Chapter 7 -Special-

573 18 8
                                    

Dikamar yang tidak begitu luas, dua tempat tidur kecil yang dipisahkan sebuah lemari dan lampu duduk diatasnya serta beberapa buku bertumpuk. Kami berdua, yang sama-sama menggemari buku sastra, novel terutama setiap menjelang tidur selalu kami habiskan sedikit waktu untuk membacanya. Buku pula yang semakin mempererat kami. 

Beberapa novel tanpa sengaja telah sama-sama kami baca. Aku membacanya saat tahun pertama perkuliahanku di UIN. Sedangkan Sadiqeh, dia di tahun kedua diperkuliahan grade satunya. Kami memiliki kesamaan selera. Beberapa buku membuat kami terpekik manakala salah satu dari kami menyampaikan dan sekedar sharing. 

Sebuah buku yang menarik dan telah kami baca berulang - ulang adalah "Perempuan di titik Nol" atau dalam edisi berbahasa inggrisnya berjudul, "Woman At Zero Point" karya Nawal El-Sa'adhawy. Seorang dokter wanita dan penulis yang kritis dari negeri Egypt. Sebuah novel yang mengkritisi penafsiran dalil-dalil agama dimana ejwawantahannya mendiskriminasi kaum hawa. Selain itu beberapa karya Naguib Makhfudz juga sastrawan mesir yang meraih penghargaan Nobel, dengan novelnya "Midaq Ale", juga sebuah novel Filsafat karya Justin Garder, penulis genius dari Nowergia dengan novelnya yang mendunia, "Dunia Sophie".

Ah, sangat banyak kesamaan kami. Dan malam ini, menjelang tidur, kulihat Sadiqeh tersenyum-senyum sendiri, seperti gadis yang baru dipinang kekasihnya. Memegang ponsel dan menyentuh-nyentuh layarnya. Melihat Sadiqeh tersenyum sendiri, aku pun ikut tersenyum. Dan menyadari aku menatapnya sejak tadi, setengah melirik sembari tangan masih berkutat dengan ponselnya, ia berkata,

"Syarifah, aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang yang sangat special". Sambil menatapku sesekali seakan membiarkanku dalam tanda tanya.
"Oh,ya ?! . siapakah gerangan dia Sadiqeh ?". ku tutup seketika Novel favoritku yang ku pegang sedari tadi sambil menunggu mata ini ingin ditunai haknya untuk istirahat. Sadiqeh tidak berniat meneruskan kalimatnya untuk berbelas kasih padaku yang penasaran ini. 

Akupun tak ingin lancang menyeruduknya dengan banyak pertanyaan. Meskin batin ini tiada henti-henti bertanya. siapakah yang begitu special bagimu, Sadiqeh ? siapa ? orangtuamu/ Saudaramu? .memang selama 7 bulan ini aku belum pernah sekalipun bertemu dengan keluargamu. Yah kecuali Pamanmu Ammu Bagir itu. Atau,atau...kekasihmu kah, Sadiqeh ?
Aku menatap Sadiqeh, mencoba mencari-cari gejala ada lanjutan tentang orang special itu. Ku lihat Sadiqeh malah tertawa, menertawakan aku yang terkejut dan tidak menyangka menyembunyikan sesuatu dariku.

"Sadiqeh, kau punya kekasih ?. dia tersenyum dan mengangguk-angguk seperti anak kecil ditawari es krim. Hihh. Menggemaskan. Aku melempar bantal ke arahnya, Sadiqeh menjerit manja. Aku gemas. Gemas karena begitu pandainya dia menyembunyikannya dariku. Padahal sudah hampir 7 bulan aku bersamanya. Aku sudah menceritakan semua. Semua kisahku tanpa sisa. Keluargaku, saudaraku, orangtuaku, teman-temanku, dan mantan kekasihku, Fadhol. 

Ow, aku jadi sendu jika mengingat nama ini. Tapi, kembali ke Sadiqeh, perempuan idealis, gadis Syiah militan, Nasionalis Parsi sejati, feminis, pemikir, independent dan agak-agak tomboy meski wajahnya layak menjadi kandidat Miss Universe. Gadis ini, memiliki kekasih ?. menurutku gadis yang memiliki kekasih, seperti aku kala itu, adalah tipe-tipe gadis yang ingin dilindungi, membutuhkan pemimpin. Atau gadis yang kawakee-kawakee alay ingin bermanja-manja dengan seorang pria?. 

Inilah kesalahan analisaku. Padahal siapapun berhak memiliki kekasih. Orang yang mengasihi dan dikasihi. Mencintai dan mencintai. Sebuah fitrah makhluk hidup yang ditiupkan dalam raga bersama ruh. Tak peduli ras, usia, suku, keyakinan apalagi madzab. Tentu saja wajar mestinya gadis secantik Sadiqeh memiliki kekasih. Hanya saja aku reflek menanggapinya dengan terkejut, karena aku tidak menyangka. Ah, entah. Mungkin hanya karena ia menyembunyikannya dariku.

"Jawab, Sadiqeh !. benarkah ?". aku memelas memohon agar Sadiqeh mau suka rela membagi kisah cintanya padaku. Room mate-nya ini.
Dia hanya tersenyum manis, malu-malu. Tersipu yang dibuat-buat. Pura-pura kemayu dan mengangguk-angguk. Ih. Sungguh menggemaskan dirimu Sadiqeh.
"Engkau akan bertemu dengannya besok !". dengan tegas dan entengnya dia menjawab. Kalimah pendek itu. Padahal aku berharap rentetan cerita bagaimana dia, berasal darimana, bagaimana perjumpaan mereka, sejak kapan. Oh, sungguh kau buatku mules karena penasaran, Sadiqeh.
"kita jalan-jalan lagi ,Syarifah. Disebuah tempat yang pasti engkau sukai. Bahkan yang rindukan". Sambil menarik selimutnya sampai menutupi wajahnya, Sadiqeh seperti tidak menyediakan sesi pertanyaan padaku. Sadiqeh memang penuh kejutan. Aku pasrah dengannya. 

Aku telah menyerahkan dan mempercayakan diriku padanya, mengarungi belantara negeri Persia yang asing ini. Dengannya aku merasa nyaman. Dialah perempuan yang sangat toleran, modern dan mudah menerima perbedaan, ramah, dermawan dan yang paling seru, punya jiwa petualang. Meski dia seorang perempuan, aku merasa terlindungi. Seperti saat aku pertama berada di Universitas , mencari informasi tentang perkuliahan dan tenpat tinggal mahasiswa baru.

Aku saat itu hanya terdiam. Bengong sendirian di antara lalu lalangnya para mahasiswa di awal musim perkuliahan, berbaur dengan mahasiswa dari berbagai negeri, bercampur aduk lafal dan logat yang sulit kupahami, jarang kudengar ucapan berbahasa inggris. Semua sibuk dengan kepentingannya sendiri. Sementara aku kebingungan, dia mendatangiku laksana malaikat. Menanyakan keperluanku dengan bahasa Inggris yang fasih, mengantarku dibagian informasi kampus dan... disinilah aku. Sekamar dengannya. Karena dia sendirian. Dua bulan yang lalu teman sekamarnya sudah wisuda. Pihak universitas menyerahkan pilihan kepadaku dimana tempat yang akan ku tinggali, hanya rekomendasi beberapa apartemen khusus ditinggali Mahasiswa. 

Maka tak ada pilihan lain kecuali aku harus setuju dengan tawaran indah Gadis Parsi ini. Tak hanya membantu mencarikanku informasi, dengan gagahnya, dia menenteng tasku, ikut menyeret koper besarku, menghentikan taksi dan mengantarkaku sampai dikamar. Oh, Sadiqeh, semoga Allah memberkahimu, sahabat. Pernah sesekali kutanya, mengapa dia mendatang dan menolongku saat itu. Dengan santainya dia menjawab. "Syarifah, saat itu aku melihatmu seperti gadis kecil palestina ditengah-tengah gerombolan tentara Israel". Tak tega aku melihatmu kebingungan seperti itu.

Oh,My God, astaghfirullah. Begitu memelaskah raut wajahku ini ? bagai gadis kecil Palestina di gerombolan tentara Israel ? begitu dia menggambarkan ? . tapi, wajah ini Sadiqeh, membawa hoki. Wajah memelas ini mengundang welas asih orang. Dengan wajah melas ini pula aku dipermudah oleh Allah mendapatkan pertolongaNya melalui tangan-tangan hambaNya. Termasuk kamu Sadiqeh. Engkaulah jalaran pertolongan Allah itu. Aku tidak bisa membayangkan jika tak ada yang menolongku saat itu. Menemukan orang Indonesia di Iran sangat sulit. Kebanyakan Mahasiswa Indonesia lebih memilih study di Tharim Had hadhramaut, Yaman, Al Azhar Mesir, atau Sudan yang mayoritas Sunni. Ini negeri mayoritas Syiah. Dinegeriku, beberapa golongan menganggapnya kafir dan sesat. Tapi, bersamamu aku nyaman .

Lampu kamar kami sudah padam. Sadiqeh sudah tidur nyenyak. Terlihat tenang dan damai. Senyum segaris membentuk dibibir mungilnya. Perlahan mataku sayu. Menunggu kantuk ini seraya membayangkan pertemuan dan perjalanan kami esok. Dengan seseorang yang sangat special bagi sahabat Persiaku.

ISTIKHARAH CINTAWhere stories live. Discover now