Topan sedang galau. Sudah lebih dari dua minggu ini komunikasinya kembali lancar dengan Rosi. Rosi masih belum memiliki pacar baru, responnya selalu ramah terhadap Topan. Topan merasa ia mulai berharap. Harapan itu semakin melambung saat Rosi mengatakan ingin mengunjunginya beberapa minggu lagi. Tetapi kini Topan bingung.
Awalnya ia senang. Dan ia senang menyadari dirinya benar-benar senang, benar-benar bahagia. Ia sungguh tak menyangka dirinya bisa merasa seperti itu setelah sekian lama. Namun perasaan itu tak bertahan lama. Dalam sekejap perasaannya berubah menjadi sesuatu yang lebih akrab dengannya selama beberapa tahun ini. Rasa takut, khawatir, berikut malu kembali melandanya. Ia mulai memikirkan kondisinya. Seperti ini, Topan merasa kembali ke momen-momen awal setelah kecelakaannya.
Ia dan Rosi belum banyak membicarakan cara hubungan mereka berakhir tiga tahun lalu. Topan belum tahu bagaimana cara memulai topik itu, juga bagaimana cara membahasnya. Dan ia juga merasa Rosi masih berhati-hati mengenai area yang satu itu. Mereka mulai membicarakan sedikit-sedikit saat-saat menyenangkan mereka dulu, tetapi hal yang banyak mereka bahas adalah kehidupan mereka saat ini.
Berbicara lagi dengan Rosi seperti itu membuat Topan mulai merindukan lagi kebersamaan mereka. Kebersamaan yang nyata, kedekatan fisik. Ia merasa ingin berbicara langsung dengan Rosi, berhadapan langsung dengan orangnya. Ingin bisa melihatnya, menyentuh tangannya, bukan sekedar membayangkannya. Akan tetapi sebuah kesadaran besar melompat-lompat di depan pikirannya, mengejeknya. Situasi sudah berubah sangat banyak, mereka tak akan bisa seperti dulu lagi. Ada perbedaan fisik yang nyata sekarang.
"Dari tadi hape diliat terus. Berharap jadi roti, ya?" Suara Rainie yang datang dari belakangnya mengagetkan Topan.
Topan memutar kursi rodanya membelakangi jendela yang sedari tadi dihadapinya. Rainie duduk di sofa dengan rambut basah sehabis keramas.
"Rudi sudah bilang sama kamu? Besok dia berangkat," kata Topan.
Rainie menyalakan televisi. "Ke Singapura ya?" Ia diam sejenak sambil memilih tayangan televisi. Kemudian ia menoleh pada Topan dengan tatapan bertanya. "Kamu ngerasa nggak sih kayak ada yang nggak diceritain Rudi soal Singapur? Dia kayak ngelak gitu kan ngomonginnya."
"Dia emang pernah bilang ada sesuatu yang bikin dia trauma di sana. Tapi nggak tahu juga ya serius apa nggak," papar Topan sambil mendorong kursi rodanya mendekati Rainie.
"Keliatannya sekarang juga dia agak berat pergi ke sana. Kayak itu bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dilakuin gitu," ujar Rainie.
Topan mengangkat bahu. "Mungkin dia berat pergi karena berat ninggalin kamu," jawabnya sekenanya.
Rainie mencibir. "Dia nggak bilang apa-apa, tuh."
"Makanya kamu yang tanya, coba," balas Topan datar.
Rainie mengerucutkan bibirnya. "Hmm, mungkin memang mestinya begitu, ya. Aku bakal tanya, deh."
Topan membelalakkan matanya pada Rainie. "Serius kamu bakal tanya?"
"Iya, kenapa enggak? Daripada kita main tebak-tebakan kan mendingan tanya langsung sama orangnya. Dia balik ke Singapur ada keperluan apa. Terus ada apa dengan Singapura sampai-sampai dia kayaknya berat cerita. Padahal kita kan mau ya dengar-dengar cerita pengalamannya tinggal di luar negeri. Ya, kan?" tanya Rainie dengan cengiran lebar.
Wajah Topan berubah. Ia menyipitkan matanya pada kakaknya, lalu melengos menatap televisi. Rainie tertawa melihat reaksinya.
Sekitar jam sembilan malam Rainie tiba-tiba mengajak Topan berkunjung ke rumah Rudi.
"Eh, tumben," cetus Topan.
"Kan besok dia mau berangkat. Kita liatlah, kita bisa bantu apa. Siapa tahu dia harus mengepak banyak barang," kata Rainie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooms Full of Perfumes
ChickLitRainie benar-benar tak menyangka saat tunangan sahabatnya memintanya berpura-pura menjadi tunangannya, menggantikan sahabatnya yang menghilang tanpa kabar. Gila? Pastinya. Seru? Mungkin. Dengan alasan ingin menolong orang dalam kesulitan, Rainie ber...