4. Permintaan Konyol

18 2 0
                                    

Rainie melongo menatap pria berkemeja biru yang duduk di depannya. Ia menatap mata cokelat gelapnya yang sedang menatapnya tajam namun penuh permohonan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang layaknya orang yang memperhatikan penampilan, tetapi wajahnya yang tampak lebih tirus dan agak pucat mengesankan seolah ia tak terlalu merawat diri. Kedua tangannya yang dilengkapi jemari panjang dan ramping gelisah mempermainkan sendok di cangkirnya.

Pria itu ingin Rainie pura-pura jadi tunangannya. Andra ingin Rainie pura-pura jadi tunangannya. Ada apa dengan dunia? Memangnya manusia sebodoh itu hingga hal seperti itu dimungkinkan terjadi?

"Sori, apa?" tanya Rainie sedikit sinis.

"Aku lagi meminta kamu untuk berpura-pura jadi Chelsea," jawab Andra hati-hati.

Rainie terbahak. Ia tak yakin jika yang dimaksud Andra sama seperti yang dipikirkannya.

"Serius, Rai," kata Andra memelas. "Hari Jumat siang kami sudah ada janji akan ke Jakarta. Dan pamanku, orang yang diagung-agungkan di keluarga kami juga akan datang dari Surabaya. Masalahnya pamanku ini..." Andra mengerutkan kening seolah sedang mencari kata-kata, "pamanku ini seperti memancing urat gengsi orang tuaku. Terutama ibuku, sih. Dan seluruh keluarga yang lain sebenarnya. Pendapatnya dihargai, atau sindirannya. Orang tuaku nggak mau dia tahu masalah Chelsea ini, bahwa tunanganku melarikan diri. Begitulah, Rai."

Rainie hanya bisa menatap Andra dengan mulut sedikit terbuka. Tampak jelas berbagai perasaan dan pikiran berkecamuk dalam benaknya. Sebentar-sebentar alisnya berkerut, lalu mulutnya terbuka sedikit hendak bicara, tetapi kemudian bibirnya bergerak membentuk senyum tipis, lalu matanya yang menatap ke arah lain, kemudian kepalanya miring ke satu arah lalu menggeleng. Begitu terus, hingga kemudian Andra tertawa. Rainie pun sadar dari kebingungannya.

Rainie tertawa lega. "Kamu bercanda ternyata," ujarnya, "bikin panik aja."

Andra berdeham. "Nggak, Rai, aku nggak bercanda. Aku serius."

Wajah Rainie berubah. "Nggak bercanda tapi lucu, ya," tukasnya.

"Tolong, Rai. Untuk menyelamatkan keluargaku dari malu. Untuk menyelamatkan hubungan kami juga."

"Gimana ceritanya?" sergah Rainie dengan nada tinggi. Mendadak ia merasa marah karena Andra telah membawanya jauh dari rumah untuk menyeretnya ke dalam percakapan tak menyenangkan ini.

"Kalau Chelsea tetap datang, pamanku nggak akan banyak bicara. Tapi kalau dia sudah datang dan tahu yang sebenarnya, dia bakal mengomel panjang soal sudah datang jauh-jauh, dan pasti bakal menghina Chelsea. Nanti waktu Chelsea kembali, kami bisa meneruskan rencana. Itu kalau dia masih mau. Kalau dia mau menunda pernikahan, aku nggak keberatan. Kami akan bicarakan itu dengan keluarga kami nanti. Berdua."

"Hanya demi gengsi, Ndra?" tanya Rainie sinis.

"Bukan gengsi juga sih, Rai. Masalahnya... rumit." Andra mengangkat bahu. "Beginilah keluarga kami. Pamanku jadi sangat didahului karena dia banyak uang. Orang tuaku selalu ingin pendapat baiknya." Andra mengangkat bahu dengan wajah bersemu merah.

"Maaf kalau aku ikut campur, tapi bukannya kalian juga bukan keluarga berkekurangan?"

"Berlebihan, malah," kata Andra tanpa terasa sombong. "Tapi memang begitulah keadaannya. Pamanku ini saudara tertua ibuku. Dia orang pertama yang berhasil di keluarganya. Mungkin karena itu. Mungkin bukan. Tapi sejak aku kecil memang sudah begitu keadaannya."

"Pendapat keluargamu gimana?" tanya Rainie.

"Saudara-saudaraku setuju. Ayahku belum tahu, tapi aku yakin ibuku akan berhasil meyakinkannya. Pamanku ini seolah tetua kelurga yang tidak boleh dikecewakan," ujar Andra dengan desahan samar.

Rooms Full of PerfumesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang