Part 10

161 17 0
                                    

Aelke bangun dari tidurnya dan pandangannya beredar. Aelke terkejut menyadari dia berada di kamarnya. Aelke mencoba mengingat apa yang terjadi. Ah, ya, Morgan kemarin memang mengajaknya kembali ke Jakarta. Mungkin, Morgan juga yang membawanya ke sini. Tapi, bagaimana bisa? Bagaimana jika ayah Aelke tau? Pasti akan dimarahi.

"Papa udah balik ke Prancis kemarin siang. Gue udah bilang ke Papa kalo loe butuh istirahat. Gue udah minta ke kampus loe buat ngasih loe cuti selama dua bulan." Rafael berkata dengan lancar. Pria itu tiba-tiba saja muncul di pintu kamar Aelke.

"Apa? Gue cuti kuliah dua bulan? Loe gila, ya, Raf?!" Maki Aelke. Rafael hanya diam saja. Tak lama kemudian, Aelke bisa mendengar suara yang tidak asing lagi di telinganya.

"Raf, gue pergi dulu, ya? Gue tinggal sebentar gak apa-apa, kan?"

Aelke membulatkan matanya saat melihat Morgan muncul dari sisi kiri kamarnya. Morgan terlihat mengenakan kaus milik Rafael. Morgan melirik ke arah Aelke dan melambaikan tangan kaku sambil berkata, "pagi."

Aelke harus menahan nafas beberapa detik sebelum membalas sapaan Morgan. "Pagi, juga."


"Loe mau nganter nyokap loe ke pasar atau nganter sekolah anak-anak loe? Masih jam 7, Bro." Ujar Rafael kepada Morgan. Aelke heran sendiri. Bagaimana bisa kakaknya dekat dengan Morgan? Bagaimana bisa mereka sedekat ini?

"Gue mau anter cewek gue ke kampusnya." Jawab Morgan asal namun, seperti menyambarkan petir ke hati Aelke.

Rafael mengangkat sebelah alisnya. "Loe emangnya punya pacar?" Tanya Rafael.

Morgan terdiam dan berpikir sebelum dengan polosnya menjawab, "punya. Tapi, masih nyangkut di mimpi gue, belum ke luar jadi nyata." Morgan dan Rafael bicara sangat akrab. Bahkan, seperti tidak menganggap Aelke ada.

"Gimana soal Bella?" Tanya Rafael. Lagi-lagi Aelke harus diam menahan kekesalan saat Rafael harus memancing Morgan agar mengungkapkan tentang gadis yang dekat dengannya.

Morgan berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. "Duh, Bella, ya? Makasih, Raf. Buat loe aja. Bukan tipe gue." Rafael terkekeh. "Emang tipe loe yang kayak gimana, sih?" Tanya Rafael. Morgan mengangkat sebelah alisnya sebelum menjawab santai, "yang mukanya Indonesia banget, sedikit tomboy, teliti, pemberani dan yang pasti, frontal."

"Frontal?"

"Ya. Kalo dia suka sama gue, seharusnya dia jujur ke gue. Gak usah dipendem atau nungguin gue. Karena gue gak akan hadir saat mereka nungguin gue."


Aelke memutar bola matanya dan sedikit tersindir dengan ucapan Morgan tentang tipe gadis kesukaannya. Yang berwajah sangat Indonesia? Bukan Aelke. Ya, bukan Aelke. Wajah Aelke sangat jelas oriental. Rambutnya kecokelatan, kulitnya putih pucat, matanya sipit.

Sedikit tomboy. Tomboy? Mana mungkin. Aelke adalah gadis yang benar-benar gadis. Bukan gadis yang bertingkah layaknya pria.

Teliti? Sindiran lagi. Aelke bukan gadis yang teliti. Dia gadis ceroboh. Morgan pernah mengatakan itu secara terang-terangan di hadapan Aelke.

Pemberani? Mungkin hanya sedikit. Aelke lebih banyak takut daripada berani. Aelke hanya berani jika ada yang menemani. Jika tidak, well, perlu dianalisa terlebih dahulu.

Dan yang terakhir, frontal. Haruskah? Bukankah seorang gadis itu hanya perlu menunggu pria yang tepat datang padanya dan memintanya agar mau menjadi kekasihnya atau semacamnya. Morgan aneh! Dia tidak mau melakukan hal-hal yang pria lain lakukan kepada gadis yang dia suka. Morgan malah menunggu, bukannya ditunggu.

Tapi, dari semua tipe yang Morgan ucapkan, yang bisa lebih Aelke lakukan adalah frontal. Selebihnya, itu semua seperti takdir Tuhan yang tidak akan bisa diubah.

Masa Aelke harus memulai terlebih dahulu, sih?


***

Morgan melangkah memasuki rumahnya yang terlihat sangat sepi. Morgan menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan lalu, berjalan masuk ke dalam kamarnya.

Morgan mengunci pintu kamarnya dan menatap sekeliling kamarnya. Morgan memejamkan mata dan menyandarkan punggungnya di belakang pintu kamarnya. Morgan memejamkan matanya cukup lama sebelum tersadar saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Morgan membuka matanya dan secara perlahan membuka pintu kamarnya tersebut. Seorang wanita tua terlihat berada di balik pintu sambil tersenyum kepada Morgan. Morgan balik tersenyum kepada wanita itu.

"Kamu udah pulang?" Tanya wanita tua dengan rambut penuh uban itu. Morgan menganggukkan kepala. "Baru pulang, Oma."

"Berhasil?" Tanya wanita tua yang adalah nenek Morgan itu.

Morgan mengedikkan bahunya. "Gak tau, Oma. Bytheway, Mama sama Papa udah pulang?" Tanya Morgan.

"Nanti ada makan malam antara keluarga kita dengan keluarga gadis yang dijodohkan sama kamu. Kamu siap?" Nenek Morgan itu balik bertanya. Morgan menahan nafas dan menggelengkan kepalanya. Morgan terlihat sangat terbebani oleh perjodohan itu.

"Kalo belum siap, ngapain kamu ada di sini? Lebih baik kamu pergi sampai kamu merasa siap. Siap menerima perjodohan atau siap menentang keputusan orang tua kamu." Ujar Nenek Morgan itu yang membuat Morgan tersenyum sebelum mendekati neneknya dan mendekap tubuh wanita tua itu dengan erat.

"Morgan janji, Morgan akan sering hubungin Nenek. Morgan mau Nenek jadi orang pertama yang Morgan hubungi tentang keputusan Morgan." Ujar Morgan. Nenek Morgan tersenyum dan mengelus punggung cucu kesayangannya itu.


***


"Gue boleh, kan, nginep beberapa hari di sini?" Morgan bertanya kepada Rafael saat dia tengah makan malam di kediaman Rafael dan Aelke. Aelke hanya menganga menanti keputusan Rafael. Dan nyatanya, Rafael menganggukkan kepalanya antusias.

"Boleh, lah. Boleh banget malah. Jadi, kan, gue ada teman nonton bola." Ujar Rafael.

Morgan tersenyum. "Thanks, Bro. Nanti lain kali, gue akan ngalah, deh, demi loe di arena." Aelke mengernyit mendengar kata 'arena' itu. "Arena apa?" tanya Aelke penasaran.

"Arena balap. Selama ini, gue sering ketemu Rafael di arena balap itu. Gue selalu ngalahin Rafael dan buat kakak loe ini kehilangan banyak uang karena taruhannya." Jawab Morgan seraya terkekeh. Aelke berpaling menatap Rafael yang diam saja lalu, kembali menatap Morgan.

"Jadi, kalian berdua pembalap liar?" tanya Aelke lagi.

"Bukan pembalap liar. Kita cuma iseng balapan. Udah gitu aja." Jawab Rafael sesekali melirik Morgan dan memberikan kode ke pria itu agar tutup mulut mengenai balapan yang sering mereka berdua ikuti tiap malam Jumat itu.

"Ya. Cuma iseng-iseng dan akhirnya menang. Keberuntungan banget, kan? Bisa nambahin isi dompet." Morgan menimpali ucapan Rafael dan Rafael menyetujui ucapan Morgan itu dengan anggukkan kepala.

"Kalo cuma iseng, kenapa Morgan bisa ngalahin kamu berkali-kali, Raf?" Aelke bertanya sinis kepada kakaknya itu.

"Ya, kan, namanya juga iseng." Rafael kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan adiknya itu.

"Kalo begitu, mulai sekarang kamu," Aelke menunjuk Rafael, "dan kamu," kali ini, Aelke menunjuk Morgan, "kalian berdua gak boleh ikut balapan liar lagi. Apapun alasannya." Ujar Aelke penuh penekanan.

Morgan dan Rafael saling pandang tak mengerti.  

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang