6. Dilema

12 2 0
                                    

Chelsea duduk menatap matahari turun perlahan-lahan di balik garis batas laut. Laut berwarna ungu dan semakin gelap setiap detik yang berlalu. Ia mengamati perubahan warna di hadapannya, berusaha menangkap setiap momen perubahannya, berusaha tak memikirkan apa pun. Kedua usahanya gagal. Ia tak bisa menangkap basah momen perubahan gradasi warna. Ia juga tak bisa tak memikirkan apa-apa.

Ini Kamis senja. Besok Jumat. Seharusnya sekarang ia berkemas-kemas untuk berangkat ke Jakarta yang seharusnya besok ia lakukan. Namun di sinilah ia, bersembunyi dari dunianya di surga Indonesia. Angin pantai Lombok menyapu wajahnya. Ujung lembaran rambutnya masuk ke matanya, tetapi Chelsea tak bergerak sedikit pun untuk menepisnya. Ia bergantung kepada angin untuk menyingkirkannya.

Tadi pagi ia mengaktifkan ponselnya dan mendapatkan lusinan usaha orang-orang dekatnya untuk menghubunginya. Dan bertumpuk-tumpuk pesan dari Andra. Pesan terakhir yang dikirimnya tadi malam meninggalkan kesan yang mengikuti Chelsea seharian ini. Tidak seperti pesan lainnya yang bernada panik dan penuh permohonan, pesan semalam bernada lembut dan tenang--setidaknya begitulah Chelsea melihatnya. Kangen, kata Andra. Bukannya Chelsea tak merindukan lelaki itu. Akan tetapi sekarang ia terlalu takut. Bukan lagi hanya pada masa depan yang ditawarkan Andra, tetapi juga pada masa kini. Ia memang pengecut. Sekarang ia terlalu takut untuk pulang setelah semua kekacauan yang ditimbulkannya.

Chelsea tersenyum di balik temaram malam yang mulai turun, lalu mulai tertawa kecil. Bukan karena ia merasa ada yang lucu. Ia menertawakan dirinya sendiri. Ia merendahkan kebodohannya telah bertindak secara impulsif. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengepak pakaiannya dan melarikan diri. Dasar pengecut. Hembusan angin semakin dingin. Kini tak lagi sekedar menyapu wajahnya, tetapi menamparnya. Tamparanlah yang ia butuhkan. Chelsea merapatkan kardigannya, lalu berdiri dan beranjak meninggalkan pantai.

***

Seharian ini Rudi uring-uringan. Ada-ada saja kesalahan para pegawainya yang membuatnya mengomel. Ia kelelahan sendiri dengan semua emosinya, tetapi lebih lelah lagi yang dirasakannya saat ia hanya duduk manis atau bekerja dengan tenang. Rasanya dadanya begitu sesak ingin meledak. Maka dibiarkannya matanya menangkap kesalahan para bawahannya dan dilepaskannya kemarahannya.

Kemudian setelah suaranya serak dan tubuhnya benar-benar capek, ia menyembunyikan diri ke kantornya setelah menyerahkan tanggung jawab di dapur kepada wakilnya, dan saat itu ia sadar bahwa kesalahan yang membuatnya marah-marah justru adalah perbuatannya sendiri. Rudi jadi malu sendiri. Ia jadi tampak seperti orang picik yang tak mau mengakui kesalahan dan malah melemparkannya kepada orang lain. Maka sore tadi ia keluar dari ruangannya dan meminta maaf kepada para karyawannya. Ekspresi lega di wajah mereka membuatnya semakin tidak enak.

Sekarang hari sudah malam. Sudah setengah jam yang lalu matahari terbenam. Sementara para pegawainya bersiap-siap menyambut aliran pelanggan untuk jam makan malam, ia keluar melalui pintu samping dapur ke dek kecil yang menggantung di atas sungai di samping restorannya yang biasa digunakan pegawainya untuk istirahat merokok. Rudi tidak merokok. Ia ke sini karena ingin menikmati angin malam yang sejuk yang bertiup dari arah sungai untuk mendinginkan kepalanya.

Rambutnya yang sudah tumbuh sedikit melewati bahu diikat, tengkuknya yang terbuka merinding terkena tiupan angin. Rudi menatap tebing di seberang sungai, di balik sesemakan rendahnya terlihat lampu-lampu menyala dari beberapa rumah. Ia menggaruk dagunya yang ditumbuhi rambut-rambut janggut pendek. Rainie sering menyarankannya agar mencukur bersih wajahnya, sama seperti gadis itu sering mengingatkan Topan untuk memotong rambutnya jika mulai panjang. Sepertinya Rainie suka pria berpenampilan rapi.

Seperti Andra.

Tanpa sadar Rudi menggeram, padahal niatnya hanya mau menghembuskan napas keras-keras. Rainie. Gadis itulah yang telah membuatnya senewen seharian. Dan Andra. Tiba-tiba laki-laki yang tak dikenalnya itu menjelma menjadi saingannya. Rudi tahu tak seharusnya ia berpikir begitu. Andra sudah punya kekasih yang ingin dinikahinya, yang sekaligus adalah teman dekat Rainie. Andra tidak mungkin kan, memanfaatkan kesempatan waktu pacarnya tidak ada untuk merayu gadis lain? Rainie juga tidak akan merebut tunangan sahabatnya. Namun Rudi tak bisa menepis rasa tidak sukanya dengan keterlibatan Rainie dalam sandiwara aneh pria itu.

Rooms Full of PerfumesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang