13. Percakapan Tengah Malam

18 1 0
                                    

Rainie berguling gelisah di tempat tidurnya. Kulitnya lembab oleh keringat. Di luar sedang hujan, jadi seharusnya udara dingin. Ia telah mematikan penyejuk ruangan waktu hujan mulai turun tadi, dan menyalakannya kembali sekarang agak terasa seperti pemborosan. Jadi Rainie hanya mengusap lapisan tipis keringat di kulitnya dengan pakaiannya. Ia menoleh ke dinding di seberangnya, melihat jam dinding dengan jarum yang menyala di dalam kegelapan. Sudah lewat tengah malam.

Ia dan Feby tiba di rumah hampir pukul sebelas. Di tengah perjalanan tadi guntur mulai bergemuruh di kejauhan. Saat mereka menasuki rumah, petir menyambar nyaring. Semua orang sudah tidur, jadi keduanya pun langsung bersiap-siap untuk tidur.

Hujan turun dengan lebat sekitar dua puluh menit yang lalu. Bunyinya bergemuruh memenuhi kamar. Seharusnya Rainie menikmati suara hujan ini. Ia selalu menyukai hujan di malam hari, bunyinya sangat menenangkan untuk mengiringi tidur. Udara pun akan terasa sejuk dan nyaman. Namun memang sesekali yang ada udara malah terasa gerah, seperti saat ini, tetapi Rainie biasanya tak keberatan. Masalahnya kali ini ada hal yang mengganggu pikirannya, hingga sudah lebih dari satu jam ini ia hanya berbaring dengan otak yang masih menyala terang.

Ia berpisah dengan Rosi di dekat pintu masuk mal yang sebelumnya ia masuki bersama Feby. Setelah Rosi pergi, ia mengeluarkan ponselnya dari tas tangan untuk menelepon Feby. Dan saat itu ia melihat tanda bahwa ada panggilan tak terangkat yang masuk ke ponselnya. Saat melihat nama penelepon, jantung Rainie berdebar. Chelsea. Rainie memperhatikan jam panggilan itu masuk, dan menduga saat itu ia sedang ada di toko buku. Tasnya tak pernah lepas dari tangannya, mengapa ia tak tahu ada telepon yang masuk? Apa Chelsea hanya menelepon sebentar sebelum berubah pikiran? Atau jangan-jangan itu hanya panggilan tak disengaja?

Rainie berusaha menelepon Chelsea dan mendapati nomornya tak aktif. Jadi ia meninggalkan pesan, lalu menghubungi Feby untuk memberitahu ia sudah siap pulang, kalau Feby juga sudah siap. Tak lama kemudian mereka meninggalkan pusat pertokoan itu. Selama di mobil, ponsel Rainie selalu ada di tangannya, berharap kalau-kalau Chelsea menghubunginya kembali. Ia tak ingin kehilangan kesempatan lagi.

Rainie turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah jendela. Ia menyingkap tirainya dan melihat ke arah halaman belakang yang remang-remang. Lampu taman memancarkan cahaya yang seperti kabut di tengah hujan. Butiran air yang berjatuhan membuat pohon-pohon seolah menari. Ia menutup tirainya lagi karena pikirannya mulai membentuk bayangan wajah seram yang mungkin tiba-tiba akan tampak di balik jendela.

Rainie mengambil ponsel di atas nakas, tak ada missed call atau pesan apa pun. Rainie memasukkan ponselnya ke saku celana piyamanya dan keluar dari kamar. Ia turun dan berjalan ke arah dapur, ingin minum air dingin. Udara di luar kamar lebih sejuk, di lantai bawah rasanya nyaman sekali.

Untuk menuju ke dapur, ia harus melewati ruang keluarga tempat orang-orang berkumpul menonton televisi. Di sofa di sana ia melihat sosok panjang berbaring terbungkus selimut. Andra tidur dengan posisi miring menghadap ke tengah ruangan. Di karpet di bawahnya tampak Anakin tidur memeluk bantal guling, selembar selimut tebal mengalasi tubuhnya dari karpet, selembar lainnya menutupi tubuhnya dan bantal gulingnya. Rainie berjalan pelan-pelan, tak ingin membangunkan keduanya.

Di dapur ia mengambil gelas bersih, lalu membuka kulkas. Saat mengulurkan tangannya hendak mengambil air putih, matanya melihat sekotak jus jeruk. Ia akhirnya mengambil jus itu dan menuangkannya ke gelasnya. Ia minum seteguk dan mendesah lega setelah jus dingin melewati kerongkongannya. Ia kemudian memutuskan untuk tidak langsung tidur. Rainie mengangkat gelasnya dan membawanya ke ruangan dengan pintu kaca ganda yang menghadap ke taman.

Rainie menyingkap tirai yang menutup pintu. Lampu teras menyala redup, butiran air hujan yang turun tampak seperti tirai yang berpendar samar. Rainie duduk di sofa menghadap pintu, sisi tubuh bersandar pada punggung sofa. Ia meminum jusnya sampai habis setengahnya, lalu meletakkan gelasnya di meja. Rainie mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mencoba menelepon Chelsea. Teleponnya masih mati. Rainie membuka aplikasi surel dan mengetik pesan untuk Chelsea, memasang harapan bahwa setidaknya surel tak harus dibuka lewat telepon genggam.

Rooms Full of PerfumesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang