Rainie sedang duduk membaca di teras rumahnya saat Chelsea datang menjemputnya. Gadis cantik tinggi semampai yang telah menjadi sahabatnya sejak SMA itu turun dari mobil dan membuka pagar halaman lalu menghampirinya. Rainie menutup bukunya dan berdiri.
"Langsung pergi?" tanyanya.
"Ayo," kata Chelsea.
Rainie masuk ke dalam rumah untuk meletakkan bukunya. Topan sedang duduk di ruang tengah menonton televisi. Dari posisinya di ruang tamu Rainie bisa melihat punggung Topan.
"Top, aku pergi dulu," panggil Rainie.
Topan hanya mengangkat tangannya. Chelsea masuk sedikit ke dalam rumah dan ikut pamit pada Topan. Topan menoleh dan tersenyum pada Chelsea. Singkat saja, tetapi senyum itu membuat Rainie lega karena setidaknya Topan masih punya keinginan untuk bersopan santun.
Beberapa menit kemudian Rainie dan Chelsea sudah berada di jalan. Rainie memperhatikan Chelsea yang menatap lurus ke jalanan di depannya. Ia tak berkata apa-apa, padahal biasanya mobil sudah dipenuhi celotehnya.
"Kita ke mana, Chels?" tanya Rainie.
Chelsea tersenyum tanpa menoleh. "Temani aku belanja, ya."
"Yang sudah dilamar masih saja hobi belanja, nih," goda Rainie.
Wajah Chelsea memerah. "Yaah, untuk menghilangkan stres. Hari Jumat nanti kami akan ke Jakarta, ketemu keluarga Andra. Memikirkan itu saja bikin stres. Makin lama makin besar tekanannya."
Rainie menatap Chelsea, berusaha melihat menembus senyumannya. Ia ingat beberapa waktu yang lalu Chelsea pernah mengatakan ia tertekan dan mulai menyesali keputusannya menerima lamaran kekasihnya. Rainie bilang itu hal yang wajar, bahwa Chelsea sedang mengalami sindrom pranikah, yang terlalu cepat.
"Andra cowok baik, Chels, dan dia jelas sayang banget sama kamu. Kamu nggak salah kok memilih dia," kata Rainie waktu itu. Klise, dia tahu.
Chelsea mengembuskan napas pelan-pelan. "Aku tahu Andra cowok baik, Rain. Kami kan sudah pacaran hampir empat tahun."
Rainie diam saja, tak tahu harus berkata apa.
Lalu Chelsea melanjutkan, "Aku nggak yakin aku sudah siap. Untuk menikah, untuk ketemu keluarganya."
Rainie mengerutkan dahi. "Waktu itu kenapa kamu terima lamarannya?"
"Nggak tahu. Euforia karena akhirnya dilamar, mungkin? Melihat cincin berlian terpampang di depan mata, segala hormon kebahagiaan apalah itu membanjir. Jadi aku melakukan apa yang sewajarnya dilakukan di situasi itu. Menerima cincinnya. Ya, kan?" Chelsea menatap Rainie. Rainie melihat sekilas rasa sinis di sana. Atau penyesalan. Atau perasaan menyalahkan diri sendiri. Atau tak ada apa-apa sama sekali.
Percakapan itu terjadi lebih dari seminggu yang lalu, lebih dari seminggu setelah Chelsea dilamar Andra saat mereka sedang makan malam romantis berdua. Rainie hampir yakin bahwa waktu itu Chelsea bersungguh-sungguh, bahwa itu bukan hanya perasaan ragu sesaat. Namun keesokan harinya Chelsea telah kembali ceria seperti biasa. Katanya toh mereka masih punya banyak waktu sebelum pernikahan terjadi. Ia bahkan belum bertemu dengan keluarga Andra secara langsung. Tak perlu ia khawatir sekarang.
Sekarang Rainie menatap Chelsea yang sedang memandang lurus pada arus lalu lintas. Senyumannya tadi telah menghilang tak berbekas. Pemandangan tak biasa bagi Rainie, karena sahabatnya itu adalah jenis orang yang wajahnya selalu tampak tersenyum walaupun bibirnya tak bergerak sedikit pun. "Andra mana?" tanya Rainie. "Kalian nggak jalan bareng?"
"Ada di rumahnya. Hari ini aku mau jalan-jalan sama kamu saja." Chelsea menoleh sekilas dengan senyum menggoda.
Rainie diam-diam bernapas lega. Tak ada yang aneh pada Chelsea. Sepertinya itu hanya perasaannya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooms Full of Perfumes
ChickLitRainie benar-benar tak menyangka saat tunangan sahabatnya memintanya berpura-pura menjadi tunangannya, menggantikan sahabatnya yang menghilang tanpa kabar. Gila? Pastinya. Seru? Mungkin. Dengan alasan ingin menolong orang dalam kesulitan, Rainie ber...