11

39.8K 3K 139
                                    

"ASTAGA!?"

Keduanya segera saling menjauh mendengar teriakan kaget yang cukup dekat dari tempat mereka saling memeluk dan mencium.

Tubuh keduanya terpisah. Theo bergegas menarik Tania berdiri, memandang pias satu sama lain sambil membenahi pakaiannya mereka dengan tangan gemetar.

Wajah Tania terasa panas.

Theo menunduk, lalu melirik wajah Tania yang berubah-ubah dari merah padam menjadi pucat pasi sebelum kembali merona malu.

"Kalian berdua, ikut Bunda!" Arin berbalik, berjalan cepat menuju ruang keluarga diikuti oleh suaminya yang mengusap punggungnya menenangkan.

Tania dan Theo perjalan pelan mengikuti lalu duduk di depan Bunda dan Ayahnya di sofa. Kepala keduanya menunduk.

Arin tampak sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya, lalu meletakkan ponsel itu ke meja dan bersedekap memandang Theo dan Tania bergantian sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja tiba untuk menghadiri pernikahan keponakannya, tapi sesampai di rumah orang tuanya, ia disuguhi pemandangan putra bungsunya sedang bergulat penuh gairah dengan tunangannya di kamar dengan pintu yang terbuka lebar. Kalau saja ia tidak datang, keduanya pasti sudah melakukan perbuatan yang seharusnya belum boleh mereka lakukan.
Arin mendesah. Kenapa kedua anak lelakinya seperti itu? Dulu Valen, dan sekarang Theo.

Andi berkali-kali mengusap punggung dan bahu Arin sambil sesekali matanya melirik putranya yang makin salah tingkah.

"Bun, ini..."

"Diam Theo!" hardik Arin membuat putra bungsunya tertunduk.

Hampir setengah jam mereka berdiam diri hingga kemudian datanglah orang yang ditunggu-tunggu oleh Arin.

Terlihat Oma Opa Sandiko dan Oma Opa Freddie berjalan cepat melintasi ruang tamu menghampiri keempat orang yang tengah duduk dengan tegang di ruang keluarga.

Kedua pasangan orang tua itu bergegas duduk dan dari mulut Arin mengalir cerita kejadian yang membuat kedua pasang manula itu terperangah.

.

.

-----*-----

.

.

Tania menangis. Keputusan yang dibuat oleh kedua belah pihak benar-benar menyudutkannya.

Oma dan Opanya langsung menghubungi kedua orang tuanya. Malam itu juga keputusan di buat. Melalui kemajuan teknologi yang menyambungkan dua negara di dua benua berbeda, mereka semua satu suara memutuskan untuk mulai mempersiapkan pernikahan antara dirinya dan Theo.

"Maaf Tan," ucap Theo lirih. Ia tidak bisa berkata lain selain kata maaf.

Tania menatap Theo nanar. Airmatanya makin deras hingga bahunya terguncang karena isakannya.

"Katakan sesuatu pada mereka, Theo," ujar Tania disela isak tangisnya.

Theo menggeleng.

"Percuma, Tania. Mereka tidak akan mau mendengar kita. Maaf, aku sudah menyusahkanmu. Aku tau kau membenciku," Theo menunduk. Ia tidak mengerti dengan hatinya. Ada bagian dalam dirinya yang merasa begitu lega dengan keputusan yang mereka jatuhkan padanya dan Tania. Tapi sebagian hatinya gamang menjalani sebuah pernikahan yang ia tau tidak ada cinta di dalamnya.

Dengan lembut Theo memeluk Tania. Ia tau, ia dan Tania membutuhkan sebuah pelukan untuk saling menguatkan. Dan ia sedang melakukannya.

Tania masih sesenggukan dalam dekapan Theo. Perasaannya lebih tenang setelah ia menangis meskipun masalah yang dihadapinya belum ada jalan keluar.

LOVE MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang