Part 6

184 17 0
                                    

Aelke benci fakta dia harus bangun pagi hari ini untuk bertemu dengan bodyguard barunya. Bodyguard pengganti sementara Zio.

"Nah, Non Aelke. Ini namanya Rafael. Dia yang akan jadi pengganti Zio selama beberapa bulan ke depan." Bi Ina memperkenalkan sosok pria berwajah Chinese kental kepada Aelke. Pria yang menarik dengan senyuman yang memikat. Tapi, sayangnya, senyuman itu belum mampu memikat perhatian Aelke.

"Hai, Rafael. Selamat datang di rumah ini." ujar Aelke berusaha untuk terlihat ceria. Rafael tersenyum. "Terima kasih sambutannya. Semoga saya bisa ngelaksanain tugas dengan baik, ya." Ujar Rafael.

"Ya, semoga." Balas Aelke.


***


Setelah berkenalan, Aelke segera mengajak Rafael untuk menemaninya kembali ke toko buku, untuk membeli majalah baru. Rafael hanya menurut. Hari ini, Morgan belum menghubungi Aelke sama sekali. Padahal, Aelke sudah menunggu kabar dari pria itu sejak semalam, sebelum dia tidur bahkan.

"Raf, menurut kamu, aku beli majalah yang mana?" tanya Aelke memperlihatkan dua majalah kepada Rafael. Yang satu majalah khas remaja dan yang satunya lagi majalah yang sepertinya tidak akan dilirik para remaja.

"Majalah remajanya bagus." Komentar Rafael sambil melipat tangan di depan dada.

"Kenapa pilih yang ini?" tanya Aelke memperlihatkan majalah remaja itu.

"Karena kita udah gak remaja lagi dan gak akan bisa jadi remaja lagi. Gak salah, kan, kalo kita masih update tentang remaja?" jawab Rafael. Aelke menganggukkan kepalanya. Setidaknya, Rafael lebih bisa berkomentar daripada Morgan. Komentar Morgan tentang novel pilihan Aelke dua hari lalu masih terngiang jelas di otak Aelke.


***


Hari ini akan menjadi hari tersepi untuk Aelke jika saja Rafael tidak mengajak Aelke ke Dufan. Untuk bersenang-senang.

Awalnya, Aelke mengira Rafael adalah seseorang yang dingin dan tak punya perasaan tapi, Aelke harus membuang semua perkiraannya itu ke Samudra Hindia karena perkiraan Aelke itu melesat terlalu jauh.

Rafael adalah pria yang easy-going. Dia mudah beradaptasi dan sangat ramah. Aelke nyaman berada di dekat Rafael. Rafael sangat berbeda dengan sosok Zio yang dingin dan seakan terlalu protektif kepada Aelke.


"Mau ice cream?" Tanya Rafael setelah mereka berdua bermain di wahana bianglala. Aelke segera menganggukkan kepalanya. Rafael segera berjalan menuju ke seorang pedagang ice cream. Aelke menunggu beberapa saat hingga secara tiba-tiba, papan billboard berukuran sedang yang ada di dekat Aelke jatuh di dekatnya. Nyaris mengenainya.

Sontak, kejadian itu menjadi tontonan pengunjung lainnya. Aelke syok. Gadis itu segera berjalan menyingkir. Dia sudah merasa tidak aman lagi di sini.

Tak lama setelah itu, Rafael menghampirinya dengan wajah panik. Tak peduli ice cream yang mulai mencair mengenai tangannya.

"Kamu gak apa-apa?" Tanya Rafael. Aelke menganggukkan kepalanya. "Iya gak apa-apa."

"Seriusan gak apa-apa? Kamu gak luka, kan?" suara Rafael terdengar sangat panik. Aelke tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Iya. Aku gak apa-apa, Raf. Mending, kita pulang aja, yuk, sekarang?" ajak Aelke yang mulai merasakan hal tidak enak di sekitar sana.

Rafael menganggukkan kepalanya.


***


Ini malam Sabtu. Besok hari Sabtu. Aelke hanya berbaring di atas ranjangnya dengan earphone yang menyantol di telinganya. Selain itu, Aelke juga memegang sebuah buku novel yang dibelikan oleh Zio beberapa hari lalu. Aelke sebenarnya mati-matian berusaha untuk melupakan kejadian buruk yang hampir menimpanya hari ini dan hari-hari sebelumnya.

Aelke bangkit dari tidurnya. Gadis itu duduk melipat kakinya sebelum mulai meletakkan asal buku novelnya. Tak lama kemudian, handphone Aelke bergetar. Sebuah pesan masuk dan Aelke seakan melupakan masalahnya saat membaca pesan tersebut.

From: Morgan
Besok jangan lupa!

Aelke tersenyum sebelum membalas.

To: Morgan
Kalo bisa lolos, ya..

Tak lama kemudian, Morgan membalas.

From: Morgan
Kok begitu? Harus bisa lah. Janji harus ditepati. Janji itu hutang. Hutang itu kewajiban. Wajib. Harus.

Aelke mengerucutkan bibirnya sebelum terkekeh. Sampai sekarang, Aelke juga tak mengerti mengapa Morgan memaksanya untuk berjalan-jalan bersamanya di akhir pekan. Mustahil sekali. Secara fisik, Morgan termasuk pria yang tampan. Sangat tampan, bahkan. Biasanya, pria tampan selalu mempunyai pacar. Lantas, kenapa Morgan mengajak Aelke dan tidak mengajak pacarnya saja?

To: Morgan
Kenapa gak ajak pacar kamu aja? Punya, kan?

Aelke menunggu cukup lama agar Morgan membalas pesannya. Balasannya juga sangat aneh dan terkesan memaksa.

From: Morgan
Punya atau enggak, yang penting loe ikut gue besok.

Dan dari pesan itu, Aelke tau jika permintaan Morgan sekarang adalah permintaan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat lagi.


***


Keesokan harinya, sejak pukul empat dini hari, Morgan sudah mengirimi Aelke pesan agar segera bersiap-siap karena dia akan menjemput Aelke pada pukul setengah enam pagi. Tapi, bukankah pukul empat ke pukul setengah enam masih lama? Lantas, untuk apa Morgan mengingatkannya pada pukul empat dini hari?

Aelke akhirnya bangkit berdiri dan beranjak menuju ke wastafel. Gadis itu membasuh wajahnya dengan air sebelum kembali menuju ranjang tidurnya. Aelke membaringkan tubuhnya dan berniat untuk bersantai-santai terlebih dahulu. Lagipula, masih lama. Sekarang masih jam empat lewat tujuh menit. Masih ada waktu lebih dari dua jam untuk bersiap-siap. Tak apa, kan, jika tidur hanya sejenak?


Hanya sejenak. Tapi, sayangnya, sejenak itu menjadi lama saat Aelke benar-benar pulas dan tidak bangun di waktu yang sudah dia janjikan.

Morgan menyandarkan punggungnya di dekat pintu mobilnya. Sesekali Morgan mengecek handphone-nya. Berharap Aelke membalas pesannya. Morgan sudah menunggu Aelke lebih dari tiga puluh menit. Seharusnya Aelke sudah bisa berhasil ke luar dari rumahnya dan menemui Morgan. Jam sudah hampir menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

Wajah Morgan berbinar saat melihat pintu gerbang rumah Aelke terbuka. Morgan berharap Aelke yang membuka pintu itu tapi, harapan Morgan hilang melihat siapa yang muncul di balik pintu. Bukan Aelke. Tapi, seorang pria. Pria berwajah Chinese yang baru Morgan lihat di rumah Aelke. Morgan berpikir sejenak. Apa itu kakak Aelke? Atau teman? Atau bodyguard baru? Atau...pacar?

Morgan terlonjak saat pria itu menoleh ke arahnya. Sambil memicingkan matanya, pria itu berjalan menghampiri Morgan. Morgan panik. Morgan segera berjalan ke depan mobilnya dan entah kenapa, dia membuka kop mobilnya. Seakan berakting bahwa mesin mobilnya rusak.

"Mobilnya rusak?" tanya pria itu yang adalah Rafael. Morgan tanpa menoleh ke arah Rafael dan tetap fokus berusaha berakting membenarkan mobilnya, menganggukkan kepalanya. "Iya. Tadi mendadak mesinnya mati." Morgan beralasan.

"Butuh bantuan?" tanya Rafael lagi. Morgan menggelengkan kepalanya. "Enggak usah, Mas. Ini juga udah bener. Ehm, kalo begitu, saya permisi dulu." Morgan berpamitan sebelum berjalan masuk ke dalam mobilnya. Morgan menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobilnya itu menjauhi area rumah Aelke dengan perasaan kesal dan kecewa.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang