Topan memandang keluar jendela di sebelah meja kerjanya di ruang duduk. Hujan yang tadinya berupa gerimis kini telah turun dengan lebat, kilatan cahaya muncul berkali-kali dari balik awan hitam. Barusan tadi petir terdengar melecut nyaring. Topan memutuskan untuk menutup dulu laptopnya. Lebih baik ia melanjutkan membaca dulu sisa bagian akhir yang belum dibacanya dari buku yang sedang diterjemahkannya. Ia mendorong kursi rodanya menjauh dari jendela mendekati sofa lalu mengangkat tubuhnya dan berbaring santai di tempat duduk empuk itu.
Petir menyambar sekali lagi. Dengan lega Topan mengingat pesan Rainie yang masuk satu jam sebelumnya untuk memberitahukan bahwa ia telah tiba di Jakarta. Karena mungkin saja hujan lebat ini tidak hanya terjadi di Pangkalpinang, tetapi juga mempengaruhi langit sekitar Jakarta. Topan tak bisa membayangkan akan seberapa panik ia memikirkan Rainie terbang dalam cuaca buruk ini. Mengkhawatirkan satu-satunya keluargamu yang tersisa, jangan sampai ia juga hilang darimu seperti anggota keluarga lainnya. Topan belum pernah punya alasan untuk mencemaskan Rainie sebesar itu, tetapi ia tahu rasanya ketakutan akan jadi sebatang kara. Ia merasakannya dari Rainie. Dalam kondisi setengah sadar ia merasakan kekhawatiran kakaknya akan kondisinya, dan rasa lega luar biasa menerpanya saat ia perlahan-lahan membuka matanya. Topan tahu itulah yang akan ia sendiri rasakan jika posisi mereka dibalik.
Samar-samar dibalik suara hujan ia mendengar pintu diketuk dan seseorang memanggilnya. Rasanya ingin sekali ia mengabaikan saja orang itu, berpura-pura tak ada orang di rumah, atau sedang tidur. Malas sekali rasanya harus memindahkan tubuhnya kembali ke kursi roda dan mendorong tubuhnya ke pintu depan hanya untuk mendapati urusan yang tak penting. Namun kemudian ia mengenali suara orang yang memanggilnya. Rudi.
Sambil mengerutkan keningnya Topan balas berteriak, "Sebentar!" Lalu dengan susah payah ia pindah ke kursi rodanya dan meluncur untuk membuka pintu. Rudi masuk cepat-cepat dan menutup pintu kembali. Pakaian dan rambutnya basah.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Topan.
Rudi mengangkat tangannya menunjukkan bungkusan yang dibawanya. "Bawain makanan buat kamu," katanya dengan cengiran.
Topan mendengus lalu kembali ke ruang duduk. Rudi berjalan dibelakangnya dan langsung menuju dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan handuk tersampir di bahunya dan mangkuk di tangannya. Ia meletakkan mangkuk di meja di depan Topan. "Aku harap kamu masih lapar," katanya.
Topan melihat tumpukan makanan laut bercangkang--kerang-kerangan, udang--di dalam kuah bening, dan langsung menarik mangkuk itu mendekat. Hangat.
"Alasan aja, kan, ini?" katanya sambil mengunyah kerang.
Rudi memasang tampang pura-pura tidak mengerti. "Apanya?"
"Aku udah makan loh sebenarnya." Topan menghirup kuah dari sendoknya.
Rudi menggosok-gosok kepalanya dan tak mengatakan apa-apa. Topan melihat bahwa handuk yang digunakan Rudi adalah milik Rainie. Ia bertanya-tanya apakah handuk itu dipilih dengan sengaja atau kebetulan jadi yang terdekat dengan jangkauan tangannya.
"Kamu harusnya belum pulang kan jam segini?" tanya Topan lagi.
"Lah, aku kan mau nganterin kamu makan. Aku kan nggak mau tetanggaku mati kelaperan," jawab Rudi.
Topan mengangkat bahunya dan meneruskan makannya. Ia tahu nanti Rudi akan buka suara juga. Sementara itu ia melirik diam-diam, memperhatikan temannya itu mengotak-atik telepon genggamnya dengan gemas. Setelah meletakkan ponselnya dengan kasar di sofa di sebelahnya, ia melihat jam tangannya. Topan cepat-cepat menatap kembali mangkuknya saat ia melihat Rudi menoleh ke arahnya. Akhirnya tak tahan lagi, Topan tertawa.
"Apa?" katanya.
"Rainie. Dia udah sampai di Jakarta?"
Topan tersenyum. "Udah. Tadi dia sms."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooms Full of Perfumes
ChickLitRainie benar-benar tak menyangka saat tunangan sahabatnya memintanya berpura-pura menjadi tunangannya, menggantikan sahabatnya yang menghilang tanpa kabar. Gila? Pastinya. Seru? Mungkin. Dengan alasan ingin menolong orang dalam kesulitan, Rainie ber...