Part 14

159 17 0
                                    

Para pria bayaran itu membuat para pengunjung yang datang untuk menyaksikan balapan liar itu berhamburan menjauh. Takut mereka akan berakhiran sama seperti pria yang ditembak Ray tadi. Pria itu terlihat semakin lemah. Darah mengalir deras di kakinya yang sudah memucat. Dia akan kehilangan darah secepatnya dan mati.

"Sepi, kan? Mari kita mulai acaranya. Tapi, sepertinya, kami gak akan langsung bunuh kamu, cantik. Gimana kalo kita bersenang-senang terlebih dahulu?" tanya pria bernama Ray itu disambut anggukkan kepala dengan tatapan menggoda teman-temannya.

Aelke berjalan mundur dan baru satu langkah, dua teman Ray itu sudah memegang tangan kanan dan tangan kirinya sehingga Aelke tidak bisa pergi ke manapun. Yang bertubuh jangkung memegang tangan kanan Aelke sedangkan, yang berhidung mancung memegang tangan kiri Aelke. Ray berjalan maju. Dua temannya lagi mengikuti dari belakang.

"Kalian mau ngapain? Pergi!" usir Aelke meronta minta dilepaskan namun, Aelke adalah seorang gadis biasa. Kekuatannya belum seimbang dengan para pria itu.

Ray sampai di depan Aelke. Dia memajukan wajahnya sampai lima sentimeter dekatnya. Ray tersenyum sebelum semakin memajukan wajahnya dan di saat bersamaan, Aelke menoleh sehingga Ray gagal mencium bibirnya. Bibir Ray hanya menyentuh pipi Aelke.

Ray menjauhkan wajahnya dari wajah Aelke. Ray terkekeh sebelum mencengkram kuat rahang Aelke. Dengan tatapan gahar, Ray berkata, "loe gak boleh nolak apapun yang gue pengen. Yang loe cukup lakukan hanya diam atau loe kana berakhir lebih cepat."

Aelke mulai menangis. Gadis itu terisak dan ingin minta tolong tapi, suasana di sana sangat sepi. Hanya ada dia dan kelima orang itu.

Tangan Ray mulai bergerak dari memegang rahang Aelke, turun ke leher dan berhenti di pundak Aelke. Pria itu kembali tersenyum miring sebelum menarik kasar jaket yang Aelke kenakan sehingga hanya tertinggal kaus putih yang Aelke kenakan. Ray kembali meraih kaus bagian pundak Aelke sebelum menariknya kasar hingga nyaris terlepas dari tubuh Aelke jika saja seseorang tidak datang dan menarik kencang lengan Aelke.

Orang itu mengajak Aelke pergi dan masuk ke dalam mobil. Setelah itu, orang itu melajukan mobil dengan cepat. Aelke melirik ke belakangnya melalui spion mobil. Aelke tercekat melihat orang-orang itu tengah berkelahi dengan orang lain yang tidak begitu terlihat jelas.


"Pake jaket ini," Aelke tersadar dan segera menoleh. Mendapati sebuah jaket yang disodorkan seseorang yang tengah menyetir itu. Orang itu bergerak cepat menyalakan lampu di dalam mobilnya dan saat itulah, Aelke sadar dengan siapa dia saat ini.

"Sandra?"

Ya, orang itu adalah Sandra. Sandra yang menyelamatkan Aelke. Tapi, bagaimana bisa?

"Nanya-nya nanti aja Aelke. Kita ke rumah aku aja, ya? Aku akan jelasin semuanya di sana." Sandra seakan bisa membaca pikiran Aelke. Aelke menganggukkan kepala kehabisan kata.


***


"Diminum tehnya, Ke. Oh, iya, ganti baju juga, sana. Baju kamu gak layak pakai banget." ujar Sandra seraya menunjuk kamarnya."Ganti bajunya di sana aja. Udah aku siapin di atas ranjang." Aelke menganggukkan kepalanya. "Makasih, ya."

"Iya sama-sama."

Aelke segera berjalan masuk ke dalam kamar yang Sandra maksud. Aelke menutup pintu dan mulai mengganti pakaiannya dengan pakaian yang Sandra letakkan di atas ranjang tidurnya. Setelah itu, Aelke berniat langsung ke luar kamar namun, gadis itu mengurungkan niatnya saat melihat beberapa pigura foto yang Sandra pajang di dalam kamarnya.

Ada foto Sandra sendiri, bersama keluarga, bersama teman-teman dan yang paling menarik perhatian Aelke dalah foto bertiga Sandra, Morgan, dan seorang gadis yang sepertinya tidak asing menurut Aelke. Aelke terus memperhatikan foto itu sampai perhatiannya teralihkan oleh suara decitan pintu. Sandra muncul dari luar dan Aelke segera mendekatinya.

"Ehm, maaf lama, ya?" Aelke merasa bersalah. Sandra terkekeh. "Gak apa-apa. Gak usah sungkan. Oh, iya, kamu udah makan malam? Makan malam dulu, yuk? Itu Morgan sama Rafael udah dateng." Ujar Sandra lembut.

"Morgan? Rafael?"

Sandra tidak menjawab pertanyaan Aelke melainkan langsung pergi menuju ke ruang makan. Aelke mengikutinya dan benar saja, Aelke bisa melihat dua pria paling berarti di hidupnya tengah duduk santai dengan kegiatan masing-masing. Rafael dengan handphone-nya dan Morgan sibuk memainkan jarinya mengetuk-ketuk meja sambil sesekali bersiul.

Sandra menarik kursi di dekat Morgan sementara Aelke menarik kursi di dekat Rafael. Aelke melirik Morgan sedikit.

"Mana, Gan?" Sandra mengulurkan tangannya di depan Morgan. Morgan menatap Sandra tak mengerti. "Mana apa?" tanya Morgan dengan wajah polos. Sandra memutar bola matanya. "Makanan, lah, Mor to the gan. Gue kan udah sms loe berkali-kali tadi buat beli makan malam buat kita rame-rame."

Morgan nyengir kuda sebelum meraba-raba jaket yang dia kenakan. "Handphone gue kayaknya jatoh di kamar, deh. Jadi, gue gak bawa hape." Jawab Morgan santai.

"Terus kita makan malam pake apa? Persediaan makanan di rumah gue abis gara-gara percobaan masak loe kemaren!" celetuk Sandra. Morgan terkekeh. "Tapi, yang penting kan hasil akhirnya." Jawab Morgan. Sandra semakin kesal dibuatnya. "Pokoknya, mulai besok, loe kalo mau nginep di rumah gue, bayar sewa sehari minimal tiga puluh ribu."

"Iya, gampang. Mending loe masak, deh, San. Gue laper."

"Gimana mau masak kalo gak ada bahan makanannya?"

"Ya, beli di warung."

"Morgan! Loe sekolah di mana, sih? Bahan makanan itu belinya di pasar! Bukan di warung!"

"Ya, udah beli mie instant aja. Entar makan rame-rame." Ujar Morgan. Sandra menarik nafas sebelum bangkit berdiri dan hendak ke luar untuk membeli pesanan Morgan. Morgan mengerling sambil bertanya, "mau gue temenin?"

"Enggak. Makasih." Jawab Sandra ketus dan segera berjalan ke luar.

Morgan beralih menatap Rafael dan Aelke yang sedari tadi hanya diam. "Kalian berdua kenapa diam?" tanya Morgan.

"Enggak. Aneh aja. Gue gak yakin loe sama Sandra pacaran sejak tadi." Jawab Rafael.

Morgan terkekeh. "Sebenernya, gue cuma becanda kali waktu ngomong Sandra itu pacar gue. Dia sodara sepupu gue."

Mendengar ucapan Morgan itu, tanpa terasa, Aelke merasakan kebahagiaan yang teramat.


***


Malam ini, Aelke menginap di rumah Sandra. Aelke tidur satu kamar dengan Sandra sementara Rafael dan Morgan berada di ruang tengah untuk menyaksikan pertandingan sepak bola El-Classico antara Barcelona melawan Real Madrid.


"Seneng, deh, ada temen cewek sekarang." Ujar Sandra dengan ceria sambil menatap Aelke yang duduk di tepi ranjangnya. Aelke hanya tersenyum kepada Sandra. Aelke tidak tau harus berkomentar apa. Dia masih senang karena ucapan Morgan tadi.

"Oh, ya, Aelke, kamu kenal Morgan sejak kapan?" tanya Sandra tiba-tiba.

"Baru, kok. Belum ada tiga bulan." Jawab Aelke.

"Kok, bisa deket kayak gini?" tanya Sandra. Aelke mengedikkan bahunya. "Deket gimana, sih? Kayaknya gak deket-deket banget." ujar Aelke malu-malu.

"Tapi, Morgan sering cerita tentang kamu, loh, Ke." Aelke menatap Sandra tak percaya. "Seriusan?"

"Serius. Dan biasanya, kalo Morgan udah mulai sering ngomongin seorang cewek berkali-kali, itu artinya, Morgan suka sama cewek itu."


***


"GOOOOLLLL!!!" Morgan berteriak senang saat tim unggulannya, Barcelona menyetak angka kedua mereka. Rafael mulai melemas. Bukan karena dia mengantuk tapi, karena Rafael sadar jika timnya akan kalah dan membuat Rafael harus merelakan uang dua juta rupiah taruhannya menjadi milik Morgan.

"One more step. Lumayan, lah buat jajan." Ujar Morgan tersenyum lebar kepada Rafael. Morgan mulai kembali menyaksikan pertandingan itu.

"Gan," tiba-tiba saja Rafael memanggil Morgan yang tengah serius.

"Ehm?" Morgan bergumam tak jelas.

"Gue boleh nanya sesuatu sama loe?"

"Apa?"

"Loe suka sama adek gue?" Pertanyaan Rafael itu membuat Morgan mengalihkan pandangannya kepada pria itu.

"Kenapa loe nanya kayak gitu?" Morgan balik bertanya.

"Kayaknya, adek gue suka sama loe." ujar Rafael.

Morgan terkekeh. "Baru 'kayaknya', kan? Gue gak yakin Aelke suka sama gue."

"Ya, gue juga gak tau, sih. Tapi, loe suka gak sih sama dia?" tanya Rafael lagi. Morgan tak menjawab dan kembali menatap fokus ke kaca televisinya.   

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang