Part 19

182 16 0
                                    

"Di mana loe saat teman loe sekarat dan mati?!" Dicky membentak Morgan yang baru saja tiba di rumah sakit tiga jam setelah polisi datang dan mengamankan Aelke, Ilham, Rangga dan Dicky sementara para mafia itu lolos tanpa ketahuan.

Morgan menundukkan kepalanya. "Sorry, Ky. Gue..gue gak tau kalo semuanya akan berakhir kayak gini. Gue.." belum sempat Morgan melanjutkan ucapannya, Dicky memotongnya sambil dengan kasar mendorong tubuh Morgan hingga mundur beberapa langkah ke belakang.

"Gak usah munafik, deh, loe! Bajingan!" umpat Dicky penuh amarah. Morgan hanya diam menundukkan kepala, bingung harus berkata apa.

"Loe gak mikir, Gan? Loe hampir ngebuat gue dan Ilham serta Aelke mati kayak yang loe perbuat sama Rangga! Gue tau loe ada di sana! Gue tau loe ngawasin kita tapi, loe gak bisa berbuat apa-apa, kan? Karena loe pengecut! Loe bajingan!" sembur Dicky begitu saja. Morgan membulatkan matanya. "Gue bukan pengecut."

"Ya, terserah loe mau ngomong apa. Yang jelas, sekarang, gue tau siapa loe sebenernya. Gue tau kalo selama ini, loe satu tim, kan, sama Ray buat ngebunuh Aelke? Loe masih bergabung dengan mereka, kan? Loe selama ini nyamar jadi orang baik-baik sementara niat loe adalah niat buruk untuk nyelakain seorang gadis yang bahkan tulus sayang sama loe!" ujar Dicky. Morgan tercengang mendengar penuturan Dicky.

Di lain sisi, seorang gadis yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka berdua muncul begitu saja, dengan mata berkaca-kaca sambil bertanya parau, "jadi, selama ini, kamu yang berniat nyelakain aku?"


Morgan dan Dicky menoleh ke sumber suara dan mendapati Aelke berdiri beberapa langkah di dekat mereka dengan air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya. Morgan berjalan cepat menghampiri Aelke dan Aelke hanya terdiam di tempatnya. Morgan merengkuh pundak Aelke dan berusaha meyakinkan Aelke, "Ke, aku bisa jelasin semuanya. Aku sama Ray itu..."

Aelke melayangkan tamparan keras di pipi Morgan dan membuat Morgan terdiam. Aelke menatap Morgan penuh kebencian sebelum berkata menekankan.

"Pembunuh!"


***


Aelke berdiam diri di kamar. Dia tidak menyangka jika orang yang selama ini dekat dengannya, yang sangat sering melindunginya dan berhasil menarik ulur isi hatinya adalah orang yang akan membunuhnya. Benar-benar membunuhnya secara perlahan. Dari menyakiti perasaan sebelum nantinya, akan menyakiti secara fisik.

Rafael baru saja pulang dari perjalanan kampusnya. Ya, selama tiga hari belakangan, Rafael melaksanakan study banding di Bandung bersama teman-teman mahasiswanya. Namun, belum tiga hari, Rafael sudah pulang atas telepon dari Aelke.

Rafael berhambur masuk ke dalam kamar Aelke dan mendapati adiknya itu tengah menangis tersedu-sedu di atas ranjangnya. Rafael memeluk adiknya dan menyandarkan kepalanya adiknya itu di pundak.

"Udah, Ke, gak usah nangis lagi. Kamu janji sama aku gak akan nangis lagi." Rafael mencoba menenangkan Aelke.

"Tapi, Raf, kamu gak tau gimana rasanya jadi aku. Aku jatuh cinta sama seseorang yang akan bunuh aku nantinya. Bunuh aku tanpa alasan yang jelas, Raf. Morgan yang selama ini adalah otak semua teror yang aku terima." Ujar Aelke.

"Aku udah curiga itu, Ke, setelah dengar cerita kamu. Bagaimana dia datang waktu kamu dalam bahaya, bagaimana dia bicara sama kamu tapi, ya, aku selalu mencoba berpikir positif. Aku gak mau negatif thinking sama dia tapi, kalo tau akhirnya kayak gini, aku gak akan izinin kamu dekat sama dia." Rafael mengelus lembut puncak kepala Aelke.

"Dia pasti akan segera cari aku dan bunuh aku, Raf. Aku gak mau mati ditangan dia. aku gak mau." Aelke berujar histeris. Rafael menatap iba adiknya sebelum berkata, "enggak, Ke. Aku akan selalu jadi guardian angel buat kamu. Buat adik aku sendiri. kalo dia berani dekatin kamu, aku akan langsung buat perhitungan sama dia."


***


Ini sudah hari ketujuh Morgan tidak mendapatkan kabar apapun dari Aelke walaupun, pria itu masih rajin mengawasi Aelke dari kejauhan. Ya, tugas Morgan memang mengawasi Aelke dan mengamati gerak-gerik gadis itu.

Setelah memastikan semuanya aman, Morgan meraih handphonenya dan tampak menghubungi seseorang.

"Semua aman. Target sepertinya ingin ke luar dari rumah. Gue akan ngikutin mereka dari belakang dan kalian akan gue kabarin secepatnya." Ujar Morgan.


***


Aelke senang bukan main saat Rafael mengajaknya berlibur ke Puncak, Bogor. Setidaknya, Aelke memang butuh refreshing dan udara yang segar. Rafael mengajaknya pergi berangkat dari Jakarta pada malam hari supaya, mereka tidak perlu panas-panasan dan mengalami kemacetan di jalan.

Butuh perjalanan sekitar tiga jam melewati tol hingga akhirnya mereka sampai di Puncak. Rafael ke luar terlebih dahulu dan membukakan pintu mobilnya untuk Aelke. Aelke segera ke luar dari mobil dan di saat bersamaan, udara dingin berhasil membuatnya harus memeluki dirinya sendiri.

"Kamu kan udah aku bilang pake baju yang berlapis-lapis." Ujar Rafael. Aelke terkekeh. "Iya maaf. Kelupaan."

Rafael menarik nafas sebelum membuka bagasi mobilnya dan mengeluarkan sebuah jaket lainnya. Rafael memakaikan jaket itu di sekeliling tubuh adiknya itu dan menuntun Aelke masuk ke dalam villa.

Sesampainya di dalam, Rafael membuatkan cokelat panas untuk Aelke supaya, Aelke merasa lebih baik. Ini sudah pukul sembilan malam.

"Nah, gimana cokelat buatan aku? Enak, kan?" tanya Rafael antusias. Aelke menganggukkan kepala setelah menyeruput cokelat itu. Rafael ikut menyicipi cokelat buatannya tersebut.

"Kamu belum mau istirahat?" tanya Rafael. Aelke menggelengkan kepalanya sambil terus memeluki tubuhnya. "Belum ngantuk, Raf."

"Gimana kalo kita cerita-cerita? Kita kan udah lama gak ketemu. Gimana kalo kita tukar pengalaman? Kamu cerita gimana kehidupan kamu sama Papa dan aku akan ceritain gimana kehidupan aku sama Mama dan juga Jenny. Aelke mulai bercerita tentang kehidupan hampanya, tanpa teman dan hanya mempunyai ayahnya seorang. Itu dulu.

Rafael tersenyum tipis. "Duh, Ke. Hidup kamu itu termasuk baik dan gak menyedihkan kayak aku, Jenny sama Mama, kan?" Aelke memicingkan matanya. "Oke. Kamu harus cerita! Oh, iya, aku juga pengen ketemu sama Mama dan Kak Jenny juga!" ujar Aelke antusias.

"Kak Jenny kerja, Ke. Di Bandung. Dia balik ke Jakarta tiap dua bulan sekali. Nanti kalo dia balik, aku langsung bawa dia ke kamu, deh." Janji Rafael mengangkat dua jarinya.

"Kak Jenny kerja di Bandung? Di mana-nya?" tanya Aelke penasaran.

"Di salah satu pabrik tekstil." Jawab Rafael santai.

"Terus kalo Mama gimana?" tanya Aelke lagi.

Rafael menarik nafas sebelum berkata dengan sangat berat. "Mama udah gak ada, Ke. Emangnya, Papa gak ngabarin kamu waktu pemakaman Mama?" tanya Rafael. Aelke tercekat. "A-apa? Mama udah..? Kenapa Papa gak ngasih tau aku? Kenapa kamu gak ngasih tau aku, Raf?!" tanya Aelke kencang.

"Aku udah hubungin Papa berkali-kali dan Papa gak pernah angkat telepon. Mama meninggal setahun yang lalu. Komplikasi. Dan kamu tau apa yang Mama sampaikan di akhir hayatnya?" tanya Rafael.

"Apa?"

"Dia pengen ketemu sama anak terakhirnya. Dia pengen meluk anak terakhirnya. Yaitu kamu."

Ucapan Rafael itu berhasil membuat Aelke tersentuh. Aelke juga ingin merasakan semua itu. Aelke ingin bertemu dengan ibunya. Aelke ingin memeluk ibunya. Seperti yang lainnya. Aelke ingin punya keluarga dengan orang tua yang lengkap.

"Nah, udah denger cerita, kan? Gimana kalo sekarang kamu tidur? Besok aku ajak kamu ke tempat yang bagus." Ujar Rafael menginterupsi. Aelke tersenyum dan menuruti perintah kakaknya itu. 

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang