12 : Pendukung dari Belakang

57 8 3
                                    


Happy Reading Guys..

😉😊


"Kau tahu sudah berapa kali kau mengatakan kalimat manis itu padaku? Aku memang kehilangan kaki, tapi aku tidak kehilangan akal juga. Sejak kapan kau mempunyai kebiasaan bicara seperti ini?"

Maggie tetap memandang suaminya dengan tatapan yang sama meski kedua matanya kini membesar karena terlalu banyak mengeluarkan air.

Brian membatu sejenak, mengutuk dirinya sendiri dalam hati karena dengan mudahnya mengucapkan kata-kata asing untuk istrinya.

"Oh, maaf. Maafkan aku sayang. Aku hanya.. aku hanya.. Begini. Biarkan aku menata pikiranku dulu di luar. Aku akan segera kembali." Kata Brian sebelum meninggalkan kamar mereka dan berjalan menuju ruang kerjanya.

Dia tidak melakukan apa-apa selama lebih dari satu jam di ruangan itu, hanya memandang kosong dan membiarkan tangan kirinya yang mulai lelah itu terus menopang kepalanya.

Ia tersentak setelah mengingat sesuatu, kemudian badannya mulai berkeringat. Dia mengepalkan kedua tangannya, mencoba mengendalikan diri. Bukan semakin tenang, justru semakin berkeringat dan gemetar. Brian kemudian menangis dalam diamnya, membungkam kuat-kuat mulutnya dengan kedua tangan supaya tak ada suara sekecil apa pun terdengar.



Suara langkah Maggie dengan kaki palsunya semakin mendekat, menyadarkan Brian yang masih melamun sejak berhenti menangis semalam. Dia bangkit berdiri, suara itu tak terdengar lagi dan pintu terbuka.

Maggie muncul dari balik pintu dan masuk dengan sedikit kesulitan karena nampan yang dibawanya. Brian berjalan mendekat dan mengambil alih nampan berisi sarapan itu lalu membantu istrinya duduk di kursi yang terletak di depan meja kerjanya.

"Kenapa tidak menyuruh pelayan untuk memanggilku saja?" Tanya Brian sambil bersimpuh di hadapan Maggie.

"Hmm, hanya ingin memastikan keadaanmu. Kau melihat malam berlalu, kan? Maaf. Aku terlalu gila semalam."

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku yang salah karena tak mendengar perkataanmu. Aku memang belum merasa ini waktu yang tepat, tapi ini sudah terlalu lama untukmu dan kau wajar saja marah. Oh ya, kau tidur nyenyak semalam?"

"Aku bahkan menunda kedipku."

"Haha. Baik, ayo kita sarapan."

"Pelayan sudah menyiapkan air hangat dan pakaiannya sudah kutaruh di atas ranjang. Ayo selesaikan sarapannya dengan cepat dan segera bersiap atau kau akan terlambat."

"Kurasa aku tidak akan pergi ke kantor hari ini."

"Ada sesuatu yang terjadi? Atau kau ada pertemuan di luar?"

"Ah, bukan begitu. Aku hanya akan bertemu dengan Peter lalu kembali ke rumah. Itu yang ingin kulakukan hari ini. Aku sedang lelah dan merasa sangat benci dengan tumpukan dokumen membosankan itu. Aku sudah menghabiskan setengah hidupku bersama mereka, jadi kurasa tak salah jika aku rehat sejenak. Hari ini saja."

"Baiklah, itu benar. Aku akan menyiapkan menu spesial untuk hari ini. Ah, tidak. Hanya membantu mereka menyiapkannya."

"Haha..kau lucu sekali."

"Karena seseorang akan marah jika aku bekerja lebih banyak."

"Hahaha.. benar. Aku benci orang itu."



Brian baru kembali ke rumah saat matahari sudah tak lagi menyinari bumi. Dia membawa banyak dokumen dan langsung menuju ke ruang kerjanya. Maggie menyuruh para pelayan menyiapkan air untuk suaminya mandi, dan dia menyiapkan makan malam. Setelah semuanya siap, pelayan mengingatkan Brian untuk mandi dan makan malam, kemudian Brian melakukannya.

Makan malam kali ini kembali canggung karena Brian tak mengucapkan sepatah katapun dan Maggie terlalu ragu untuk membuka pembicaraan. Bahkan saat Brian melakukan ritual wajibnya setiap malam yaitu membantu istrinya melepas kaki palsu, dia masih tak mengatakan apapun.

Setelah beberapa jam mereka berbaring dan masih belum bisa tidur juga, Brian membuka pembicaraan.

"Sayang, menurutmu apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak bersamamu dalam waktu yang lama?"

"Apa maksudmu? Kau harus pergi ke luar negeri? Pergi saja, urusi pekerjaanmu seperti biasa. Jangan menjadikanku sebagai penghalangmu. Sebaliknya, yakin saja. Karena aku selalu mendukungmu dari belakang."

"Tidak, maksudku dalam waktu yang lebih lama dari perjalanan bisnis. Dua puluh tahun, atau sampai kita tua dan mati aku tidak kembali, kira-kira apa yang akan terjadi dan yang akan kau lakukan?"

"Astaga, apa yang dilakukan Peter padamu? Kau salah makan?"

"Aku serius, ini bukan omong kosong, Maggie."

"Lalu kenapa kau bertanya begitu tiba-tiba? Itu sedikit menakutkan."

"Bukan apa-apa, aku hanya ingin tahu."

"Hmm.. bagaimana ya? Jika kau pergi mengurus sesuatu entah apa pun itu dan berapa lama pun itu, aku akan menunggumu disini. Jika kita berpisah karena kematian nanti, aku akan tetap menjalani hidup untuk anak-anak kita. Begitu sudah cukup?"

"Bagaimana dengan menikah lagi? Kau perlu seorang pelindung yang tangguh. Seseorang yang mencintaimu setidaknya sebanyak aku. Meskipun itu sangat sulit."

"Apa-apaan kau ini? Apa kau akan mati besok? Kau mengatakan itu seakan-akan menikah itu mudah. Aku bukan wanita jalang yang dengan mudahnya mengubah cintanya untuk orang lain. Apapun itu, aku akan selalu menjadi satu-satunya wanita yang memberimu cinta jauh lebih banyak dibandingkan dengan siapapun di dunia ini. Selamanya. Ini sungguhan, aku tidak sedang membual."

"Aku hanya merasa kita perlu setidaknya sekali membahas hal semacam ini, karena tak ada yang tahu siapa yang akan pergi terlebih dahulu dan kapan itu. Tapi jika aku yang lebih dulu pergi, kuharap kau tidak sedih dalam waktu yang lama dan segera menemukan pria baik yang akan mencintaimu lebih. Kurasa Peter adalah pilihan terbaik untuk itu. Dia bahkan lebih sering membuatmu tertawa dari pada aku."

"Hei, saat kau tua dan mati, apa kau pikir Peter masih hidup? Umurnya bahkan jauh diatasmu dan kau mengharapkan dia menggantikanmu setelah kau mati? Dasar bodoh!"

"Oh, apa baru saja kau mendoakan Peter mati lebih cepat dariku? Haruskah aku mengatakan itu padanya, atau kau yang akan mengatakannya sendiri?"

"Aku akan membunuhmu jika dia sampai tahu."

"Benarkah? Lalu kau akan menjanda seumur hidup tanpa anak?"

"Ya! Tanpa kaki juga. Menjadi wanita terhormat tanpa kaki seperti yang selalu kau katakan. Puas?"

"Haha.. kau tahu, kau itu imut sekali saat sedang kesal begitu."

"Ya, aku tahu. Diam dan tidur atau kau akan benar-benar mati."

"Apa? Bagaimana kau akan membuatku mati saat aku lebih bisa menyerangmu lebih banyak? Hahaha..."

"Apa kau bilang?"

"Aku bilang 'menyerang', Nyonya."






Hah akhirnya kita bertemu lagi teman-teman..😊

Thanks buat teman-teman yang udah baca ceritaku, stay with me aja deh pokoknya..

😄

Ada yang penasaran gak? Kalo ada yang sabar aja yah, "Bintang" kita sudah melewati chapter pertengahan, yang menandakan akan segera rampung..hehe

😆😅

Jadi jgn bosen baca+vote+comment supaya authornya makin semangat update..hehe

😃😉

See you...


BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang