Kejadian Keempat

22 1 0
                                    


Yang ingin Vada lakukan setelah bel panjang berbunyi adalah cepat-cepat pulang dan berleha-leha di kamarnya. Menikmati Magnum dan membiarkan asap rokok itu memenuhi kamarnya yang luas.

Keinginan Vada untuk mendengar bel pulang akhirnya terkabulkan. Segera ia membereskan perlengkapan tempurnya lalu tanpa pikir panjang meninggalkan kelas dengan leganya.

"Nevada!" Tentu Vada langsung saja mengenal suara nyaring itu. Ia sudah hafal tabiat teman baiknya yang satu ini-selalu berteriak layaknya pemegang sekolah.

Badan Vada langsung berputar agar dapat melihat wajah ingusan Sang teman. Ia sudah menyiapkan kata-katanya untuk menegur Sang teman, tapi ketika temannya sampai di depan Vada, ia malah dihadiahi tamparan super duper menyakitkan dan cukup mengejutkan.

Tentu saja siswa-siswi yang sedang lalu lalang menoleh ke arah mereka dengan satu pertanyaan yang sama, kenapa mereka?

"Elo." Telunjuk yang menampar mengarah pada Vada. Ada kilas marah, kecewa, cemburu terpancar dari matanya.

Amy. Grammy Mahanaim. Sahabat Vada yang tadi menamparnya.

"Teman makan teman!" Teriaknya sampai membuat Vada yakin itu dari lubuk hati Amy paling dalam.

Vada benar-benar bingung. Apasih yang dia lakukan sampai Amy tiba-tiba datang dan menamparnya? Mau dikemanakan mukanya nanti?

Vada benar-benar tidak ingin memikirkan Amy bangsat. Tapi untuk perbuatan Amy sekarang ini memang tidak bisa ia tolerir hingga 'oh' saja yang Vada keluarkan dan beranjak dari tempat itu.

Bukan Amy namanya jika ia menang tanpa ada perlawanan dari sang lawan. Maka ia cepat-cepat mencegat Vada dan menatap mata Vada setajam mata elang saat melihat mangsa.

"Apaan sih maksud elo nampar gue?" Tanya Vada setelah Amy tak kunjung buka mulut. Sungguh, jika ia tidak memiliki harga diri, Vada sudah dari tadi menangis karena sakit hati.

Siapa sih yang gak bakalan sakit hati jika sahabat elo dengan seenak jidat datang, nampar trus ngatain teman makan teman sama lo? Padahal sebelum hal itu terjadi elo sedang butuh dia karena sesuatu? Di mana letak ia bersalah kalau begitu?

"Enggak cukup lo nampar sama ngatain gue di muka teman-teman? Gue udah ngalah sama lo, tapi apa maksud elo datang lagi?"

Menurut Vada, pertanyaannya sudah benar. Ia tinggal menunggu jawaban logis sebelum kepalan tangannya mendarat di wajah Amy.

Wajah menantang Amy terbit. "Jangan pura-pura bego."

Anjing!

"Gue emang bego. Jadi jangan elo yang pura-pura pikun," balas Vada.

Sorot mata Amy benar-benar berubah setiap detiknya. Vada jadi gemas liatnya. Vada jadi tidak tau apa maksud Amy menampar dan mengatainya.

"Udah gak ada gunanya lagi gue jelasin semuanya." Nafas Amy menjadi satu-satu. Vada tau Amy menggantungkan perkataannya, maka ia terus menatap lekat Amy hingga ia kembali buka mulut.

Sempat hening yang menggantikan suara-suara mereka. Namun sepersekian detik kemudian Amy melangkah maju, siap-siap membisikan sesuatu.

"Yang terpenting sekarang adalah--" Vada benci digantung seperti jemuran basah di depan rumah. Namun ia hanya bisa mendengus melihat Amy malah melakukan drama yang luar biasa hebat. Sungguh hebat hingga penonton pun terdiam saking terkesima.

"—elo bukan lagi sahabat gue." Setelah ia mengakhiri segala perkara ini, gantian Amy yang meninggalkan Vada yang terpaku di tengah-tengah koridor sekolah. Di tengah kepenasaran teman-temannya.

Di tengah keterpurukannya.

--

Vada tak menyangka, perkataan Amy empat hari yang lalu memberikan dampak begitu besar dalam hidupnya.

"Udalah, Vad. Cewek kayak gitu gak usah lo pikirin," saran Nichole. Ia memperhatikan Vada yang terus menerus meniup sehelai rambut yang menutupi wajah cewek kurus nan proposional itu.

Butuh sekitar lima menit hingga Vada merespon perkataan Nichole yang tadi. "Kalo lo ngomong kayak gitu, kedengeran kayak gue lesbi aja."

Nichole tau Vada sedang mencoba untuk melucu. Namun Nichole, tak terima melihat Vada yang seperti kehilangan arah dan tujuannya.

"Vad, Amy itu gak pantas dapetin temen kayak elo. Udahan dong, Vad. Gue males banget kalo elo kayak gini. Keliatan elo yang salah," ujar Nichole dengan nada setengah menyerah. Ia pengen menyerah karena Vada masih tidak mau berhenti memikirkan perkataan Amy yang lalu. Nichole benci hal itu.

Vada menoleh. Melihat Nichole sembari tersenyum tipis pada temannya. "Vad, Amy." beo Vada saat mendengar celotehan Nichole tadi.

"Kayak Fat Amy pelafalannya, ya?" Ah, Vada memang berubah menjadi 180 derajat berbeda dari biasanya. Lagipula, pelafalannya sudah tentu beda.

Nichole benar-benar ingin menyerah di detik Vada berhenti bercanda. Namun belum saja keluar pergi, perkataan Vada selanjutnya membuat Nichole tersentak.

"Gue berandai-andai, Nic. Apa salah gue sampai dia berani ngemaluin gue di depan banyak orang? Kenapa dia sampai tega gituin gue padahal dia itu udah mulai gue anggap sebagai seorang sahabat?" Nichole tau, Vada mulai terisak. Suara parau gadis itu terdengar jelas di telinga Nichole. Tak mungkin ia pura-pura tidak tau dan membiarkan Vada menanggung sendiri kepedihannya.

Tangan Nichole terkepal. Ia tidak bisa melakukan apapun untuk membalas Amy. Bahkan untuk memeluk Vada pun ia tidak bisa.

Yang ia bisa lakukan hanyalah menenangkan Vada dengan nada-nada Nichole. Menyanyikan lagu penghantar tidur agar Vada bisa melupakan kejadian menyebalkan empat hari lalu.

"Nic, jangan nyanyi. Serem tau kalo denger lo nyanyi," ujar Vada dengan wajah setengah panik. Nichole yang mendengar seruan Vada hanya bisa terkekeh lalu berhenti menyanyi.

Serasa Vada sudah tidur, ia menggeleng pelan dan melihat wajah tenang sang sahabat.

"Andai lo tau apa yang terjadi, Vad."

Dengan begitu, ia pun meninggalkan Vada tidur nyenyak di kamarnya. Menelusuri rencana seseorang dan menghela nafasnya melihat segalanya terjadi.

Berpura-pura gak Nichole banget.

--

Kamis, 5 Januari 2017 -- 16.18 WITA

A.s

BetersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang