17 : Waktu itu (1)

33 5 0
                                    


Happy Reading Guys… 😉


Malam itu sangat dingin. Sejak pagi tidak ada cahaya matahari yang membantu dedaunan membuat makanannya. Brian membiarkan tubuhnya hampir menggigil di dalam balutan kemeja kerjanya. Dia bahkan tak ingat dimana ia meletakkan jasnya.

Baru saja dia berhenti mondar-mandir dan duduk di salah satu kursi tunggu. Pandangannya tak lepas dari pintu ruang operasi yang belum juga terbuka sejak lebih dari delapan jam lalu.

Rose mendekat dengan membawa sebuah jaket lalu menyerahkannya pada Brian sambil berusaha tersenyum. Matanya sudah sebesar buah jeruk karena terus menangis sejak mendengar berita kecelakaan Maggie.

“Joe tidak akan tidur dengan baik tanpaku, jadi aku harus pulang tak peduli sebesar apapun keinginanku untuk tinggal. Maafkan aku.” Pamit Rose sambil memeluknya.

“Aku mengerti. Jangan merasa bersalah begitu.” Jawabnya.

“Peter keluar sebentar, membeli sesuatu untuk kalian makan. Dia akan segera kembali. Keluarga Dew juga sudah pulang karena kesehatan Mr. Dew yang tak begitu baik. Kau sendirian dulu sebentar, aku pun akan segera kembali setelah mengantarkan Rose pulang.” Jelas James kemudian pergi meninggalkannya sendirian.

Brian mengenakan jaket pemberian Rose yang tak terlalu cukup untuk tubuh berototnya. Tapi itu jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Sesekali dia mendengus kesal karena merasa sistem penghangat rumah sakit ini sangat buruk, membuat dingin semakin menusuknya saja.

Tak lama kemudian terlihat Peter datang dengan membawa dua cup kopi dan sebuah kantong plastik. Dia segera duduk di samping Brian dan menyodorinya salah satu cup yang dibawanya.

“Minumlah, ini sangat panas. Bagus untuk diminum saat dingin begini.”

“Kau ini bodoh atau apa? Mana mungkin aku bisa makan dan minum saat istriku entah hidup atau mati?”

“Ya. Kau benar. Tapi Maggie sedang ditangani oleh banyak orang hebat di dalam. Sedangkan kau, jika kau tidak berusaha bertahan hidup sendiri maka kau hanya akan mati kedinginan atau kelaparan, tolol. Sekarang terima ini dan minum lalu makanlah beberapa dari yang kudapatkan ini. Sebentar lagi matahari terbit dan kau sudah membiarkan perutmu kosong sejak semalam. Kau akan benar-benar mati, atau setidaknya menambah jumlah pasien di rumah sakit ini jika kau masih tak mau mendengarkanku.”

Brian menerima cup kopi itu dan mengambil beberapa makanan kecil dari kantong plastik yang dibawa Peter kemudian menghabiskannya dengan cepat.

Peter menelan ludah melihat cara Brian menghabiskan kopi dan minuman yang dipilihnya. Brian sudah berjalan menuju tempat sampah saat dia masih memerlukan banyak waktu untuk menghabiskan sepotong roti.

“Kau benar-benar lapar, ya? Kenapa tidak ambil lebih?” Tanya Peter.

“Tidak. Itu saja sudah cukup. Terima kasih.”

“Oh, baiklah.”

“Tapi . . .” Kata Brian kemudian terhenti.

“Ada apa?”

“Mungkinkah ini ulah Charlie?”

“Aku tidak tahu. Mereka sedang menyelidikinya, jadi tunggu saja. Aku pun akan membantu sebisaku.”

“Terima kasih.”

“Jangan terlalu tersentuh. Ini karena aku mencintainya.”


Brian membuka matanya dengan cepat dan langsung bangkit lalu menoleh ke kiri dan ke kanan seperti orang bodoh. Dia mengutuki dirinya sendiri dalam hati karena dengan bodohnya tertidur. Sekelilingnya terlihat kosong, sunyi. Dia sendirian. Dengan cepat dia berjalan menuju meja resepsionis. Ada Mrs. Dew di sana.

“Mrs. Dew, kapan Anda kembali?”

“Oh, jadi kau sudah bangun. Tadi aku melarang semua orang membangunkanmu, kau pasti sangat lelah.”

“Seharusnya Anda tidak melakukan itu. Di mana Maggie? Bagaimana yang lain?”

“Maggie sudah di kamar perawatan, tapi kami belum diperbolehkan melihatnya. Yang lain? Maksudmu mereka semua? James pergi bekerja, Peter pergi dengan terburu-buru setelah mendapat telepon. Rose datang lalu berbicara dengan dokter untuk menggantikanmu. Sedangkan suamiku tidak bisa kembali karena kesehatannya, maafkan aku.”

“Terima kasih sudah datang kembali. Biarkan dia istirahat, karena kesehatanlah yang utama. Maafkan aku, aku harus menemui dokter.”

Brian memasuki ruang dokter yang menangani Maggie. Ternyata Rose masih di sana. Karena kedatangannya, dokter menjelaskan semuanya dari awal lagi di hadapan mereka berdua. Setelah membahas banyak hal dalam waktu yang tak singkat, mereka akhirnya meninggalkan ruangan itu.

Rose menangis dengan sangat keras sambil duduk tersimpuh di lantai depan ruang perawatan Maggie. Sedangkan Brian hanya menatap nanar pintu ruangan itu dengan matanya yang kian memerah. Kedua kelopak matanya meloloskan titik-titik air beberapa detik kemudian.

Mrs. Dew memeluknya erat sambil mengusap punggungnya menenangkan, tak sadar dengan air matanya sendiri yang mengalir lebih deras.

Mrs. Dew melepas pelukannya saat ponsel Brian berdering. Sedangkan Brian mengapus air matanya dan berjalan menjauh membiarkan wanita setengah baya itu mencoba menenangkan Rose.

“Di mana kau?” Tanya Brian kepada penelepon. Ternyata itu Peter.

“Kantor polisi. Hei, mereka menangkap sopir truk itu. Dia mengaku dengan sangat cepat. Dia dibayar seorang gangster. Si Gangster ditangkap di sekitar TKP dan mengaku dibayar seseorang yang tak dikenalnya. Menurut ciri-ciri yang dia sebutkan, orang itu terdengar seperti seorang eksekutif muda. Aku menunjukkan foto Charlie dan dia bilang bukan. Sekarang polisi sedang membuat sketsa bersamanya. Aku akan menghubungimu lagi saat ada penemuan yang baru.”

“Baiklah. Terima kasih.”

“Bagaimana keadaan Maggie? Operasi belum selesai saat aku pergi tadi.”

“Dia belum sadar. Hasilnya benar-benar buruk. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan menjalani hidup setelah ini.”

“Apa yang terjadi? Apa ada komplikasi berat?”

“Tidak. Dia baik-baik saja sekarang. Tapi, ternyata dia hamil. Tiga minggu. Anak pertama kami tidak bisa ditolong.”

“Bagaimana dengan Maggie? Apa dia sudah tahu sebelumnya bahwa dia hamil?”

“Tidak, dia belum tahu. Tapi kehilangan hal lain juga. Yang lebih penting.”

“Apa itu?”

“Kedua kakinya.”

“Oh tidak. Aku akan segera ke sana.”

Maggie siuman ketika tak ada lagi cahaya yang masuk melalui dinding kaca ruangan itu. Brian yang memegang tangannya sejak tadi semakin mendekat padanya. Maggie menoleh ke arahnya dan menitikkan air mata. Brian memaksakan kedua sudut bibirnya membentuk lengkung senyum menenangkan, lalu memencet tombol di sampingnya yang membuat beberapa dokter datang ke ruangan itu beberapa saat kemudian.



Jangan lupa vote n comment ya guys… 😉😄

Sampai jumpa di chapter selanjutnya…

Terima kasih… 😊😊

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang