15 : Si Bangkai dan Yang Hilang

33 8 2
                                    


Happy Reading Guys… 😉

Keluarga James dan Peter datang begitu mendengar hasil pemeriksaan Maggie. Dugaan Rose tidak meleset. Dokter bahkan menyalahkan Maggie yang tidak melakukan pemeriksaan dari awal, mengingat usia kehamilannya sudah menginjak akhir bulan kedua. Sedangkan dokter untuk kedua kakinya hanya menyarankan memperbanyak istirahat dan semakin hati-hati di usia kehamilan yang masih muda.

Beberapa pelayan muda juga ikut mengobrol di ruang tengah untuk mendengar cerita Maggie. Mereka sangat senang akan kehadiran calon nona atau tuan muda mereka.

“Dokter sudah mendengar detak jantungnya?” Tanya Rose.

“Sudah. Kalian tahu? Ada dua. Dua detak jantung yang terdengar. Luar biasa, kan? Aku senang sekali.” Jawab Maggie yang membuat ruang tengah menjadi gaduh.

Teriakan bahagia dan suara para wanita muda membuat Si Kecil Joe terganggu dan menangis. James menggendongnya keluar untuk melihat kolam ikan Brian, melewatkan obrolan seru di dalam.

Tanpa di sadari oleh semua orang, Peter dan Brian sedang membahas hal lain di ruang kerja Brian. Peter berbicara sambil melihat hiasan dan tanda-tanda prestasi Brian yang hampir memenuhi ruangan itu, sedangkan Brian hanya duduk di sofa sambil membaca beberapa dokumen. Mereka terlihat lebih serius dari biasanya dan tidak memiliki raut wajah yang sama dengan wanita-wanita di ruang tengah.

“Kurasa semua jadi rumit sekarang. Mereka kembar? Kau punya riwayat keluarga kembar?” Peter mengalihkan pembicaraan.

“Maggie punya. Aku dengar dari seseorang yang mengenal keluarga ibunya. Dia lahir bersama satu gadis lagi. Tapi gadis itu tidak bernapas seperti Maggie.”

“Benarkah? Kau pasti bahagia sekali mendapat dua setelah kehilangan satu. Kuharap kau tidak melupakan sesuatu yang penting meski kebahagiaanmu itu cukup besar untuk membuatmu terlena.”

“Aku tahu.”

“Beritahu aku jika kau berubah pikiran. Kau tahu, keputusanmu sebelumnya sangat salah. Setelah berita bahagia ini, kurasa kau harus memikirannya lagi kemudian membuat keputusan yang berbeda. Waktu terus berlalu dan semua akan menjadi sangat rumit jika kau tidak melakukannya dengan cepat.”

“Baik. Aku akan menghubungimu nanti.”


Sejak hari itu, Rumah Brian tidak pernah sepi. Selalu ada orang yang berkunjung untuk membawakan makanan sehat atau hanya menyemangati dan menasehati Maggie.

James dan Rose, Peter, keluarga Dew adalah yang paling sering datang dan membuat Maggie tak pernah bosan di rumah tanpa sang suami yang justru sering sekali lembur saat usia kehamilannya makin bertambah. Mereka juga pengalih perhatian terbaik yang berhasil membuat Maggie melupakan beban pikirannya.

Satu hal yang terus menghantui Maggie sejak lama dan begitu terasa sejak dia memiliki banyak waktu diam karena perutnya itu adalah, ketidakmunculan Charlie dan segala hal yang berhubungan dengannya. Bukan hanya tidak di rumahnya, tetapi juga tidak di mana-mana. Bahkan para pelayan dan Mrs. Lott pun tak pernah mengangkat telepon.

Maggie mendengus kesal, sepertinya tidak ada yang datang. Maggie hanya duduk di ruang tengah sambil memakan salad buah buatan kepala pelayan dan menonton televisi.

Televisi menyiarkan penemuan tim penyidik tentang mayat korban mutilasi tiga tahun silam.

“Bagaimana bisa negara ini membayar mahal orang-rang yang bahkan sangat lamban mengurus bangkai? Ckckck . . .” Celetuk Maggie sambil meraih remote untuk segera mengganti ke stsiun televisi lain.

Dia berhenti berusaha meraih benda itu begitu mendengar nama Charlie.
Maggie melupakan remote dan menonton siaran berita itu dengan seksama. Telinganya tidak salah dengar.

Mayat itu adalah Charlie yang dikenalnya. Pembawa berita menjelaskan bahwa pelaku sudah tertangkap dan proses hukum segera dilaksanakan seadil-adilnya.

Maggie menjauhkan mangkuk saladnya tanpa sadar. Matanya terasa semakin panas. Dia tak peduli pada pelayan yang datang dan membersihkan lantai dari pecahan mangkuknya, atau pelayan lain yang memandangnya aneh.

Tanpa sadar air mata mengalir deras di kedua pipi Maggie, tak diiringi dengan satu isakan pun. Dia hanya menatap lurus kedepan dan membiarkan baju bagian depannya hampir kuyup karena air mata.

Tangan kanannya mengambil gagang telepon dari meja kecil di sampingnya dan menekan beberapa nomor sambil terus menangis. Nomor yang ditujunya tidak bisa dihubungi. Dia mencoba beberapa kali dan hasilnya nihil. Dia mulai panik dan mengamuk tak karuan. Para pelayan tak berani melakukan apapun dan hanya berdiri di sekitarnya duduk.

“Tidak. Angkat teleponku, bajingan. Tidak. Ini tidak mungkin.”

Salah satu pelayan berusaha meraih tangannya, tapi Maggie membuatnya mengurungkan niatnya karena dia berteriak dengan sangat keras membuat para pelayan ketakutan.

“Tidak mungkin. Apa dia . . . Tidak! AKU BILANG TIDAK MUNGKIN!!!!”

“Saya mohon tenang, Nyonya. Katakan apapun untuk kami lakukan, kami akan melakukan yang terbaik.” Kepala pelayan memberanikan diri berbicara padanya.

“Brian. Tolong hubungi Brian.”

Pelayan itu berlari menuju telepon lain di ruangan itu untuk menghubungi Brian, kemudian kembali beberapa saat kemudian dengan takut.

“Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa menghubungi ponsel tuan dan tuan sekarang sedang tidak ada di kantor. Maafkan saya,”


Kita sudah makin dekat dengan akhir nih teman-teman..hehe 😆😆
Tapi tetep stay sama aku ya..jangan lupa vote n commentnya yaa… 😉😃😄

Aku sayang kalian… 😘😙😗

See you next Chapter… 😄😄

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang