9. Twist Tak Terduga

11 1 0
                                    

"Top, tebak tadi aku ketemu siapa?" tanya Rainie penuh semangat melalui telepon. Ia sudah kembali ke hotelnya dan sekarang duduk di balkon kamarnya dengan ponsel di telinga.

"Chelsea?" balas Topan.

"Bukan." Rainie ragu sesaat, lalu melanjutkan dengan antuasisme yang sedikit dikurangi. "Rosi."

Rainie menunggu reaksi Topan. Tak terdengar apa-apa selama beberapa waktu kecuali napas Topan. Lalu Topan berkata, "Oya? Gimana kabarnya?"

"Baik. Dia masih inget aku, loh. Rosi yang negur duluan, malah. Kayaknya dia nambah kurus, deh."

"Tapi dia sehat, kan?"

Rainie tersenyum diam-diam. "Iya, sehat. Dia nanyain kamu."

"Terus kamu bilang apa?"

"Ya, aku bilang kamu baik-baik aja. Sehat, ceria, gembira. Tapi Rosi tahu aku banyak bohongnya." Rainie tertawa kecil. Ia bersyukur mereka hanya bicara melalui telepon, karena kalau Topan ada di dekatnya pasti ia akan mengulurkan tangannya untuk memukul Rainie.

"Makasih udah berusaha," kata Topan datar.

Rainie berdeham. "Anu, dia minta nomor telepon kamu sebenarnya. Atau jalur kontak lainnya. Tapi aku bilang mau minta izin kamu dulu." Rainie menunggu. Tak ada respons, ia bertanya, "Gimana? Kasih, nggak?"

"Memangnya dia sekarang ada di situ?" Topan balik bertanya.

"Nggak. Kami ketemunya tadi siang, di toilet restoran, sih. Jadi nggak bisa ngobrol banyak. Tapi kami udah tukaran kontak. Dan kalo sempat, rencananya mau ketemuan hari Minggu nanti sebelum aku pulang. Nah, jadi kasih nggak nomor kamu?"

Topan mendesah. "Nggak usahlah, Rain. Buka-buka luka lama saja. Kasihan dia. Kasihan aku."

Rainie melayangkan pandangannya ke sebuah gedung tinggi di kejauhan. Sebagian besar jendelanya menyala putih. Ia menebak-nebak gedung apa itu; kantorkah, hotel lainnya, atau apartemen? Rainie menyipitkan matanya, berusaha melihat pergerakan di balik jendela. Jika itu kantor, ia mencoba memikirkan apakah mungkin orang yang tersisa di situ merasa kesepian. Apakah Topan kesepian?

"Dia masih sendiri loh, Top," ujar Rainie.

"Belum tentu karena dia nggak mencari."

"Tapi dari caranya nanyain kamu, seolah dia masih berharap."

"Seolah," dengus Topan. "Mungkin perasaan kamu saja, Rain. Lagian sudahlah, nggak usah bikin dia berharap sama orang yang nggak bisa diharapin." Topan diam sebentar, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lemah, "Kamu mikirin aku juga dong, Rain."

Rainie mengembuskan napas diam-diam. "Iya, deh. Aku pikirin kamu. Ini sekarang aku nelepon, kan."

"Gimana urusan kamu sendiri?" tanya Topan.

Kali ini Rainie mendesah keras-keras. "Belum jadi. Pamannya minta besok aja. Masih capek, katanya. Deg-degan banget rasanya. Padahal kalau udah ketemu tadi siang, sekarang mungkin bisa santai."

"Kalau begitu tadi siang kamu ngapain?"

"Makan sama Andra dan saudara-saudaranya. Di restoran itu aku ketemu Rosi."

"Mereka serem, ya?"

"Siapa?"

"Saudara-saudaranya Andra itu?"

Rainie mengerutkan kening mencoba mencerna asal-muasal pertanyaan Topan itu. Mengapa Topan mengajukan pertanyaan seperti itu? Tiba-tiba Rainie ingat, Topan pasti telah merasakan emosinya yang naik dalam pembicaraan saat makan siang tadi dengan Kak Yuli dan Feby.

Rooms Full of PerfumesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang