Setelah makan siang, Rainie dan Andra beserta kedua orang tua Andra dan Om Zuhrian mengadakan pembicaraan di ruang tempat mereka berkumpul tadi, sementara yang lainnya menyingkir ke ruang lainnya. Es teh manis terhidang di meja, yang diminum Rainie berkali-kali untuk membantu menenangkan kegugupannya yang disebabkan topik pembicaraan mereka. Mereka sedang membicarakan rencana pernikahan.
Om Zuhrian bertanya banyak tentang perencanaan yang sudah mereka buat. Rainie menyerahkan sebagian besar pembicaraan kepada Andra, sesekali ia hanya buka suara jika hal yang dibicarakan adalah hal yang kebetulan sudah ia ketahui dari percakapannya dengan Chelsea. Sebetulnya tidak banyak yang ia ketahui, karena setahunya Andra dan Chelsea memang belum bicara banyak tentang detail acara pernikahan itu sendiri.
Yang cukup membuat tidak nyaman adalah ternyata hal-hal yang mereka bicarakan cukup mendetail. Rainie sampai hampir merasa seperti membicarakan pernikahannya sendiri. Andra bisa menjawab dengan baik sebagian besar pertanyaan pamannya, membuat Rainie menduga-duga apakah itu hanya kebohongan atau memang ia dan Chelsea telah membicarakan hal itu. Kalau memang ia dan Chelsea telah bicara sebanyak itu, kenapa Chelsea tidak bicara banyak pada Rainie?
Beberapa hal baru yang berkaitan dengan acara besar itu ditambahkan, kebanyakan oleh Om Zuhrian, dan pihak Andra mengiyakan saja sampai-sampai Rainie bertanya-tanya sendiri apakah terpikir oleh mereka untuk melibatkan orang tua Chelsea. Namun kemudian ia teringat bahwa ia sendiri adalah Chelsea, tentu keluarga Andra beranggapan bahwa persetujuannya sudah mewakili keluarganya. Lagipula, Chelsea bisa menyampaikan hasil pembicaraan mereka pada orang tuanya, dan mereka juga dapat menyampaikan keberatannya melalui Chelsea nanti; pasti begitu dalam pikiran mereka.
"Jadi resepsinya akan diadakan dua kali, kan?" tanya Om Zuhrian mengonfirmasi hal yang sudah dibahas sebelumnya.
"Iya, di Bangka dulu, baru di Jakarta," jawab Andra.
"Tempat yang di Bangka gimana?"
"Akan diadakan di rumah keluarga Chelsea saja sih, Paman."
"Lho, kenapa nggak di gedung? Di Pangkalpinang nggak ada gedung yang memadai, ya? Cari yang di luar kota saja, kalau ada. Apa nggak ada juga?" Om Zuhrian menatap Rainie. "Gimana Chels, ada?"
"Ada kok, Om, gedung yang memadai. Banyak. Hotel yang layak juga ada lebih dari satu. Resor-resor bagus pinggir pantai juga tersedia. Pantai pribadi juga ada." Rainie membual. Ia tak yakin kalimat terakhirnya menyatakan kebenaran. Ia tak tahu bagaimana pendapat Andra tentang dustanya itu. "Tapi halaman rumah kami luas kok, Om. Tenang aja, nggak malu-maluin, kok."
"Siapa yang ngomong soal malu? Saya cuma bicara soal kapasitas untuk menampung tamu," kata Om Zuhrian dengan nada dingin.
"Muat, Om, muat. Lagian kami nggak berencana nyebarin banyak undangan, kok." Cepat-cepat Rainie menoleh pada Andra, menatapnya penuh pertanyaan. Ia takut telah salah bicara. Ini adalah detail penting, yang dibicarakannya harus sesuai dengan yang telah disepakati Andra dan Chelsea.
Andra tersenyum. "Iya, undangannya nggak banyak."
"Lho, kenapa cuma sedikit? Kayak nggak punya temen saja kalian ini."
"Maklum Om, anak muda jaman sekarang. Pesta pernikahan dengan ribuan tamu undangan rasanya jadul," balas Rainie. Kali ini ia tak berniat lagi membual, tetapi balas memukul.
"Apa itu jadul?" tanya Om Zuhrian sambil menyipitkan matanya.
"Jaman dulu, Om. Kuno. Ketinggalan jaman," jawab Rainie datar. Itulah pukulan balasannya. Ia puas bisa membalas lelaki itu, tetapi kemudian ia sadar mungkin telah menyinggung perasaan Andra dan kedua orang tuanya.
Benar juga dugaannya, karena kemudian ibu Andra menegur, "Chelsea, jaga kesopananmu!"
"Sudah Mik, nggak apa-apa. Anak jaman sekarang memang gini, kan. Kurang sopan santun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooms Full of Perfumes
ChickLitRainie benar-benar tak menyangka saat tunangan sahabatnya memintanya berpura-pura menjadi tunangannya, menggantikan sahabatnya yang menghilang tanpa kabar. Gila? Pastinya. Seru? Mungkin. Dengan alasan ingin menolong orang dalam kesulitan, Rainie ber...