16. Story of My Life

8 1 0
                                    

Chelsea mengangkat nampan dan membawanya kepada pelanggan yang duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan. Seperti biasa, para pelanggan laki-laki akan memutar kepala mereka mengikuti arah gerakannya. Beberapa pelanggan perempuan menatapnya dengan kagum, tetapi ada lebih banyak yang memandangnya dengan ekspresi cemburu. Story of my life, pikirnya. Ia sudah terbiasa sejak kecil menjadi perhatian seperti ini. Sudah sejak lama Chelsea belajar untuk mengabaikan.

Sudah dua minggu ia kembali berada di Bangka. Ia memilih untuk tinggal di Sungailiat, kota sebelah. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah kafe, tempat tak seorang pun mengenalnya. Ia belum ingin muncul lagi di hadapan kehidupan lamanya. Kejutan yang dirasakannya waktu melihat Andra bersama Rainie telah menanamkan keraguan lebih dalam pada dirinya. Ia jadi semakin bertanya-tanya apa ia ingin kembali menjalin hubungan dengan Andra. Atau apakah ia pantas untuk pria itu.

Chelsea sekarang sedang ingin memahami apa yang ia rasakan. Ia ingin memikirkan apa yang akan dirasakannya jika ia bukan lagi kekasih Andra. Ia ingin tahu, putus atau kembali dengan pria itukah yang diinginkannya. Untuk itu ia perlu waktu lagi, konsentrasi. Ia butuh ketenangan.

"Mbak, sini, dong," salah seorang pelanggan yang duduk di meja tak jauh dari yang sedang dilayaninya memanggil.

Chelsea menoleh, dan menyadari dirinyalah yang dipanggil, ia segera menghampiri meja tersebut.

"Ada yang bisa dibantu, Dek?" tanyanya ramah.

"Minta nomor hape, dong. Atau WA, deh," kata pemuda dengan penampilan yang tampak bertahun-tahun lebih muda darinya.

Chelsea tersenyum, tampak tamah di luar, tetapi hampir marah di dalam. "Maaf, Dek. Kafe sini nggak nyediain nomor hape. Tambah kopi mau?"

"Waah, Mbak, jangan pelit-pelit, dong," timpal salah satu teman anak itu. "Kawanku ini bisa ngajak Mbak belanja-belanja, loh. Dia siap diporotin sama cewek cantik kayak Mbak."

"Tapi sayangnya cewek cantik ini nggak siap morotin dia. Malu keliatan sama orang yang tampangnya nggak selevel," cetus Chelsea dengan suara rendah, tapi intonasinya merendahkan.

Wajah pemuda pertama mengeras. "Sombong bener sih, Mbak. Pelayan kafe aja," semburnya dengan suara keras.

Orang-orang mulai menoleh ke arah mereka. Wajah Chelsea memanas, bukan karena malu, tetapi marah karena sangat tersinggung. Baru ia hendak membuka mulut melontarkan balasan, terdengar seseorang memanggilnya. Chelsea menoleh dan melihat sang pemilik kafe bertubuh besar berjalan ke arah mereka. Wajahnya galak.

Boris, sang bos, berdiri di sebelah Chelsea menghadap anak-anak lelaki di meja tersebut. "Kalian jangan kurang ajar sama pegawai di sini, ya," ujarnya dengan nada tenang dengan suaranya yang berat. "Kalau sikap kalian begitu, mending keluar dari sini. Mungkin ada tempat lain yang lebih cocok untuk kalian."

Walau tanpa nada mengancam, suara Boris yang tenang justru semakin mendukung ukuran tubuhnya dalam mengintimidasi tanpa terang-terangan melakukan itu. Anak-anak itu langsung membuang muka, entah menunduk menatap meja atau mengalihkan pandangan ke arah jendela. Boris menepuk pundak Chelsea ringan, lalu kembali ke arah ruangan tempat tadi ia datang. Chelsea menyusulnya meninggalkan tempat itu dan kembali ke dapur.

Boris adalah teman Chelsea yang dikenalnya waktu kuliah di Jakarta. Bukan teman kuliahnya tepatnya, karena Boris berusia sepuluh tahun di atasnya, mereka lebih tepat disebut temannya teman. Salah satu teman kuliah Chelsea adalah sepupu Boris, dan di satu acara di tempat teman itulah mereka dikenalkan karena sama-sama berasal dari Bangka. Mereka tidak dekat, tetapi tetap menpertahankan tali komunikasi melalui media sosial. Keajaiban internet.

Waktu Chelsea kembali ke Bangka, ia tahu bahwa ia belum ingin berhubungan kembali dengan lingkaran lamanya. Dan saat itu ia teringat pada Boris, dan karena tahu bahwa lelaki itu memiliki usaha sendiri, ia berharap bisa mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi dirinya dalam persembunyian. Beruntung baginya Boris menerimanya dengan tangan terbuka. Dengan bantuan Boris dan sejumlah uang yang masih dipegangnya, Chelsea menemukan sebuah rumah kontrakan kecil tak jauh dari tempatnya bekerja kini. Rumah kopel di mana ia harus berbagi dinding dengan orang lain, jauh berbeda dengan rumah berhalaman luas yang ia tinggali bersama orang tuanya sejak ia kecil.

Rooms Full of PerfumesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang