SATU: PRETENDING

131 10 6
                                    

Risha sedang duduk di kantin bersama teman-temannya sambil meminum es teh manis yang masih separuh gelas. Mangkuk baksonya sudah kosong. Pandangannya terarah ke lapangan sekolah yang bersebelahan dengan kantin sekolahnya. Teman-temannya sedang heboh bersorak menyaksikan Nara yang bermain sepak bola. Nara, anak kelas sebelah yang ganteng. Oke, pake banget. Tapi gitu doang sih, menurut Risha. Pintar? Ya lumayan sih, semester kemarin katanya Nara ranking 3 di kelasnya, bukan ranking 1 ya. Risha tidak terlalu terkesan. Aktivis organisasi? Tidak juga, Nara bahkan tidak ikut ekstrakurikuler. Sumpah tidak ada yang menarik dari Nara selain mukanya doang, masih menurut Risha. Risha cuma geleng-geleng kepala kalau ingat teman-temannya ini yang nge-fans berat sama Nara, tapi dia sendiri juga ikut-ikutan supaya bisa berbaur dengan mereka. Ia bahkan mulai takjub pada dirinya sendiri ketika menyadari bahwa sudah banyak hal yang ia ketahui tentang Nara selama lebih dari 1 semester ini sejak masuk SMA. Risha bahkan tidak peduli soal ranking di kelasnya, tapi ia tahu ranking Nara. Padahal kalau mau obyektif, sebenarnya Aditya, sahabat Nara, lebih mengesankan daripada Nara. Dia ranking 1 di kelas (sekelas sama Nara), anak OSIS yang gosipnya bakal jadi Ketua OSIS, ganteng juga, cuma belum bisa ngalahin Nara aja gantengnya.

"Waaahh!" Risha ikut berseru ketika Nara berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Teman-temannya sudah meneriakkan nama Nara. Risha hanya tertawa sambil tepuk tangan, sebenarnya ia menertawakan teman-temannya. Tapi biar sajalah dianggap menyoraki Nara. Perasaan golnya juga biasa aja, cuma karena Nara aja itu yang ngegolin makanya pada heboh, ckckck, Risha cuma membatin.

Gue nggak nyangka, cuma gara-gara Nara satu-satunya anak kelas X yang berani ngebantah kakak kelas waktu MOS, plus ganteng, dia jadi cowok paling populer seangkatan. Coba kalo nggak ganteng, pasti nggak ada yang peduli. Dunia ini emang mulai kacau.

"Nara keren banget ya, Sha!" seru Lena dengan pandangan masih fokus ke Nara.

"Iyaa, keereeen," Risha menimpali dengan memanjang-manjangkan kata-katanya supaya terdengar kagum, tapi saat ini ia malah sedang tersenyum meremehkan. Tidak ada yang melihatnya karena semua mata sedang fokus ke arah Nara.

Hobi mayoritas siswi kelas X adalah membuntuti Nara ketika jam istirahat sudah berakhir, karena hanya pada jam istirahat mereka dapat melihat Nara, terutama yang tidak sekelas dengan Nara seperti Risha dan teman-temannya. Awalnya Nara risih, tapi lama-kelamaan ia membiarkan mereka mengikutinya. Toh, mereka tidak melakukan apa-apa selain membuntutinya. Tapi hari ini sedikit berbeda, karena ia mencetak tiga gol, siswi-siswi itu sedikit ribut di belakangnya. Nara berbalik, siswi-siswi itu pun berhenti mendadak, Nara memicingkan matanya, mengintimidasi mereka satu-persatu.

Biasa aja deh, nggak usah sok ganteng gitu. Tau-tau kalo lo ganteng. Meski dalam hati Risha berkata begitu, tapi dia sedang bingung harus menunjukkan ekspresi seperti apa di depan Nara. Ini pertama kalinya ia berdiri berhadapan dengan Nara. Risha tidak bermaksud menjadi fans yang terlalu menonjol, karena itu ia bergerak mundur supaya Nara tidak terlalu memperhatikannya. Tapi justru karena ia berjalan mundur ketika yang lainnya mematung itulah Nara jadi menyadari keberadaannya. Risha segera menunduk supaya Nara tidak mengingat wajahnya. Soal ia menjadi fans Nara, cukup hanya teman-teman perempuannya saja yang tahu, Nara tidak perlu tahu. Nara kembali ke kelasnya tanpa menghiraukan fans-nya lagi.

Teman-teman Risha mendesah ketika bel pulang sekolah berbunyi, mereka baru saja menyelesaikan ulangan harian Kimia, tapi banyak wajah-wajah yang tidak puas ketika mengumpulkan lembar jawaban mereka. Risha sendiri cukup puas dengan hasil pekerjaannya. Ia meregangkan tangannya ke atas hingga terdengar bunyi 'krek' dari pangkal jari-jarinya.

"Siapa yang piket hari ini?" tanya Bu Tri, guru Kimia mereka. Risha dan beberapa siswa lainnya mengangkat tangan.

"Alta, kamu hapus papan tulis. Deni, Marisha, kalian bawa tugas teman-teman kalian ke meja saya," perintah Bu Tri sambil membawa tumpukan lembar jawaban kemudian berjalan keluar kelas.

"Iya, Bu," sahut mereka bertiga tidak bersamaan. Risha dan Deni membagi dua tumpukan buku tugas kelas mereka. Deni berjalan duluan kemudian diikuti Risha yang sedikit merasa kewalahan karena tumpukan buku tugas itu cukup berat meski sudah dibagi dua.

Risha berjalan berlawanan arah dengan teman-teman seangkatannya yang berjalan ke arah gerbang sekolah melalui koridor depan kelas mereka. Nara yang baru saja keluar kelas berpapasan dengan Deni.

"Duluan, Den," sapa Nara sambil lalu. Deni cuma nyengir, Nara bukan yang pertama dan satu-satunya yang menyapanya seperti itu. Beberapa siswa yang ia kenal menyapanya dengan cara yang sama. Itu cuma kebiasaan mereka meledek teman mereka yang sedang piket.

Setelah melewati Deni, Nara melihat Risha beberapa langkah di belakang Deni, sedang memeluk tumpukan buku tugas agar tidak jatuh. Tatapannya lurus ke depan, ke arah ruang guru. Ketika jam istirahat tadi Nara memang tidak melihat wajah Risha, Nara hanya ingat ada satu gadis dengan rambut sebahu sedangkan yang lainnya berambut panjang, gadis itu memakai jepit rambut pita dengan motif kotak-kotak warna merah-hitam. Nara memperlambat langkahnya dan berjalan mendekat untuk memastikan bahwa gadis yang ada di depannya ini adalah gadis siang tadi yang berjalan mundur sambil menunduk.

Nara menghentikan langkahnya tepat ketika ia berpapasan dengan Risha. Gadis itu sama sekali tidak menoleh padanya, melirik pun tidak, padahal lengan baju Risha sudah menyentuh lengannya. Nara bahkan tidak yakin apakah Risha menyadari keberadaannya atau tidak, sepertinya tidak. Nara berbalik dan memperhatikan gadis yang terus berjalan ke depan itu. Nara tersenyum miring, misterius.

"Kenapa, Gan?" Aditya menepuk pundak Nara.

"Nggak, yuk pulang!" sahutnya datar sambil masih tersenyum misterius.

Risha dan teman-temannya berkumpul di kantin seperti biasanya. Masih membicarakan Nara, seperti biasa. Nara belum kelihatan di lapangan, sudah pasti Nara masih di kelas jika ia tidak di lapangan atau di kantin ketika jam istirahat.

"Eh, tau nggak?" Cindy mulai cerita.

"Enggak," sahut Risha asal, membuat Cindy mendengus dan Risha cuma cekikikan. Cindy melanjutkan ceritanya, "Katanya, dua atau tiga hari yang lalu gitu, Amara nembak Nara."

"Trus? Trus? Diterima? Ditolak?" Nessi mulai tidak sabar.

"Coba tebak!" Cindy membuat yang lain semakin penasaran.

"Pasti ditolak!" jawab Risha sok yakin. Dia tidak peduli mau diterima atau ditolak, Risha cuma ingin terlibat dalam percakapan.

"Kok lo tau? Lo udah denger ceritanya ya?" Kini Cindy yang antusias bertanya pada Risha.

"Selama ini, cewek mana sih yang udah diterima Nara?" Risha membanggakan dirinya sendiri yang sok memahami Nara, padahal tadi ia hanya asal menebak. Sekelompok gadis itu memang senang karena Nara menolak semua gadis yang menyatakan perasaan padanya, tapi juga sekaligus memupuskan rasa percaya diri mereka yang ingin menyatakan perasaan pada Nara. Takut ditolak, wajah mereka menyiratkan dua kata itu ketika terpikir untuk menyatakan perasaan, kecuali Risha tentunya karena ia tidak berniat menyatakan perasaan pada Nara. Perasaan buat Nara aja nggak ada, apa yang mau dinyatakan? Begitu pikir Risha.

"Pengen deh, jadi pacar Nara," celetuk Cindy.

"Beruntung banget pasti kalo jadi pacar Nara," Lena menimpali. Risha sedang berpikir kalimat apa yang tepat untuk menanggapi mereka.

"Gue juga mau jadi pacar Nara," ucap Risha akhirnya dengan nada pura-pura kehilangan harapan.

"Gue mau kok jadi pacar lo." Risha menegakkan punggungnya, matanya melebar dan bibirnya sedikit terbuka karena terkejut. Suara itu dari balik punggungnya, suara cowok. Risha menelan ludahnya dan memutar tubuhnya perlahan. Nara sedang duduk menghadap ke arahnya sambil tersenyum tipis. Risha belum dapat menghilangkan keterkejutan dari wajahnya.

"Ma-maksud lo..." Tangan Risha sudah menunjuk ke arah Cindy. "Maksud gue, elo," potong Nara sebelum Risha menyelesaikan kalimatnya.

"Gu-gue?" Kini Risha menunjuk dirinya sendiri. Nara melirik nametag yang disematkan di dada kiri Risha.

"Iya, elo, Marisha Chandra."

Mampus gue!

---

PRETENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang