11

2.1K 223 44
                                    

Beby termenung memikirkan semua ucapan gadis itu di balkon kamar Naomi. Sesekali Beby menghela napasnya panjang atau mengusap wajahanya kasar.

"Semua yang aku bilang ke Kak Beby itu emang nyatanya benar." ucap Elaine memasang wajah serius. "Keluarga gadis itu memang pembunuh Kak. Aku punya bukti saat tubuh Kakak terkapar di lantai karena ulah anak buah Ayah gadis itu."

"Aku ingin percaya, tapi kenapa aku ragu?" gumam Beby pelan.

Di tengah-tengah kegalauan Beby memikirkan ucapan Elaine, sepasang tangan melingkar di perut Beby di ikuti dengan dagu mendarat di bahunya. Hangat. Beby tersenyum lalu mengusap lembut tangan yang melingkari perutnya itu.

"Mikirin apa?"

"Kamu."

Terdengar kekehan di belakang telinga Beby. "Masa? Aku kan ada disini. Kenapa harus dipikirin?"

Beby memutar tubuhnya lalu meraih pinggang Naomi untuk merapat ke tubuhnya. Beby tersenyum lalu membelai rambut Naomi lembut. "Aku lagi mikirin kalau suatu saat nanti aku kehilangan kamu, aku masih bisa bertahan hidup atau nggak."

"Hidup kamu kan bukan tergantung sama aku, Beb." jawab Naomi cepat. "Tergantung sama udara. Kalau gak ada udara baru kamu gak bisa nafas. Kalau tanpa aku mah masih bisa bertahan hidup. Jangan lebay deh."

"Hmm, iya juga sih," Beby menggaruk tengkuknya. "Tapi kan itu cuma perandaian, Bunda."

"Lho? Bunda?" kening Naomi berkerut.

"Abis kamu Bunda-able sih kalau aku liat-liat." Beby mencubit gemas hidung Naomi lalu merengkuhnya ke dalam pelukannya. "Sayang kamu."

"Ci Naomi!" teriak seseorang yang pastinya adalah Sinka.

Sinka mendongakan kepalanya ke atas menatap Cicinya itu sedang berpelukan tanpa mempedulikan panggilannya. Sinka memberengut. "CICI!! ITU TAMUNYA UDAH PADA MAU PULANG." teriak Sinka lagi.

Naomi menarik tubuhnya lalu menatap ke bawah. Ia terkekeh melihat wajah cemberut Sinka. "Iya iya, Cici kebawah."

"Aku disini aja." Beby berjalan menuju kasur lalu merebahkan tubuhnya disana. "Jangan lama-lama ya. Nanti aku kangen."

"Apa deh." Naomi mengelak. Namun ia tidak bisa menahan semburat merah di pipinya.

Shania menarik dirinya dari tarikan Nabilah yang cukup kuat. Shania berontak saat dirinya di giring untuk masuk ke dalam bis. Tentu ia menolah. Orang yang di cintainya ada disini. Tidak mungkin ia pulang begitu saja tanpa membawa orang itu.

"Gue gak mau pulang Nabilah. Please ngertiin gue. Gue mau disini. Sama Beby." ucap Shania memelas.

"Lo tau kan? Dia itu lupa. Lupa sama lo. Lupa sama kita semua. Bahkan dia lupa sama Elaine yang notabennya adalah musuhnya." jelas Nabilah sedikit emosi. "Buat apa lo tetep disini? Yang ada lo bakal di benci sama dia. Udahlah mending balik ke Jakarta. Lupain dia."

Plak!

Sebuah tamparan telak mendarat di pipi kanan Nabilah. Shania menatap Nabilah tajam dengan sebelah tangan mencengkram kerah baju Nabilah. "Jangan pernah sekali-sekali nyuruh gue buat lupain dia. Bahkan menurut gue lebih penting dia daripada lo." ucap Shania penuh penekanan tidak sadar bahwa ucapannya itu membuat Nabilah sakit hati.

Nabilah menghempaskan tangan Shania lalu menatap jauh ke dalam Shania. "Lebih penting dia? Daripada gue? Gitu? Hey, lo gak sadar? Selama ini yang nemenin lo saat lo sedih siapa? Saat lo terpuruk? Siapa yang terus-terusan ada di samping lo? Apa yang lain ada merelakan waktunya demi nemenin lo buat mencegah lo ngelakuin hal yang buruk? Ada? Gue! Gue yang selalu ada di samping lo! Bukan dia."

Back to me, please [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang