Hari Sabtu Rainie terbangun jam lima pagi karena mendengar nada panggilan dari telepon genggamnya. Ada panggilan suara dari WhatsApp. Ia baru ingat tadi malam sebelum tidur ia belum mematikan sambungan data internet.
Rainie sampai rumah pukul setengah dua belas malam sebelumnya. Lampu ruang tengah masih menyala saat ia masuk dan ia mendapati Topan sedang berbaring di sofa membaca buku. Topan menyipit memandanginya tanpa berkata apa-apa. Rainie hanya memberikannya cengiran sebelum menghilang ke kamarnya.
Ketika sedang berganti pakaian, Rainie mendengar Topan pun bersiap-siap tidur. Sekembalinya Rainie dari kamar mandi setelah sikat gigi dan mencuci muka, Topan sudah tak ada lagi di ruang tengah. Rainie mengetuk pintu kamarnya lalu berkata, "Sori aku pulang malam nggak bilang-bilang."
Hanya terdengar geraman dari kamar Topan.
Rainie pun masuk ke kamarnya setelah mematikan lampu-lampu. Ia berusaha langsung tidur, tetapi otaknya masih memutar-mutar ingatan tentang pengalamannya bersama Andra. Dari tempat karaoke mereka mencari cemilan malam, dan berhenti untuk makan gorengan dan minum susu kedelai hangat di pinggir jalan. Setelah itu mereka berkendara keliling kota sambil berbicara tentang berbagai macam hal, kecuali Chelsea. Akhirnya mereka sepakat untuk bertemu lagi besok malamnya. Andra mengajak makan malam di rumahnya, ia akan memasakkan spageti, katanya.
Waktu berhenti di depan rumah Rainie tadi, Andra mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Rainie. Tangannya hangat, membuat dada Rainie berdebar. Ia mengucapkan terima kasih. Rainie hanya bisa tersenyum kebingungan, dan menerima ucapan terima kasih itu. Ia bukannya bingung dengan ucapan terima kasih itu sendiri, tetapi lebih kepada fakta bahwa Andra sedang menggenggam tangannya dan memberikan senyum lembut padanya. Ia bingung karena jantungnya berdegup kencang dan kulitnya meremang. Pesona cowok ganteng memang luar biasa, pikirnya waktu itu.
Ia mengangkat ponselnya ke depan wajah dan melihat nama Rudi di sana. Mengerutkan kening, ia berusaha mengingat jam berapa di Singapura sekarang. Singapura lebih cepat satu jam dari Indonesia bagian barat, jadi di sana sekarang seharusnya pukul enam. Tetap saja masih terlalu pagi untuk menelepon seseorang. Rainie mengusap layar ponselnya.
"Hai, Rud," sapanya dengan suara parau.
"Aku ngebangunin kamu, ya?" Rainie bisa merasakan senyum dalam suara Rudi.
"Sengaja, ya?"
Rudi terkekeh. "Maaf. Tapi bangun pagi baik untuk kesehatan, loh."
Merasa kantuknya sudah hilang, Rainie bangkit dari tempat tidurnya dan membuka jendela. Udara pagi yang sejuk mengalir masuk ke kamarnya, menyentuh kulit lengannya yang terbuka. Ia menghirup napas dalam-dalam dan menikmati segarnya udara yang kontras dengan kamarnya yang agak panas.
"Makasih udah bangunin. Niat baik Anda aku hargai." Rainie kembali ke tempat tidurnya. "Apa kabar? Ada apa nelpon pagi-pagi begini?"
"Aku lupa, ada yang belum aku tanyain."
Rainie mengerutkan kening. "Ada apa?"
Hening beberapa detik di ujung sambungan telepon. Kemudian, "Aku mau tahu..." ada jeda sebentar, "gimana pendapatmu tentang nasi gorengku waktu itu?" Lalu tawa Rudi pun meledak.
"Kamu, ya. Dasar! Aku kirain ada apa."
Rudi masih tertawa. "Maaf, maaf. Nggak bisa nahan diri. Kamu juga sih, pake nanya apa alasanku nelpon. Masa nggak bisa nebak?"
"Apa lagi?" Rainie bertanya dengan nada sebal.
"Tebak, dong."
"Males."
"Aku kangen."
Rainie terdiam. "Cepetan pulang, dong," ujarnya lembut.
"Iya. Aku mau membereskan masalah di sini dulu, biar nanti bisa pulang dengan tenang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooms Full of Perfumes
ChickLitRainie benar-benar tak menyangka saat tunangan sahabatnya memintanya berpura-pura menjadi tunangannya, menggantikan sahabatnya yang menghilang tanpa kabar. Gila? Pastinya. Seru? Mungkin. Dengan alasan ingin menolong orang dalam kesulitan, Rainie ber...