Rainie berada tak jauh dari situ. Ia seolah terbang mengiringi laju kencang mobil yang dikendarai Topan. Ia merasakan kebingungan dan ketakutan Topan. Ia ikut terjebak dalam kusutnya pikiran pemuda itu, kesulitannya dalam mengambil keputusan antara harus menekan pedal di bawah kaki yang mana, harus seperti apa menggerakkan tangannya. Akhirnya keputusan salah berakibat fatal. Kaki kanan Topan menekan pedal gas dalam-dalam, setelah itu hanya gerakan tak jelas dari kedua kaki dan tangannya. Gerakan itu berhenti saat mobilnya menabrak pembatas jalan, sebagian moncongnya tergantung di atas tebing, tertahan oleh pagar logam yang ringsek.
Rainie bisa merasakan kekalutan Topan: kesadarannya bahwa ia mengalami kecelakaan, bahwa mobilnya bisa saja jatuh, kekhawatirannya bahwa tak ada yang akan menemukannya. Topan sempat berpikir untuk mencari ponselnya dan menghubungi Rainie, tapi ia terlalu malas untuk bergerak. Dan di belakang semua pikiran itu, ada secuil perasaan lega karena akhirnya ia bisa tidur. Dan itulah yang akhirnya Topan lakukan, ia tidur.
Rainie ingat ia berpikir penuh syukur bahwa sedang tak ada orang di jalan itu sehingga tak ada korban lain. Pikiran miliknya sendiri sebelum ia terbangun.
*
Jarum jam di dinding menandakan pukul tiga pagi. Rainie berusaha melanjutkan tidurnya, tetapi setelah setengah jam usahanya sia-sia, ia akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Ia menenggak segelas air dingin sambil mengingat kembali mimpinya.
Mimpi itu telah mendatanginya selama tiga tahun ini, tidak sering, tetapi sekalinya datang cukup meresahkan. Rainie sering bertanya-tanya apakah ia memimpikannya saat Topan memimpikannya, atau apakah Topan bahkan pernah dihantui mimpi itu. Ia tak tahu jawabannya karena ia tak pernah berani bertanya. Rainie takut membuka luka lama.
Rainie beranjak dari dapur. Dalam perjalanan kembali ke kamarnya, ia berhenti sebentar di depan pintu kamar Topan, berusaha mendengarkan suara-suara yang menandakan bahwa Topan juga sedang terbangun seperti dirinya. Sepi di balik pintu. Rainie pun kembali ke kamarnya dan naik ke tempat tidur. Sadar ia tak akan bisa tidur lagi, ia pun meraih novel yang baru setengah terbaca di atas nakas. Ia mengatur bantal di punggungnya dan menutupi kakinya dengan selimut lalu mulai membaca, menunggu pagi tiba.
*
Setelah matahari terbit agak tinggi, Rainie membuka jendela kamarnya untuk membiarkan udara segar masuk. Ia melayangkan pandangan ke halaman samping di balik jendelanya, mencari-cari apa yang bisa dilakukannya di tamannya. Ia memutuskan untuk merapikan sedikit rerimbunan mawarnya--membuang daun-daun kering dan ranting yang mencuat--dan menyiangi rumput liar di sekitar semak-semak bunganya. Ia masih kebingungan dengan gerombolan turnera putihnya yang semakin tinggi. Rencana mancari tahu cara merapikannya di internet selalu terlupakan.
Rainie keluar dari kamarnya. Ia menyempatkan diri mengetuk pintu kamar Topan untuk membangunkannya. Setelah mendengar gumaman samar sebagai jawaban, ia meninggalkan pintu itu dan keluar melalui pintu belakang dan segera bekerja.
Matahari hari Minggu bersinar kekuningan, hangatnya mencubit lembut tengkuk Rainie yang tidak terlindung oleh rambutnya yang dikuncir. Tiba-tiba saat sedang bekerja ia merasa lelah. Ia tahu lelah yang dirasakannya tak ada hubungannya dengan kegiatan berkebunnya. Yang lelah adalah hatinya, yang diikuti dengan selapis tipis perasaan putus asa. Ia menoleh ke arah rumah, dan tahu Topan sudah benar-benar bangun sekarang. Setelah mencabut rumput liar yang tersisa, ia beranjak masuk ke rumah.
Setelah membersihkan diri, ia mulai menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng yang menguar ke seluruh penjuru rumah seolah membawa Topan keluar dari kamarnya. Rainie mendengar pintu kamarnya terbuka dan Topan meluncur di atas kursi rodanya menuju kamar mandi.
Rainie melihat wajah tak bersemangat Topan. Wajah itulah yang selalu dipasang adiknya itu setiap pagi selama tiga tahun terakhir, yang perlahan-lahan menjadi normal seiring makin tingginya matahari. Rambut Topan yang semakin panjang berantakan di sekitar wajahnya, poninya turun hampir menutupi matanya. Rainie mendesah, sudah waktunya ia memaksa Topan untuk memangkas rambutnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooms Full of Perfumes
ChickLitRainie benar-benar tak menyangka saat tunangan sahabatnya memintanya berpura-pura menjadi tunangannya, menggantikan sahabatnya yang menghilang tanpa kabar. Gila? Pastinya. Seru? Mungkin. Dengan alasan ingin menolong orang dalam kesulitan, Rainie ber...