Ini sudah hari ke-tiga Aelke tidak mendapatkan kabar sedikitpun dari Morgan. Sejak pertemuan terakhir mereka di mall, Morgan seperti menghilang begitu saja. Aelke sempat berpikiran jika Sandra-lah penyebab mengapa Morgan tidak menghubunginya lagi. Mungkin, Sandra tidak mau Morgan dekat-dekat dengan gadis lain selain dirinya.
Ini juga hari ketiga Aelke mendapat teror pesan yang mengerikan. Namun, Aelke sudah terbiasa dengan pesan-pesan itu. Aelke lebih memilih diam dan mengabaikan terornya itu. Sudah tiga hari Aelke berada di rumah tanpa ke luar sedikitpun. Menyebalkan.
Aelke bangkit dari tidurnya setelah membaca pesan teror itu. Pesannya hari ini adalah: 'kamu akan mati secepatnya'. Aelke mengabaikannya. Mati secepatnya? Ya, itu pasti. Bukankah semua manusia akan mati atas kehendak Tuhan? Peneror itu pasti berambisi untuk menjadi malaikat pencabut nyawa.
Aelke melirik jam di dindingnya. Sudah jam sembilan malam. Tapi, tak terdengar suara Rafael yang memanggilnya dan memintanya ke luar untuk makan malam. Selama tiga hari ini, Rafael memang menjadi satu-satunya orang yang Aelke ajak bicara.
Aelke ke luar dari kamarnya dan menatap sekeliling. Tepat saat itu, Rafael ke luar dari kamarnya dengan pakaian sangat rapi. Lengkap dengan jaket kulit berwarna cokelat. Rafael juga memakai parfum yang sampai tercium ke hidung Aelke.
"Mau ke mana, Raf?" tanya Aelke.
"Mau main." Jawab Rafael santai.
"Ke mana?" tanya Aelke lagi.
"Rahasia." Jawab Rafael.
"Aku ikut." Aelke berjalan mendekati Rafael dan berdiri di depannya. Rafael memutar bola matanya. "Enggak bisa." jawab Rafael dengan ketus. Tidak seperti biasanya.
"Aku ikut. Gak peduli kamu ngomong apa." Aelke menekankan. Aelke memang seorang gadis yang harus mendapatkan apapun yang dia inginkan.
***
Aelke menatap sekelilingnya tak percaya. Rafael membawanya ke arena balap liar. Rafael memarkirkan mobilnya di antara mobil-mobil lain yang berada di sana.
"Raf, aku kan udah bilang, gak usah ikut kayak beginian lagi. Kita harus pulang sekarang!" ujar Aelke. Rafael memutar bola matanya. "Cukup, Aelke. Udah cukup aku nurutin semua kemauan kamu. Aku juga punya kemauan dan ini kemauan aku. Aku gak pernah maksa kamu ke sini, kan? Kamu yang mau ke sini sendiri!" bentak Rafael yang membuat Aelke terdiam.
Rafael melepas sabuk pengamannya. "Sekarang mau tetap di sini atau ikut ke sana?" Rafael menurunkan suaranya. Aelke lemas menjawab, "ikut ke sana."
"Great. Cepetan. Kita gak punya banyak waktu." Ujar Rafael sambil membuka pintu mobilnya. Aelke melepaskan sabuk pengamannya dengan cepat dan segera menyusul Rafael yang sudah terlebih dahulu berjalan menghampiri kerumunan itu.
"Ini adek gue. Gue titip dia di sini selama gue tanding, ya?" Rafael memperkenalkan adiknya kepada teman-teman balapnya yang didominasi oleh pria. Para pria itu menatap Aelke dengan tatapan menggoda sambil berkata, "oke, Raf. Tenang aja, adek loe aman sama kita. Iya, kan, cantik?" Salah satu pria itu mengedipkan mata kepada Aelke dan Aelke memutar bolanya tak suka atas kedipan itu.
Rafael berjalan menjauh menuju ke parkiran motor yang berada tak jauh dari sana. Aelke hanya diam memperhatikan kakaknya itu saat mulai mengendarai salah satu motor ke arena balapan. Aelke menggigit bibir bawahnya dan menyatukan jari-jarinya. Berdoa semoga Tuhan melindungi kakak yang baru dia temukan beberapa minggu belakangan itu.
"Gak mau duduk di sini, Neng?" tanya salah satu teman Rafael yang lainnya sambil menepuk-nepuk kursi kayu panjang yang sisinya kosong. Aelke hanya tersenyum ragu dan segera duduk di kursi itu. Aelke berusaha mengabaikan tatapan teman-teman Rafael yang semakin menjadi-jadi. Mereka menatap Aelke seakan-akan Aelke adalah porsi besar dari chicken steak.
Aelke melihat seorang gadis berpakaian minim mulai muncul di tengah garis start. Di depan para pembalap liar, Rafael salah satu di antaranya. Gadis itu memegang sebuah sapu tangan. Secara perlahan dia menggerakkan sapu tangan itu ke kiri, ke kanan sebelum akhirnya membuang sapu tangan itu ke udara. Dalam hitungan detik, para pembalap itu mulai melajukan motor mereka dengan kecepatan maksimal.
"Medan hari ini cukup jauh. Paling cepet mereka sampe paling tiga puluh menit." Ujar salah seorang teman Rafael kepada temannya yang lain. Aelke menguping pembicaraan mereka.
Lalu, beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja teman-teman Rafael itu berdiri mengerubungi Aelke. Mungkin ada sekitar lima orang pria dan Aelke ketakutan dibuatnya. Mereka menatap Aelke tajam dan menggoda.
Aelke bangkit dari duduknya dan berusaha menerobos lingkaran yang mereka buat tapi, tidak bisa.
"Sekali berada di dalam lingkaran, kamu gak akan bisa ke luar lagi, Aelke Mariska." Ujar salah seorang pria itu. Aelke terdiam. Bagaimana mereka bisa tau nama lengkap Aelke? Bahkan, tadi Rafael hanya memperkenalkan Aelke sebagai adiknya tanpa menyebut nama.
"Kalian mau ngapain?" tanya Aelke berusaha menggertak.
"Menurut kamu?" seseorang dari mereka yang berambut cepak bertanya balik.
"Pergi!" Aelke mengusir orang itu dengan cara berteriak tapi, sayang, orang lain yang berada di sekitar Aelke seperti tidak peduli. Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ada yang mengobrol, meminum minuman keras, narkoba, berciuman dengan gadis murahan, bahkan, Aelke bisa melihat dua pasang kaki orang yang saling menimpa di balik semak-semak.
"Kita gak akan pergi sebelum kita nyelesain tugas kita." Ujar salah seorang pria itu.
"Tugas apa? Please, jangan libatin aku. Aku gak tau apapun." Aelke memohon.
"Tapi, tugasnya berhubungan dengan kamu, cantik."
"A-apa?" suara Aelke terdengar bergetar.
Para pria itu saling pandang sebelum menatap Aelke lekat.
"Masih ingat tentang bangkai tikus di dalam box yang aku taruh di balkon kamar kamu?" tanya salah seorang pria bertubuh gempal. Aelke tercekat. Jadi, mereka...
"Motor yang hampir nyerempet kamu saat ke luar dari mall?" kali ini giliran pria lain yang rambutnya sendiri dia warnai menjadi keputihan.
"Papan nama yang jatuh hampir mengenai kamu di Dufan?" Pria berhidung mancung itu menambahkan.
"Tengkorak tiruan yang jatuh mengenai kamu?" tanya pria bermata sipit.
"Teror setiap hari melalui pesan?" kali ini pria jangkung dan berambut cepak yang berujar. "Semua kita lakukan bukan semata-mata karena kita iseng. Kita melakukan itu dengan serius dan sadar. Sangat sadar. Kita gak pernah main-main atas semua itu." Pria jangkung itu menambahkan.
"Jadi, kalian akan ngebunuh aku? Di arena balap seperti ini? Di tempat yang banyak orangnya?" Aelke memberanikan diri untuk meremehkan para pria bayaran itu. "Dan satu lagi, Rafael akan segera kembali secepatnya. Kalian akan berhadapan dengannya." Aelke menambahkan.
Pria-pria itu kembali memandang satu sama lain sebelum tertawa. Pria berhidung mancung menjawab, "Rafael mungkin akan kembali ke sini tapi, setelah adiknya yang manis ini kaku sebagai mayat karena kita udah melakukan 'sesuatu' pada mesin motornya."
"Ah, satu lagi," pria bermata sipit yang sepertinya Aelke sering lihat itu merogoh saku celananya. Secara mengejutkan, dia mengeluarkan sebuah pistol. Dia tersenyum kepada Aelke sambil berkata, "nama gue Ray," pria itu mengerling kepada Aelke sebelum mengarahkan moncong pistolnya ke seseorang yang terlihat tengah 'bercinta' dengan pasangannya di semak-semak. Tidak punya malu sama sekali.
Pria bernama Ray itu menutup sebelah matanya dan mengarahkan moncong pistolnya ke arah pria yang hanya terlihat kakinya itu. Nafas Aelke semakin bergemuruh melihat pemandangan pistol pria itu.
"Well, ini baru pemanasan." Ujar Ray sebelum menarik pelatuk pistolnya dan melesatkan sebuah timah besi yang berjalan cepat sebelum akhirnya menembus kulit pria tak dikenali itu. Tembakan itu tidak mengeluarkan bunyi sama sekali tapi, si pria tak dikenal itu berteriak sangat kencang dan membuat perhatian semua orang tertuju kepadanya. Pria itu menjerit dan si gadis yang bercinta dengannya bangkit berdiri sambil berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Gadis itu terlihat panik tapi, dia tidak melakukan apapun selain berlari menjauh dengan kemeja yang belum terkancingi dan membiarkan tubuhnya setengah terekpos.
Ray tersenyum senang tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Pria itu menghampiri teman-temannya dan Aelke sambil berkata, "so, pretty girl, kamu akan berakhiran sama dengan orang itu. Tapi, aku gak akan nembak kamu dibagian kaki. Banyak orang selamat jika hanya mendapat tembakan di kaki. Jadi, ya, as what you guess."
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
FanfictionAelke selalu butuh pelindung dan Morgan datang sebagai pelindungnya.