Part 8

169 17 0
                                    

Akhirnya, Aelke bisa kembali memulai harinya sebagai mahasiswi di kampus yang sudah sangat dia cinta. Aelke di antar oleh Rafael yang ternyata adalah kakaknya. Aelke cukup tercengang mengetahui semua ini dari mulut ayahnya yang baru sampai tadi pagi—lebih tepatnya dini hari—dan dijemput oleh Rafael.

Aelke masih tak percaya jika Rafael adalah kakaknya. Aelke memang mempunyai kakak. Dua orang kakak. Tapi, Aelke tidak ingat siapa saja kakaknya itu karena sudah lama mereka tidak bertemu. Dari Rafael, Aelke bisa tau jika nama kakaknya yang satunya lagi, yang lebih tua adalah Jenny.

Aelke berjalan menuju ke kelasnya. Sesekali gadis itu menatap ke sekelilingnya yang terlihat tidak seperti dulu. Terlihat sangat baru. Mungkin, karena kejadian seminggu lalu yang menyebabkan banyak kerusakan itu.

Saat Aelke melintasi ruang laboratorium yang isinya berada di luar, Aelke tersentak melihat tengkorak tiruan yang sengaja di letakkan berdiri tegak di depan pintu, tiba-tiba saja hendak terjatuh ke arahnya. Belum sempat Aelke menghindar, tengkorak itu sudah menimpanya.

Aelke mengerang merasakan sakit yang memang belum seberapa. Aelke jatuh terduduk dan segera mendorong tengkorak itu menjauh darinya. Aelke mengelus keningnya yang sakit akibat kejatuhan tengkorak itu.

Saat Aelke hendak bangkit berdiri melanjutkan langkahnya ke kelas, Aelke melihat sebuah lipatan kertas terselip di mulut tengkorak itu. Aelke meraih kertas itu dan membacanya.

'Kamu akan menjadi pengganti tengkorak ini, secepatnya'

Aelke segera merobek kertas tersebut dan melemparnya asal sebelum kembali berjalan menuju ke kelasnya.


***


"Tapi, aku udah dua puluh tahun dan aku berhak hidup mandiri. Aku gak mau pake bodyguard lagi. Aku udah tau mana yang baik dan mana yang buruk buat aku. Stop perlakuin aku seakan-akan aku itu putri raja, Pa. Aku gak suka dikayak giniin." Kalimat itu mengalir dari mulut Aelke saat dia, Rafael dan Nicky makan malam bersama dan Nicky membicarakan tentang pengganti Zio.

"Semua gadis senang diperlakukan seperti putri raja," Nicky membalas dengan santai sambil menyeruput kopi hangatnya.

"Aku enggak! Aku gak mau pake bodyguard gitu lagi. Aku bisa jaga diri sendiri." Aelke menekankan sambil menatap lekat ayahnya.

Di saat Nicky dan anaknya, Aelke bertengkar, Rafael hanya diam. Rafael bingung harus memberikan komentar apa.

"Papa belum bisa ngebebasin kamu sepenuhnya. Papa gak mau liat kamu kayak anak jaman sekarang yang hobinya mabuk-mabukan, pacaran hingga akhirnya hamil di luar nikah." Ujar Nicky.

"Aku gak akan kayak gitu, Pa. Aku janji. Aku tau mana yang baik buat aku dan mana yang buruk buat aku." Aelke kembali menekankan.

Rafael yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Aelke benar, Pa. Biar bagaimanapun juga, dia juga butuh kebebasan. Dia udah dewasa. Dia punya pengalaman hidup. Dia bisa jaga diri dia sendiri. Aku berani jamin, Aelke pasti bisa jaga diri dia tanpa perlu adanya bodyguard dan semacamnya." Aelke menoleh kepada Rafael dan tersenyum lebar.

"Bener kata Rafael, Pa. Ayolah, Pa. Please. Gak usah cari bodyguard buat aku lagi. Aku butuh kebebasan." Aelke merengek. Nicky akhirnya menarik nafas dan menganggukkan kepala setuju.


Dan hidup dengan kebebasan, dimulai.


***


Setelah makan malam, Aelke masuk ke dalam kamar. Bersamaan dengan itu, Aelke mendengar handphone-nya yang berdering. Aelke meraih handphone-nya dan tersenyum mendapati nama 'Morgan' lah yang tertera di layar handphone-nya. Tanpa ragu seperti dulu, Aelke mengangkatnya.

"Halo, Gan? Ah, seneng banget kamu nelepon aku!" ujar Aelke antusias sebelum diam sejenak mendengar balasan Morgan. Namun, sedetik kemudian, wajah Aelke berubah dari ceria menjadi kalut tak percaya.

"A-apa?!" Aelke bertanya dengan penuh desakkan.

"Kamu siapa! Morgan mana?!" tanya Aelke lagi mendesak.

"Stop! Jangan sakitin dia! Oke, aku akan ke sana. Secepatnya!" Aelke mengakhiri panggilannya.

Aelke terlihat kacau. Gadis itu meraih jaket hangatnya dan memasukkan handphone ke dalam saku celananya sebelum berjalan mengendap-endap ke luar dari kamar.


***


Aelke menaiki taksi untuk menuju ke tempat yang penelepon itu maksud. Ya, tadi seseorang menelepon Aelke menggunakan nomor Morgan lalu, meminta Aelke agar datang ke sebuah taman sepi yang biasanya ramai di sore hari.

Aelke mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan orang yang meneleponnya itu. Baru membiarkan taksi yang membawanya pergi meninggalkan Aelke sendiri di depan taman, seseorang sudah datang dan membekap mulut Aelke. Aelke meronta-ronta minta dilepaskan namun, orang itu membawa Aelke masuk ke dalam mobilnya.

Orang itu menghempaskan tubuh Aelke begitu saja ke dalam mobilnya sebelum akhirnya masuk ke dalam mobilnya. Aelke akhirnya bisa kembali bernafas normal dan melihat siapa yang membekapnya tadi.

"Morgan?" Aelke sama sekali tak mengerti mengapa Morgan membekapnya tadi.

Morgan menekan gas dan segera melajukan mobilnya secepat kilat. Morgan sempat menoleh ke Aelke dengan wajah panik tak terjelaskan. Aelke semakin bingung dengan apa yang Morgan lakukan saat ini. Tadi, siapa yang menghubungi Aelke dari nomor Morgan? Morgan? Sepertinya bukan. Aelke hafal suara Morgan.

"Gan, maksud kamu..." belum sempat Aelke melanjutkan ucapannya, Morgan segera memotongnya, "loe gak aman sekarang, Aelke. Gue akan jelasin nanti."


Setelah menempuh perjalanan panjang sekitar dua jam, akhirnya, Morgan menghentikan mobilnya di depan sebuah villa yang terlihat sepi. Morgan ke luar terlebih dahulu dari mobilnya dan membukakan pintu mobilnya untuk Aelke. Aelke ke luar dari dalam mobil dan bisa merasakan dingin yang teramat di tempat itu. Aelke membekap tubuhnya. Padahal dia sudah mengenakan jaket tapi, kenapa masih terasa dingin?

Tak lama setelah itu, Morgan melepaskan jaket yang dia kenakan dan mengenakannya ke tubuh Aelke. Aelke menoleh. "Gan, ini dingin. Kamu pake aja biar gak sakit." Ujar Aelke. Morgan menggelengkan kepalanya.

"Keadaan gue gak penting. Yang penting sekarang itu loe." ucap Morgan yang membuat Aelke menggigit bibir bawahnya tak yakin atas ucapan Morgan.

Setelah itu, Morgan meraih tangan Aelke dan menggosok-gosokkan tangannya dengan tangan Aelke itu. "Gimana? Udah lebih hangat?" tanya Morgan. Aelke menganggukkan kepalanya ragu-ragu. Lalu, Morgan segera melingkarkan lengannya di leher Aelke. Seperti merangkul atau lebih tepatnya memeluk.

Morgan mengajak Aelke masuk ke dalam villa sambil berkata, "gue akan cerita besok. Sekarang, loe butuh istirahat. Ada lima kamar di sini. Loe bisa pilih kamar manapun yang loe mau." Aelke membulatkan matanya. "Kenapa harus nginep, sih? Kalo Papa aku dan kakak aku nyariin gimana? Aku bisa dihukum. Terus, kuliah aku gimana?" tanya Aelke.

"Gue udah atur semuanya. Sekarang istirahat, oke?" Jawab Morgan penuh penekanan.

Aelke masih belum beranjak dari tempatnya. Aelke hanya diam dan menatap Morgan penuh tanda tanya. Morgan mendapati tatapan itu. Pria itu akhirnya meraih tangan Aelke lagi dan menariknya agar mau masuk ke dalam kamar dan beristirahat.  

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang