Beby POV
Aku masih disini. Setiap harinya, aku selalu menunggunya tepat di depan rumahnya berharap ia akan berubah pikiran dan menerimaku kembali. Setidaknya jika ia tidak mau menerimaku menjadi kekasihnya lagi, aku hanya berharap dia bisa memaafkanku. Itu cukup. Tapi aku merasa sangat bersalah padanya. Aku membantai keluarganya. Keluarga yang selama ini menyelamatkan hidupku. Aku sangat berdosa. Aku memang tidak pantas untuk di maafkan. Aku sadar. Tetapi aku, aku ingin kembali seperti sedia kala dengan Shania.
Aku menatap ke arah jendela kamar Shania. Aku yakin dia ada di dalam sana sebab dari pagi ia tidak kunjung keluar dari dalam rumahnya. Aku tau, ia ada jam kuliah hari ini. Apa ia malas keluar karena ada aku disini?
"Shania, keluarlah." Aku bergumam penuh harap.
Aku cukup lelah dan merasa seperti orang tidak waras setiap harinya berdiam diri disini. Menunggunya keluar untuk menemuiku. Aku tidak peduli. Ah Tuhan. Bagaimana nasib Naomi dan Sinka? Terlalu banyak masalah yang terjadi semenjak ingatanku hilang. Bagaimana bisa aku mengatasi semua ini? Keluarga Farish, Naomi, Shania.
Pintu pagar rumah Shania terbuka, hal itu membuatku sedikit menegakkan tubuhku. Terlihat Vino dengan sedikit luka lebam di daerah wajahnya keluar dan melirik ke arah mobilku sebentar setelah itu ia menatap ke arah lain dan melambai pada mobil berwarna putih.
Aku menajamkan pengelihatanku. Oh, itu teman-teman Shania sepertinya. Aku sedikit tersenyum. Ternyata selama aku pergi Shania baik-baik saja. Syukurlah.
Setelah mobil sedan berwarna putih tersebut masuk ke dalam halaman rumah Shania, Vino kembali menutup pintu pagar rumah Shania. Vino masih berdiri di depan pagar sambil menatap ke arahku. Aku tau, pasti Vino ingin menghampiriku. Tetapi ia ragu. Dan entah apa yang ia pikirkan, ia menghampiriku dengan wajah yang sulit untuk kujelaskan.
Ia mengetuk kaca mobilku. Dengan ragu aku keluar dari dalam mobilku. Aku menatapnya tidak enak. Luka di wajahnya aku yang buat. "Apa kabar?" Tanyanya pelan.
"Baik."
"Denger-denger, ingatan lo udah kembali?" Tanya Vino dengan nada datar. Aku mengangkat bahuku. "Oh, bagus kalau gitu. Gue cuma kasih tau, lo enggak perlu nunggu dia disini. Sebab dia gak akan mau berjumpa sama lo lagi." Kata Vino yang langsung membuat jantungku seperti berhenti berdetak untuk bebetapa saat.
Aku menatapnya tidak percaya. "Gue enggak bohong." Kata Vino lagi. "Yah, memang sih, pasti seseorang akan membenci orang yang sudah membunuh orang yang mereka sayang." Jelas Vino. Aku menunduk dalam. Kata-katanya benar-benar menusuk hatiku. Aku bodoh.
Vino menghela napasnya. Ia mengangkat tangannya guna menepuk bahuku. "Sebenernya, gue enggak mau kayak begini. Dan gue enggak bisa nyalahin lo seutuhnya." Vino tersenyum menatapku. "Gue cuma bisa ngelakuin ini. Lebih baik, lo pulang. Atur hidup lo. Lo bebas bukan sekarang?"
Aku menggeleng. Vino terkekeh. "Sudahlah, semua sudah usai."
"Saya mau bertemu dengan Shania. Sebentar, saya mohon." Kataku menatap Vino memohon. "Vin, saya tidak akan melakukan apa-apa. Saya hanya ingin berbicara, sebentar." Kataku meyakinkannya.
Vino masih diam. Aku memejamkan mataku lalu bersimpuh di kakinya. Aku lihat ia mundur beberapa langkah. "Vino, saya mohon. Saya ingin bertemu Shania. Saya mohon." Lirihku sambil menautkan kedua telapak tangannku. "Saya janji, setelah ini, saya akan pergi. Saya janji."
"Vin, enggak papa." Suara Shania terdengar. Aku mengangkat kepalaku guna menatapnya. Shania juga sedang memandangiku dengan tatapan datarnya.
"Anda yakin, Nona?" Tanya Vino. Shania mengangguk. "Baiklah, saya awasi disana." Vino sedikit membungkukan tubuhnya pada Shania lalu berjalan menjauhi aku dan Shania.
Aku berdiri lalu menatapnya. Aku sedikit tersenyum. Ingin sekali aku memeluknya. Memeluknya erat dan tidak akan aku lepaskan lagi. Tapi tidak bisa. Vino dan bahkan anak buah lainnya yang tersisa akan membunuhku. Tapi sepertinya itu lebih baik. Romantis bukan menghembuskan napas terakhir dipelukan seseorang yang kamu cintai?
"Apa kabar?" Tanyaku pelan.
"Baik." Jawabnya singkat. "Lo?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. "Shania, saya tau, kamu pasti enggan maafin saya. Enggak apa-apa. Saya sadar diri. Kamu nggak perlu maafin saya." Kataku dengan suara sedikit bergetar. Aku memejamkan mataku guna menahan air mataku yang memaksa untuk keluar dari kelopak mataku. "Jaga diri kamu baik-baik."
Shania diam.
"Mungkin setelah ini kamu tidak akan pernah melihat saya lagi. Jadi, saya cuma mau bilang. Rasa itu masih sama. Dan tidak akan pernah berubah. Dan saya tau sekali kamu tidak akan pernah ada niatan untuk kembali dengan saya lagi. Nggak apa-apa." Aku tersenyum tipis. "Yaudah. Saya pamit."
Dengan berat hati, aku memutar tubuhku bersiap untuk kembali ke dalam mobil. Shania, tahan aku. Atau panggil namaku. Astaga. Aku tidak yakin akan benar-benar pergi meninggalkannya.
Tanganku sudah meraih gagang pintu mobilku. Aku diam sejenak. Berharap Shania berubah pikiran atau menahanku atau sejenisnya. Dengan mata terpejam, aku menunggunya. Hingga beberapa menit kemudian. Tidak ada apa-apa. Penasaran, aku menoleh kebelakang. Shania sudah tidak ada. Jadi...ia benar-benar menginginkan aku pergi?
*****
Jakarta, 22 Juni 2017, 14:00
L

KAMU SEDANG MEMBACA
Back to me, please [Completed]
FanfictionSekuel dari Your Protector. 29/8/16 - 7/7/17.