19 : Setelah 245 Purnama

32 3 0
                                        


Happy Reading Guys…


Malam hari, setelah purnama ke dua ratus empat puluh lima memperindah langit malam sebelumnya.

Langit malam itu sangat indah. Banyak orang yang memenuhi taman kota untuk melihat hamparan bintang sambil menyesap segelas cokelat panas atau kopi bersama keluarga atau orang terkasih.

Taman itu semakin padat dan kursi kosong terlihat lebih menggiurkan dari setumpuk uang. Para pedagang di warung-warung tenda menjadi lebih sibuk karena banyak pelanggan yang membutuhkan masakan terbaik, mengalihkan perhatian mereka pada indahnya langit malam itu.

Berbeda dengan mereka yang bekerja di kedai atau restoran dengan tempat yang lebih baik. Seperti mereka yang beruntung menjadi bagian dari tempat favorit tidak sedikit orang, bar mewah yang berdiri di ujung kompleks villa dan hotel di atas bukit.
Bekerja dengan nyaman di bawah perlindungan atap yang kokoh, dengan hangat oleh selimut dinding kaca yang membuat mereka terlihat dari luar perlindungan ini.

Dinding kaca itu dibuat untuk membebaskan mata pengunjung melihat gemerlapan kota di bawah sana, atau sekedar memantau. Apa yang ditunggu sudah datang.

Terlepas dari betapa kejamnya atap yang mencegah bintang-bintang menyapa mereka dengan penuh cinta, dinding kaca itu menawarkan cahaya yang memiliki lebih banyak warna. Kehidupan kota di waktu malam.

Pengunjung bahkan tidak tertarik melirik keluar jendela. Telinga mereka mengikat kepala untuk selalu menghadap ke satu arah. Ke sana. Panggung yang sejengkal lebih tinggi dari tempat mereka duduk. Dari tempat itu alunan musik memasuki telinga dengan lembut.

Tak ada nyanyian, hanya seorang pria dengan rambut beruban dan kaca mata yang dipasang hampir di ujung hidungnya menekan tuts piano menggunakan jari-jarinya yang lincah dan terlatih. Menghasilkan nada yang nyaris sempurna. Lembut dan membawa kembali cerita lama dalam angan.

Semua orang di sana menyaksikan permainan piano pria itu dan cerita lama mereka masing-masing bermunculan satu-persatu. Membuat banyak manifestasi emosi.



Tempat itu dipenuhi dengan tepuk tangan dan sorak meriah semua pengunjung juga pelayan yang terpaku sejak pria itu menekan tuts pertama.

Setelah lengang beberapa saat, pria itu berdiri di samping pianonya dan membungkukkan badan, lalu berjalan menuju counter dan duduk di kursi paling ujung, yang terdekat dari panggung. Kemudian aktivitas semua orang berjalan seperti dua puluh menit lalu, saat pria itu masih duduk di kursi yang sama. Kursi yang ditujunya setelah selesai.

Seorang bartender dengan paras rupawan mendekat dan menyodorinya segelas martini.

“Lihat, stem gelas itu semakin mengecil. Berhentilah menyukainya. Aku akan memilihkan minuman tak beralkohol yang terbaik. Kau sudah tidak muda lagi.” Sarannya.

“Apa kau membuat ini untukku di gelas yang sama setiap hari? Aku tahu tanpa kau jelaskan, aku memang sudah tua. Dulu saat aku semuda kau, aku pernah meminum yang seperti ini di bar hotel bersama dengan seseorang. Percayalah, dia lebih cantik dari putri raja yang selalu kau bicarakan setiap malam.” Jawab pria itu sambil memandangi gelasnya.

“Kau baru melihatnya sekali, belum cukup untuk melihat betapa cantiknya dia. Aku menyukaimu juga karena dia. Karena dia bilang permainanmu bagus.”

“Begitukah? Jadi kau menyukainya, kan? Apa rencanamu untuk mengungkapkannya? Aku akan membantu dengan lagu yang bagus.”

“Pikiran bodoh apa itu? Aku hanya seorang bartender. Aku tidak punya apapun yang akan disukainya selain wajahku. Apalagi keluarganya. Aku tak yakin tidak akan menyakiti mata mereka saat membiarkan mereka melirikku.

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang