Move On
Rutinitas pagi.
Syarifah bangun sekitar pukul 02.30 kemudian mandi dan mengambil air wudhu, membuat sel-sel ditubuh dan kepalanya terasa segar. Menghampar sajadah, memakai parfum lalu membalut tubuhnya dengan mukenah terusan berwarna putih bersih. Ia menyalakan terapi-terapi dukanya dengan tunduk khusyuk membaringkan diri dan nasibnya pada Allah Sang Penentu segala urusan.
Hatinya kini diliputi kedamaian. Merajut ikat demi ikat harapan. Ia tidak lagi menunggu. Ia hanya menggantungkan semuanya pada Allah. Ia tidak juga menolak, meminta, menuntut, mencari, memastikan atau mengkonfirmasi maupun mempertanyakan. Ia hanya berusaha tegar, tegak menjalani hari-harinya.
Setelah beberapa rakaat sunnah dan ditutup witir. Syarifah merangkai doa-doa, membisik lembut menggetarkan udara. Ia hanya ingin berdua saja dengan Sang Penggantung semua harapan. Berbisik lembut diayun hawa waktu fajar yang penuh berkah. Sudut matanya basah. Kelopaknya tertutup. Bibir mungilnya tak henti-henti melafalkan pujian dan ampunan.
"Duhai Tuhanku! Kirimlah cahaya bersamaku, dari RahmatMu, yang menerangi dihadapan dan sebelah kananku. Dengan itulah Engkau tentramkan aku, Engkau ikat hatiku, Engkau tampakkan alasanku, Engkau putihkan wajahku, Engkau benarkan pembicaraanku, Engkau menangkan hujjahku, sampaikan aku pada puncak kasihMu dan Engkau angkat aku pada derajat tinggi dari surgaMu.
Dengan itu Engkau anugerahkan kepadaku kebersamaan dengan Muhammad, NabiMu, hambaMu, dan RasulMu pada tingkatan tertinggi didalam surga. Dan keutamaan paling puncak, pemberian paling baik dan nilai yang paling tinggi, bersama mereka yang telah Engkau anugerahi kemuliaan, dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, syuhada, shalihin. Duhai alangkah indahnya bergabung dengan mereka".
Do'a Sayyidah Fatimah ini yang sering dipanjatkan Syarifah. Keindahan lafal dan maknanya menyita seluruh ketakjuban. Seperti menemukan sahabat dan kakak, do'a-do'a Fatimah ini dipeluk, dihafal dan dihayatinya. Ia merasa tidak sendirian. Ia seakan memiliki sandaran. Hologram Sayyidah Fatimah bagai bayang-bayang penjaga perjalanan hidupnya. Ia baca kisahnya, ia bayangkan wajahnya, senyum dan kebersahajaannya.
Sesaat kemudian kumandang adzan subuh terdengar sayhdu menyibak sepotong pagi. Syarifah membuka jendela kamarnya. Membiarkan nafas pagi memenuhi ruangan dan relung hatinya. Kicau burung prenjak yang bergelayut di dahan pohon mangga sisi luar kamarnya menambah harmoni keindahan pembuka hari ini. Selesai sholat, ia raih ,mushaf suci, melantunkan beberapa ruku firmanNya dan menyiapkan kegiatan hariannya. Mengajar.
"Iffah! Bantu Ibu sebentar memotong-motong sayuran ini, Ibu lagi menjerang air buat kopi Ayahmu". Ibu setengah berteriak. Segera aku menuju dapur. Didapur inilah seringkali aku berdialog. Ibu bagaikan sahabatku. Aku berbagi kebahagiaan, mencurahkan kesedihan, menuangkan pikiran, mencari solusi dan berdiskusi.
"Iffah, hari ini Ibu ada kegiatan di pesantren, pulangnya mungkin agak sorean. Ibu minta sepulang mengajar kamu tidak mampir kemana-mana. Kasihan Ayahmu supaya ada yang menyiapkan makan siang dan kopinya nanti sepulang dari kandang ayam".
"iya,bu. Pasti beres. Tukasku agar ibu tampak lega.
Setiap selasa, ibundaku ini mengikuti kegiatan Tarekat yang dibimbing seorang Kyai sebagai mursyid. Baginya kegiatan ini adalah sekolah. Sekolah dzikir.
"Dzikir memang harus diatur, tak sekedar menunggu kena musibah, galau atau hati sedang mood. Kegiatan ini memaksa ibu menghafal, mengamalkan dzikir-dzikir itu pada jumlah dan waktu tertentu. Tak wajib memang, namun ibarat mencari ilmu, kalau kamu tidak sekolah, pasti sulit bagimu terlecut mencari ilmu". Demikian gamblang beliau menjelaskan saat kutanyakan mengapa mengikuti kegiatan itu.
Disekolah, suasana seperti hari-hari kemarin. Memeriksa jadwal masuk kelas, mencoret-coret sedikit materi yang akan disampaikan dan disinilah, kerajaanku, ruanganku, semestaku dimana aku bebas mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan anak didikku. Usia mereka rata-rata terpaut 5-6 tahun denganku. Sebuah usia remaja penuh energi, rasa ingin tahu dan pencarian jati diri.
Bersama mereka aku laksana memandang cermin. Melihat diriku 6 - 7 tahun yang lalu. Dimana saat itu aku mengikuti beberapa kegiatan ekstra kurikuler. Selain pramuka sebagai ekstra wajib, ekskul yang berjasa membentukku adalah teater. Entah, hal ini sangat menarik perhatianku karena disinilah imajinasiku diasah, panca inderaku dan tentu saja goresan penaku. Serunya latihan alam, tegangnya menjelang pementasan adalah pengalaman berharga. Aku bisa menjiwai udara, air dan aroma bunga. Mendengar derit dahan, merasakan tajamnya butir pasir. Saat mata tertutup ternyata indera yang lain menjadi lebih peka.
Kringgg,kringggg. Bel istirahat berbunyi. Ku lihat siswa diruangan kelasku belum beranjak. Tugas meresum biografi ulama hadits masih tekun mereka kerjakan. Namun istirahat adalah hak. Saatnya otak diberi jeda untuk bepikir, jemari dilemaskan dan tenggorokan minta dialiri minuman.
" Oke,anak-anak! Minggu depan resum sudah siap dipresentasikan, sempurnakan tulisan kalian dengan baik dan kuasai materinya. Selamat mengerjakan dan silahkan istirahat.assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh". Kulihat siswa segera semburat menuju kantin atau duduk-duduk didepan koridor kelas.
Aku melangkah ringan menuju kantor. Jam menuju siang ini, rasa kantuk mulai menghampiri. Aku melangkah membawa setumpuk buku jurnal, modul dan rencana pembelajaran dan isi kepalaku membayangkan seduhan hot coffe yang kuracik sendiri. Hmm. Betapa nikmatnya.
Sesampainya dimeja kerjaku, mataku tertegun pada sebuah amplop ditujukan pada namaku. Tertulis dari kedutaan besar Iran. Deg.jantungku berdebar-debar. Sebuah surat yang menunjukkan bahwa aku menerima beasiswa S2 di University Of Teheran, program Studi Theologi Islam. Sebuah beasiswa yang direkomendasikan oleh IRIB (Islamic Republic Of Iran Broadcasting), Teheran. Saat itu aku aktif sebagai penerjemah dan penulis tetap di perusahaan Broadcast tersebut. Subhanallah ! Iran ? aku tak menyangka. Secepat itukah ? . memang aku ingin move on , melupakan duka derita, mengisinya dengan banyak kegiatan dan fokus bekerja. Tapi, melanjutkan studi di Iran, rasanya terlalu jauh. Meninggalkan tanah air, keluarga, teman, siswa dan pekerjaannku adalah hal yang cukup berat bagiku. Namun tentu naif jika aku melewatkan kesempatan ini. Bukankah kesempatan tidak datang dua kali ?. aku tertegun memandangi surat itu, berkali-kali, sambil mempersiapkan mental dan segala sesuatu untuk menjalaninya.
Penulis
Nantikan kisah berikutnya.... Syarifah menuju negeri Persia

YOU ARE READING
ISTIKHARAH CINTA
SpiritualBlurb: "Berpihak pada isyarat langit adalah suatu ikhtiar pada hati seorang hamba yang diliputi suatu keraguan, rasa takut dan ketaatan pada sang pemilik hati yang hening dan bening dari nafsu maupun ego. Termasuk cinta. Kepada siapakah cinta diper...