Part 9

156 18 0
                                    

"Jadi, maksud kamu, akan ada banyak orang di luar sana yang berniat ngebunuh aku? Jadi, selama ini kamu tau teror yang sering aku dapetin?" tanya Aelke kepada Morgan sambil memoles roti tawarnya dengan selai kacang favorite-nya. Morgan yang duduk tak jauh dari Aelke menganggukkan kepalanya.

"Jakarta gak akan aman buat loe. Loe terlalu mudah di lacak. Gue yakin, sebentar lagi, keberadaan kita bakal ditemuin sama mereka." Ujar Morgan seraya memasukkan roti miliknya ke dalam mulutnya.

"Tapi, kenapa harus aku? Aku gak pernah punya musuh selama ini." ujar Aelke murung.

"Loe punya. Loe-nya aja yang gak sadar. Dia musuh loe. Yang iri sama loe." balas Morgan.

"Iri akan apa? Aku gak punya hal spesial yang harus dicemburuin sama dia." Aelke ikut memakan roti miliknya.

"Aelke, apa loe gak sadar? Loe itu spesial. Lebih spesial dari yang lainnya." Ucapan santai Morgan itu berhasil membuat Aelke nyaris tersedak. Morgan menyodorkan air kepada Aelke dan Aelke segera meminum air tersebut. "Thanks."

Morgan tersenyum mencibir. "Loe ceroboh banget, sih. Kayaknya, nasib loe itu cuma ada dua. Kalo gak dibunuh orang lain, pasti dibunuh sama kecerobohan diri sendiri." Aelke memutar bola matanya mendengar ucapan Morgan yang satu itu. Morgan terkekeh. Diam-diam, Aelke tersenyum melihat Morgan.

Setidaknya, gara-gara teror ini, Tuhan pasti mengirimkan seorang malaikat pelindung kepada Aelke, kan? Tapi, apakah malaikat pelindung itu Morgan?


***


"Kenapa, Pa?" tanya Rafael kepada ayahnya—Nicky—yang terlihat sangat gelisah saat sarapan. Nicky menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa. Bytheway, Aelke udah bangun?" tanya Nicky. Rafael dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Belum, Pa. Kayaknya, dia ngantuk banget. Tidurnya pulas."

"Dia gak kuliah?"

"Nanti aku telepon dosennya. Mungkin, Aelke butuh istirahat beberapa hari." Jawab Rafael.

Tak lama kemudian, handphone Nicky berdering. Nicky dengan cepat meraih handphone-nya dan mengangkat telepon itu. Rafael memperhatikan ayahnya yang tengah bertelepon sambil memakan nasi gorengnya.

Selesai mengangkat telepon, Nicky menatap Rafael lemas.

"Papa berangkat kembali ke Prancis, siang ini."


***


Villa yang ditempati Aelke dan Morgan saat ini berada di Puncak, Bogor. Villa itu adalah milik keluarga Morgan namun, villa itu sangat jarang ditempati makanya, Morgan memilih menggunakan villa itu sebagai tempat menyembunyikan Aelke untuk sementara waktu.

"Apa selamanya kita akan ada di dalam villa? Tanpa ngeliat ke luar?" tanya Aelke yang mulai bosan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan sejak pukul enam, gadis itu tidak melakukan apapun selain menonton televisi yang acaranya sangat tidak jelas.

"Mau ke mana?" tanya Morgan balik.

"Jalan-jalan." Jawab Aelke penuh harap Morgan mengabulkan permintaannya.

"Iya, ke mana jalan-jalannya?" tanya Morgan lagi.

"Ada kebun teh di sini, kan? Peternakan juga ada, kan? Terus, kuda?" tanya Aelke antusias. Morgan tersenyum tipis sebelum bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya di depan Aelke. Aelke tersenyum lebar meraih uluran tangan Morgan itu.


***


Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, Morgan dan Aelke sampai di kebun teh yang sangat luas. Aelke tersenyum lebar seraya menghampiri beberapa petani yang mencabuti daun teh. Aelke bertanya apakah dia boleh membantu dan tentu saja para petani itu mengizinkan. Salah satu diantara mereka memberikan pelindung kepala berbentuk kerucut yang terbuat dari rotan itu kepada Aelke.

Lain halnya dengan Aelke, Morgan hanya memperhatikan Aelke. Baru lima belas menit berlalu dan Morgan sudah berhasil menemukan sebuah keganjilan di salah satu petani itu. Morgan memperhatikan petani itu baik-baik.

Morgan segera berlari ke arah Aelke saat melihat petani itu seperti mengeluarkan sebuah pistol dari keranjangnya dan membidik moncong pistol itu kepada Aelke.

Tepat terdengarnya bunyi 'DOR' yang memekakkan telinga dan membuat panik petani lainnya, bersamaan dengan itu pula, Morgan berhasil menyelamatkan Aelke. Penyamar itu lari menjauh dari kebun teh. Aelke terlihat sangat syok dengan bunyi itu. Apalagi mendapati Morgan di hadapannya yang tengah mengatur nafasnya.

"Loe gak apa-apa?" tanya Morgan merengkuh pundak Aelke. Aelke tidak bisa bicara. Aelke terlihat sangat panik dan ketakutan. Bahkan, Morgan bisa merasakan tubuh gadis itu yang bergetar.

Morgan memejamkan mata sedetik sebelum akhirnya meraih gadis itu masuk ke dalam pelukan hangatnya. Morgan mengelus lengan Aelke dan bagian belakang kepala Aelke sambil berkata, "loe gak akan kenapa-napa. Gue akan ngelindungin loe. Gue janji."

Setelah itu, Morgan mengajak Aelke segera pergi dari tempat itu.

Morgan menggerutu. Padahal, villa Morgan termasuk villa yang tidak diketahui banyak orang begitupun kebun teh di dekatnya. Seharusnya, para 'calon pembunuh' itu tidak menemukan keberadaan mereka berdua.


***


Setelah kejadian di kebun teh, akhirnya, Morgan memutuskan untuk mengajak Aelke kembali ke Jakarta. Morgan sadar akan satu hal. Di manapun dia menyembunyikan Aelke, para 'pria bayaran' itu pasti akan berhasil menemukan persembunyian itu. Mereka sangat cerdas.

Morgan menghentikan mobilnya di depan rumah Aelke. Jam yang melingkar di tangan Morgan menunjukkan pukul sembilan malam. Morgan melirik Aelke yang tertidur pulas di sampingnya. Morgan tersenyum sebelum ke luar dari mobilnya dan membuka pintu mobil bagian Aelke.

Morgan menggendong Aelke dengan hati-hati masuk ke dalam rumahnya. Rafael menyambut kedatangan Morgan dan Aelke. "Kenapa loe bawa adik gue pulang? Dia gak akan aman di sini." ujar Rafael. Morgan menganggukkan kepala sebelum berjalan cepat menuju ke kamar Aelke yang berada di lantai dua. Rafael yang menunjukkan jalan menuju kamar Aelke.

Rafael membukakan pintu dan membiarkan Morgan masuk ke dalam kamar Aelke dan membaringkan Aelke di ranjangnya. Setelah memastikan Aelke mendapat posisi tidur yang baik, Morgan menyelimuti tubuh Aelke dengan selimut tebal lalu, segera berjalan ke luar dari kamar Aelke. Rafael sudah menunggunya di ruang tamu.

"So, jelasin apa yang terjadi!" Ujar Rafael penuh paksaan kepada Morgan yang baru saja tiba di ruang tamu.

"Bokap loe udah berangkat?" Morgan malah bertanya seperti itu dan mengabaikan pertanyaan Rafael.

"Udah. Siang tadi." Jawab Rafael ketus.

"Bagus. Gue nginep di sini, ya?" tanya Morgan. Rafael membulatkan matanya. "Apa? Loe gila? Ngapain loe nginep di sini? Kalo bokap gue tau, loe bisa abis di tangan dia."

"Tapi, sekarang dia gak ada, kan? Jadi, gak apa-apa, kan?"

"Dalam rangka apa loe nginep di sini? Mau jaga adik gue? Loe lupa, ya, kalo Aelke punya kakak yang mantan anak taekwondo?" Rafael berbangga diri. Morgan tak menanggapi ucapan Rafael.

"Aelke hampir ditembak seseorang. Tadi." Rafael membeku mendengar ucapan Morgan.

"Loe serius? Loe liat orangnya?" tanya Rafael. Morgan menggelengkan kepalanya. "Gue gak merhatiin jelas tapi, dia nyamar jadi petani di kebun teh." Jawab Morgan dengan rahang mengeras. 

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang