ERROR : Love Or Lies, #121 On Teen Fiction (02-08-16)
Keiara Alea Dinata
Seperti kata orang, takdir itu tak bisa di tebak dan suka seenaknya saja mempermainkan hidup seseorang. Hari ini yang terlihat baik-baik saja bisa berubah menjadi berantakan es...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dengan malas-malasan Ara terpaksa melangkahkan kakinya. Memang sudah menjadi resiko jika ia cukup dikenal oleh para guru. Apa-apa pasti ia yang akan disuruh. Seperti saat ini, ia diminta membawakan tumpukan buku tugas murid-murid di kelasnya. Padahal banyak sekali murid laki-laki yang menganggur, tetapi malah Ara yang disuruh. Memang benar banyak enaknya jika kita dikenal banyak guru. Tetapi Ara tak pernah mengharapkannya. Kalau terus seperti ini Ara merasa kakinya tak akan tahan.
Tumpukan buku 36 murid memang seharusnya tak begitu memberatkan Ara. Tetapi tetap saja ia merasa kerepotan karena ia perlu berjalan pelan dan berhati-hati agar tumpukan buku itu tak sampai jatuh.
"Biar gue yang bawa."
Tiba-tiba tangan seseorang mengambil-alih tumpukan buku yang berada di tangan Ara. Ara cukup terkejut mengetahui seseorang tersebut ternyata adalah Lava. Orang yang beberapa hari terakhir ini telah memporak-porandakan hatinya.
"Gak usah. Gue bisa kok." Ara mengambil kembali tumpukan buku itu. Ia lalu berjalan meninggalkan Lava di belakang.
Lava lantas segera menyusul Ara. Diambilnya lagi separuh dari tumpukan buku di tangan Ara. "Gue bawa setengah. Mau ke Ruang Guru, 'kan?"
Ara mendengus pelan lalu mengangguk pasrah sebagai jawaban. Ia lalu kembali melangkahkan kakinya beriringan dengan Lava. Jika Lava sudah bersikeras, maka sampai kapanpun Ara tak akan pernah bisa melawan.
Sesampainya di Ruang Guru, Ara segera menuju ke meja Bu Nita disusul Lava yang mengekorinya di belakang. Lava meletakan tumpukan buku itu di atas meja lalu segera keluar ruangan karena ia tak punya urusan di sana.
"Duduk dulu Ara," ujar Bu Nita mempersilahkan Ara duduk di kursi yang selalu tersedia di depan mejanya. Ia lalu mematikan laptop menyudahi pekerjaannya.
Ara lantas menuruti perintah dari gurunya itu. Dalam hati ia heran ada urusan apa sampai ia ditahan untuk tetap di sini. Entah mengapa tanpa alasan ia merasa sedikit gugup.
"Saya dengar kamu dan Lava sedang menjalin hubungan. Apa itu benar, Ara?"
Ara sedikit tercengang mendengar pertanyaan dari Bu Nita. Dari sekian banyak hal, Ara tak percaya dirinya akan ditanya perihal hubungannya dengan Lava saat ini.
Dengan sedikit tergagap Ara menjawab, "I-iya, Bu."
"Begini Ara," Bu Nita memberi jeda sejenak, "Saya tahu sekali kamu itu termasuk siswa yang berprestasi dan selalu masuk dalam peringkat 3 besar. Ibu hanya takut, Lava nantinya akan memberi pengaruh negatif terhadap kamu."
Ara masih terdiam mencoba memahami maksud ucapan Bu Nita tadi. "Dari sekian banyak laki-laki di sekolah ini kenapa harus Lava? Kamu tahu sendiri 'kan Ara bagaimana Lava itu? Dia itu pembuat onar. Apa saja yang dia lakukan selalu berujung rusuh. Waktu bermain Bola Basket, tiga anak murid Ibu kena bola. Waktu dia dan teman-temannya main Sepak Bola, dua kaca jendela sekolah kita pecah. Setiap minggu selalu ada kasus mereka sedang berkelahi. Waktu mereka dihukum, murid-murid perempuan malah keluar kelas menonton mereka. Walaupun Ibu bukan Guru BK, tetapi ibunya juga ikutan pusing."