone dan setidaknya, Aelke bisa melupakan teror tadi setelah bermain di Time Zone dan berhasil mengumpulkan banyak kupon.

"Dapet berapa kupon?" Morgan yang baru selesai bermain menghampiri Aelke yang hendak menukarkan kuponnya. Aelke mengedikkan bahu. "Gak tau berapa. Banyak." Aelke mengeluarkan banyak kupon yang dia dapatkan. Mungkin, ada sekitar lima puluh.

Lalu, Morgan ikut mengeluarkan kupon yang dia dapatkan. Aelke tercengang melihat seberapa banyak kupon yang Morgan dapatkan. Yang pasti, lebih dari punya Aelke. Bukan lebih lagi tapi, berkali-kali lipat. Morgan menyodorkan kuponnya bersamaan dengan Aelke.

"Di gabung, Mbak." Ujar Morgan kepada petugas penukaran kupon dengan hadiah itu.

Setelah dihitung, kupon yang mereka dapatkan berhasil memberikan sebuah boneka teddy bear kepada mereka. Morgan tentunya tidak menginginkan boneka itu jadi, dia memberikannya kepada Aelke. Aelke dengan senang hati menerimanya. Aelke memang suka boneka teddy bear.

"Mau ke mana lagi kita?" tanya Morgan.

"Makan siang?"


***


"Sial. Tadi sebentar lagi tapi, ada orang yang narik dia sehingga kita gagal menabraknya." Pria itu melapor kepada temannya yang lain. Yang satu kelompok dengannya.

"Hah? Siapa? Bodyguard bodohnya itu?"

"Bukan. Dia gak sama bodyguardnya."

"Terus, sama siapa? Dia gak mungkin ke luar rumah tanpa bodyguard itu."

"Serius. Dia gak sama bodyguardnya itu. Dia pergi ke luar rumah sama seorang pria. Gue gak kenal siapa pria itu."

"Singkirkan pria itu. Bagaimanapun caranya."

"Apa kita gak bicarakan baik-baik dengan 'dia' dulu? Ingat? Target pembunuhan kita cuma Aelke dan bukan pria itu."

"Ya, loe bener. Hubungi 'dia' dan tanyakan tentang ini."


***


Morgan tidak memakan makanan pesanannya selama beberapa menit. Yang dia lakukan hanyalah melihat cara makan gadis di hadapannya. Aelke terlihat seperti orang kelaparan. Bahkan, Aelke tidak sadar jika dia makan tidak rapih. Buktinya, beberapa nasi berserakan di sekitar bibirnya.

Morgan tersenyum sebelum menggerakkan ibu jari tangannya untuk menyingkirkan nasi itu dari sekitar bibir Aelke. Aelke diam tak berkutik.

Setelah memastikan tidak ada lagi nasi di sekitar bibir Aelke, Morgan menjauhkan tangannya dan mulai meraih sumpit yang akan dia gunakan untuk memakan menu makanan buatannya. Morgan berhenti makan saat kini, seperti bergantian, Aelke memerhatikannya.

Morgan terkekeh dan meletakkan sumpitnya. "Loe laper banget, ya? Sampe makan belepotan kayak gitu." Ujar Morgan. Morgan geli melihat pipi Aelke yang mulai merona, malu mungkin.

"Maaf. Udah lama gak makan ini. Selalu makan makanan rumahan." Ujar Aelke.

Morgan melipat tangan di atas meja dan menatap Aelke lekat. "Orangtua loe protektif banget sama loe, ya?" tanya Morgan. Aelke menganggukkan kepalanya. "Ya. Lebih tepatnya, ayah aku yang protektif. Satu-satunya anak yang dia bisa jaga, kan, aku." jawab Aelke tersenyum tipis.

"Kakak-kakak loe? Nyokap loe?"

Aelke mengedikkan bahunya. "Gak tau. Udah lama pergi. Sampe sekarang, belom ketemu lagi." Aelke berujar sedih.

Morgan menarik nafas sebelum tangan kanannya meraih tangan Aelke yang berada di atas meja. Morgan menggenggamnya erat lalu, mengelus punggung tangan Aelke lembut. Aelke kembali diam dan tak menolak sama sekali.

"Gue yakin, mereka pasti nyesel karena gak ngeliat gimana loe yang sekarang."

Aelke tersenyum. "Thanks, ya."

Genggaman tangan Morgan itu terlepas saat handphone Morgan berdering. Panggilan masuk. Morgan meraih handphone-nya dan melirik layar handphone-nya lalu, meletakkan handphone itu kembali ke kantung jaketnya. Aelke mengernyit.

"Kenapa gak diangkat?" tanya Aelke.

"Gak penting."

"Seriusan? Kalo penting gimana?"

"Gak peduli," jawab Morgan dengan sangat santai sambil mulai memakan makanannya lagi. Aelke menatap Morgan heran. "Emang dari siapa, sih?" Aelke bertanya penasaran. Morgan kembali meletakkan sumpitnya dan menelan makanannya. "Dari bokap gue."

"Nah, kenapa gak diangkat? Itu kan penting." Ujar Aelke.

Morgan menghela nafas. "Gak penting menurut gue. Yang dia omongin pasti tentang hal yang sama. Hal yang dari dulu gue tolak mati-matian."

"Tentang apa?"

"Perjodohan. Please, jangan ketawa dengar ini. Tapi, ya, seriusan. Gue dijodohin sama anak rekan bisnisnya bokap gue. Bokap gue sering desak gue buat ketemuan dan PDKT sama dia tapi, gue-nya gak pernah mau." Jawab Morgan lesu.

"Kenapa gak mau? Emang udah liat anaknya yang mana? Biar gak nyesel nantinya. Mungkin, dia jodoh kamu." Ujar Aelke.

"Gue gak percaya perjodohan. Yang gue percaya, jodoh itu ada di tangan Tuhan. Jodoh akan datang dengan sendirinya. Bukan dipertemukan oleh orangtua atau siapapunlah itu." 

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang