"Jadi, kamu menyetujui perjodohan ini tanpa ada perlawanan lagi?" tanya wanita paruh baya itu kepada putranya yang secara mengejutkan kembali ke rumah setelah berminggu-minggu kabur. Putranya itu adalah Morgan.
Morgan mengangkat sebelah alisnya. "So, Mama ingin aku ngelawan lagi dan pergi dari rumah demi menolak semua rencana itu?" tanya Morgan bingung.
"Bukan begitu. Cuma..aneh liat kamu yang menyerah dan pasrah seperti ini. Bukan Morgan yang pembangkang lagi." jawab Elizabeth.
"But, you will love me if I be a good boy, right?"
"I prefer the old you. My man who will fight for anything that he thought should be his."
***
Aelke gila karena dia tidak boleh ke luar dari rumah atas perintah ayahnya yang nun jauh di sana. Sesekali, Aelke merutuki Rafael yang berani berkata apa yang terjadi pada ayahnya itu. Aelke kesal Rafael tidak bisa diajak untuk tutup mulut.
"Ke, mau makan apa?" suara Rafael dari balik pintu terdengar jelas di telinga Aelke. Aelke mengerucutkan bibir dan menjawab, "gak mau makan!"
"Tapi, kamu belom makan dari tadi pagi. Makan dulu, ya. Aku minta maaf, deh, gara-gara keceplosan ngomong. Kalo kamu mau ke luar jalan-jalan, hayuk. Aku temanin. Aku ambil cuti juga soalnya." Ujar Rafael yang sedikit memberikan kecerahan kepada Aelke.
"Bener, ya? Entar kalo kita ke luar kamu ngadu lagi ke Papa."
"Serius. Gak bakal ngadu." Rafael berusaha meyakinkan adiknya yang tidak ke luar kamar sejak semalam.
***
Rafael hanya menurut saat Aelke memintanya melajukan mobil ke sebuah pusat perbelanjaan. Aelke adalah seorang gadis dan dia senang shopping. Apapun masalah yang ada di pikirannya, masalah itu lenyap jika Aelke pergi ke luar rumah dan ke tempat yang memanjakan matanya dengan barang-barang favorite-nya.
"Mau ke mana, sih?" tanya Rafael melihat Aelke yang menoleh ke kiri kanannya. Seperti hendak mencari sesuatu.
"Mau ke toko aksesoris. Bantuin nyari, dong, di mana." Ujar Aelke.
Rafael yang lebih tinggi dari Aelke akhirnya, membantu mencari di mana letak toko aksesoris. Setelah menemukan toko itu, Rafael segera melapor kepada Aelke. Aelke mengajak Rafael ke toko itu.
Aelke sebenarnya sudah berusia dua puluh tahun tapi, di toko aksesoris, yang Aelke beli adalah sticker glow in the dark yang akan dia tempel di dinding kamarnya nanti.
"Gak berniat beli ini?" Rafael bertanya sambil menunjuk sebuah bandana sederhana tapi, terkesan dewasa.
Aelke menggelengkan kepalanya. "Enggak, ah. Orang mau beli ini doang," ujar Aelke.
"Beli beginian doang di mall?" tanya Rafael membulatkan matanya. Aelke menganggukkan kepalanya. "Iya. Ini aja. Abis itu, kita jalan-jalan ke sekeliling mall. Kalo ada yang menarik, kita beli, deh."
Rafael menarik nafas dan menghembuskannya. "Makan siang dulu, deh. Laper, nih. Kamu juga belom makan, kan?" Aelke mengangguk setuju.
Kakak beradik itupun segera mencari tempat makan yang tidak begitu ramai. Tapi, sayangnya, hampir semua tempat makan ramai. Aelke mengedarkan pandangannya mencari meja kosong untuknya dan Rafael, begitupun Rafael. Rafael menghentikan tatapannya pada sebuah meja. Rafael menyipitkan mata sambil berkata, "itu Morgan, kan? Sama siapa?"
"Mana? Mana?" tanya Aelke antusias seraya mencari dan terus mencari keberadaan Morgan.
"Yuk, ke sana!" Rafael meraih tangan Aelke dan mengajaknya mendekati meja Morgan. Baru beberapa langkah hendak mendekat, Aelke merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Dan sampai di dekat Morgan, sesuatu itu semakin menjadi-jadi.
"Morgan," sapa Rafael.
Morgan segera menoleh ke arah Rafael begitupun, seseorang yang duduk berhadapan dengan Morgan. Morgan terlihat terkejut terlebih lagi melihat keberadaan Aelke.
"Hai, err, Raf. Hai, Ke." Balas Morgan sambil melambaikan tangan sedikit.
"Boleh makan di sini gak? Tempat lain penuh," ujar Rafael sementara Aelke hanya diam saja. Aelke mengepalkan tangannya kuat entah atas alasan apa.
"Ya, boleh, lah, Raf. Loe kan teman gue. Oh, iya, kenalin juga. Ini Sandra." Morgan memperkenalkan gadis yang makan siang dengannya itu kepada Rafael dan Aelke. Gadis itu manis. Mempunyai wajah oriental dan senyum yang memikat pria manapun yang melihatnya.
Rafael menarik kursi dan duduk di kursi tersebut, disusul oleh Aelke. "Mau pesan apa?" tanya Rafael kepada Aelke. Aelke menjawab, suaranya terdengar sangat ketus, "terserah." Setelah itu, Rafael memanggil seorang pelayan dan memesan makanan untuknya dan Aelke.
"Jadi, loe berdua aja ke sini?" tanya Rafael sambil menatap curiga ke arah Sandra dan Morgan. Sandra menjawab santai, "emangnya kalo berdua kenapa?"
"Ya, gak apa-apa. Curiga aja kalo kalian berdua ada apa-apa." Ujar Rafael terkekeh. Morgan dan Sandra saling pandang. "Soalnya, kalo kalian ada apa-apa, gimana coba nasib adek gue yang loe kasih harapan setinggi langit?" ucapan Rafael yang asal ceplas-ceplos itu membuat Aelke terkejut. Aelke bisa merasakan tubuhnya yang semakin memanas apalagi, saat Morgan meliriknya intens.
"Harapan setinggi langit?" tanya Morgan mengangkat sebelah alisnya. Rafael hanya menganggukkan kepalanya.
"Gue gak ngerasa ngasih harapan apapun. Gue cuma mencoba jadi teman yang baik. Dan loe ngelantur banget, sih, Raf. Gue sama Aelke cuma teman dan selamanya akan menjadi teman. Iya, kan, Ke?" tanya Morgan kepada Aelke. Aelke menganggukkan kepalanya lemas. Ucapan Morgan benar-benar menyakitkan. Apalagi di kalimat 'cuma teman dan selamanya akan menjadi teman'.
"Lagian, gue gak mungkin ada hubungan lebih sama Aelke sementara gue udah punya pacar. Well, Sandra pacar gue." Morgan merangkul Sandra erat dan mendaratkan kecupan kilat di pipi gadis itu sebelum melepaskan rangkulannya. Morgan meraih secangkir kopi pesanannya dan menyeruputnya hingga habis.
Morgan tidak akan tau jika sedari tadi, Aelke menahan diri agar tidak menangis merasakan sakit di hatinya.
***
Sepulang dari mall, Aelke langsung mengunci diri kembali di dalam kamar. Rafael sudah membujuknya ke luar kamar namun, Aelke bersikeras bertahan di dalam kamarnya. Di dalam kamar, Aelke menangis sambil menyobek lembar demi lembar novel-novel yang sebenarnya belum sempat dia baca lalu, membuang robekan novel itu ke sembarang tempat.
"Ke, kamu kenapa, sih? Udah di ajak ke mall bukannya jadi ceria lagi malah tambah misterius gini?" tanya Rafael dari balik pintu. Aelke tidak menjawab pertanyaan Rafael. Dia masih sibuk menyobek lembar demi lembar novelnya.
"Aelke Mariska!" Rafael kembali meneriakkan nama Aelke dan Aelke tidak membalasnya. Aelke membiarkan pipinya basah oleh air mata tanpa menghapusnya terlebih dahulu.
"Aelke!" Rafael kembali meneriakkan nama Aelke.
Aelke akhirnya menarik nafas dan menghapus air matanya. Gadis itu dengan tegas berkata, "aku mau sendiri, Raf! Gak usah diganggu!"
"Iya, aku akan tinggalin kamu sendiri asalkan kamu cerita dulu, kamu kenapa? Aku gak suka ngeliat adek aku kayak gini. Kayak bukan Aelke yang biasanya." Ujar Rafael dari luar kamar Aelke.
"Aku butuh sendiri, Raf! Kamu pergi sana!" Aelke mengusir Rafael tanpa membuka pintu kamarnya.
Rafael menghela nafas dan bertanya dengan suara yang dia usahakan terdengar jelas oleh Aelke.
"Kamu suka sama Morgan beneran?"
Dan Aelke terdiam mendengar pertanyaan Rafael. Ya, Rafael benar. Untuk apa Aelke seperti ini? Menyobek buku novelnya tidak akan mengubah fakta jika Morgan sudah memiliki kekasih, kan? Semua yang Aelke lakukan saat ini hanya sia-sia. Mungkin, Aelke terlambat. Terlambat menyatakan perasaannya sehingga gadis bernama Sandra itu sudah mendahuluinya mendapatkan Morgan.
Lantas, apa arti ciuman Morgan kemarin? Apa itu akan menjadi ciuman pertama dan terakhir yang Morgan berikan kepada Aelke?
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
FanfictionAelke selalu butuh pelindung dan Morgan datang sebagai pelindungnya.