16 : Kejutan

29 4 1
                                    


Happy Reading Guys… 😉


Maggie mengganti baju serba hitam kemudian berjalan ke depan pintu rumahnya dibantu beberapa pelayan. Peter yang sudah menunggunya di luar segera membuka pintu depan dan membantu Maggie duduk sementara beberapa pelayan tadi memasukkan kursi roda ke bagasi. Tak butuh waktu lama bagi mobil Peter meninggalkan tempat itu setelahnya.

Mereka akan membutuhkan sekitar dua puluh menit perjalanan menuju rumah duka. Sampai setengah perjalanan berlalu, Peter tidak mengatakan apa pun. Sedangkan wanita yang duduk di sebelahnya tak berhenti menangis.

“Kurasa kau hanya terlalu baik. Setelah dia melakukan semua itu padamu, kau menangis untuk kepergiannya.” Akhirnya Peter buka suara.

“Sederhana. Aku masih manusia. Tak peduli dia sudah berubah jadi apa, fakta bahwa aku sudah menghabiskan lebih dari separuh hidupku bersamanya tidak akan berubah. Dia kakakku, Peter.”

“Ya, pemikiran itu juga tidak buruk.”

“Lagi pula belum tentu dia yang menyebabkan aku begini. Aku belum dengar hasil apa-apa dari kepolisian. Mereka benar-benar tidak bisa bekerja.”

“Mereka berhasil menemukan tersangka beberapa bulan setelah peristiwa itu terjadi. Mungkin Brian punya alasan untuk tidak memberitahumu.”

“Dia benar-benar dalangnya? Kenapa dia tidak ditahan? Kenapa juga tidak ada berita tentang dia di mana-mana dan tiba-tiba mati lalu terpotong-potong begitu?”

“Ya. Benar dia yang merencanakan itu semua. Tapi mereka tidak menemukan Charlie. Beberapa hari kemudian temanku yang berprofesi sebagai polisi menemukan potongan-potongan tubuh itu. Potongan-potongan itu diduga Charlie karena tato di lengan kanan yang selalu dipamerkannya di televisi, kau tahu kan? Lalu kami melakukan banyak penyelidikan dan tes untuk membuktikan kebenaran dugaan itu.”

“Astaga.. Lalu bagaimana dengan media?”

“Brian menutup mulut media dengan baik. Dia menutup semua kemungkinan kau mendengar. Luar biasa, kan? Pendapatku tentangnya selalu sama sejak dulu. Dia mencintaimu dengan cara yang unik. Mungkin itu yang membuatnya dengan mudah mengalahkanku.”

“Mana bagian yang kau sebut unik itu? Dia membuat aku seperti orang buta. Itu menyebalkan. Bagaimana bisa dia mengatur seakan tak terjadi apa-apa? ”

“Itu juga tidak mudah baginya. Kau tidak akan bisa membayangkan bagaimana murkanya suamimu saat itu. Kurasa dia menahannya dengan baik saat bersamamu.”

“Menahan apa? Dia memang pernah jadi gila di rumah. Ahh.. itu saat-saat terkonyol dalam rumah tangga kami. Setiap hari kami melakukan hal-hal bodoh dan bertingkah seperti anak kecil.”

Obrolan mereka terhenti karena ponsel Maggie berdering. Setelah beberapa saat berbincang dengan si penelpon, Maggie memutus sambungan mereka dan memasukkan ponselnya ke dalam tas sambil menggerutu tak jelas.

“Kau mengomel? Apa yang terjadi?” Tanya Peter.

“Kurasa Brian menghindari pemakaman. Dia bilang harus mengurus sesuatu di San Diego selama beberapa hari.”

“Ehm.. ku..kurasa begitu. Dia pergi ke arah yang berlawanan, ya…”

“Oh ya, bagaimana dengan pelaku mutilasi? Kudengar mereka sudah menangkapnya. Siapa yang mencincangnya seperti itu?”

“Hei, lihat dirimu.”

“Apa maksudmu?”

“Begitu aku memberitahumu bahwa Charlie adalah dalang kecelakaan itu, kau berhenti menangis dan sekarang banyak bertanya dengan sangat antusias. Ke mana perginya orang yang kau sebut masih manusia tadi?”

“Haha.. Kau memang yang terbaik dalam hal semacam ini.”

Rumah duka terasa sangat sesak sekarang. Rekan-rekan bisnis atau sesama artis, orang-orang dari management artis atau penggemar datang sambil menangis dengan berlebihan, membuat Maggie ingin tertawa saja.

Wajah-wajah palsu memang selalu muncul tanpa malu di rumah duka manapun, pikirnya.

Maggie mendengus kesal karena harus duduk diam sendiri di samping foto Charlie. Berkali-kali dia melirik jam dinding yang jarumnya seakan tak bergerak sejak tadi. Peter pun sudah tidak berada di dekatnya sejak Rose dan James mohon diri. Pria itu mengatakan akan kembali nanti, tapi Maggie sudah lelah menunggunya sampai dia merasa sedetik seperti seharian di tempat itu.

Meskipun melelahkan, Maggie mengiuti upacara pemakaman sampai selesai. Peter yang mendorong kursi rodanya sejak tadi menghela napas. Dia adalah yang paling merasa kelelahan di sini.

Peter segera mengajaknya pulang. Merasa perjalanan pulang sangat lama, Maggie melihat jam tangannya. Waktu sudah banyak tersita, tidak seperti tadi ketika mereka berangkat. Dia melihat ke luar jendela dan mencoba membaca semua tulisan yang bisa ditangkap matanya. Keningnya berkerut, ini bukan jalan menuju rumahnya.

“Hei, kurasa kita salah jalan.”

“Tidak. Kita akan pulang ke rumahku.”

“Apa? Tidak bisa. Aku harus pulang dan istirahat. Aku akan mengunjungi ibumu besok.”

“Ini bukan kunjungan, Maggie. Mulai sekarang, kau akan tinggal bersama kami.”

“Tunggu, apa-apaan? Peter, aku bukan anak kecil lagi, yang harus di titipkan seperti itu. Aku adalah istri dan ibu. Aku hanya perlu pulang dan menunggu suamiku pulang. Tolong antar aku pulang.”

“Brian meneleponku tadi. Dia bilang urusannya mungkin akan memakan waktu yang lebih lama dari perkiraan.”

“Oke. Setidaknya biarkan aku pulang mengambil beberapa pakaian terlebih dahulu.”

“Semuanya sudah ada di rumahku.”

Maggie tidak mengatakan sepatah kata pun sampai mereka tiba di rumah Peter. Seperti biasa, keluarga Thorburn menyambutnya dengan sangat baik.

Dia terkejut begitu melihat kepala pelayan dan dua pelayan muda rumahnya ada di sini dan membantu mereka menuju kamar yang disediakan untuknya.

Belum sempat menanyakan keheranannya pada ketiga pelayannya, Maggie sudah dibuat terkejut lagi ketika memasuki kamar itu.

Kamar itu persis seperti kamarnya bersama Brian. Ranjang, bufet-bufet, lemari, kursi, meja dan semuanya. Ini lebih nampak seperti dipindahkan daripada dibuat serupa.

“Apa ini?”



See you next chapter, guys… 😡

Jangan lupa vote n comment yaa…😆😆

Terima kasih… 😊😊

BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang