POV 3
Sang Profesor
~Sebuah mimpi~
" Ruangan itu kecil saja tanpa perabotan. Tak ada sesuatupun yang menggantung pada dindingnya yang berwarna putih keabu-abuan. Satu-satunya perhiasan yang ada hanyalah karpet yang didominasi pola warna merah dan putih yang menutupi lantai.Diatasnya ada sebuah jendela kecil seperti jendela ruangan bawah tanah yang mengalirkan pada ruangan itu cahaya yang terang. Kami duduk berjajar dan saya berada pada jajaran yang ketiga. Hanya ada pria. Tak satupun wanita yang hadir. Semuanya duduk dengan bertumpu pada tumit serta menghadap ke arah jendela. Suasananya terasa asing.
Saya tidak mengenal seorangpun. Mungkin saya berada di negeri lain. Kami sujud bersama, serentak. Wajah kami menyentuh lantai. Suasana sangat hening dan tenang. Seolah semua bunyi-bunyian dimatikan.
Dengan serentak kami duduk kembali dengan bertumpu pada tumit. Ketika saya melihat ke depan saya baru menyadari bahwa saya dipimpin oleh seseorang yang duduk paling depan. Jauh dari sebelah arah kiri saya. Ia duduk di tengah-tengah di bawah jendela. Ia sendirian dibarisannya. Saya hanya melihat punggungnya sekilas. Dia mengenakan jubah putih panjang dan bersurban putih dengan corak merah. Pada saat itulah saya terbangun."
Prof. Jeffrey Gibs terbangun dari mimpinya. Sudah lama ia mengalami mimpi yang sama, bertahun-tahun. Tak tentu datangnya. Tiba-tiba saja muncul dalam tidur sejak puluhan tahun yang lalu dan seperti biasanya setelah datangnya mimpi itu ia rasakan desiran angin sejuk dalam dadanya. Ia merasa damai.
Seiring dengan bertambahnya usia Sang Profesor yang dulunya menyikapi bahwa mimpi ini tak nampak berharga untuk dipikirkan lebih jauh. Mimpi itu juga tidak begitu mengganggu justru ia merasa lega. Kini Sang Profesor menyadari dan percaya bahwa mimpi itu mengandung semacam hubungan religius. Beberapa teman dekat juga telah pula menceritakan perihal mimpi itu namun sikap mereka biasa - biasa saja.

Profesor Jeffrey bangkit dari tempat tidurnya. Menuju kamar mandi, berdiri di depan wastafel lalu membasuh mukanya beberapa kali. Ia memandang cermin. Ia masih sedikit tercenung tentang mimpi itu. Yang akhir-akhir ini makin sering muncul. Ia juga ingat mimpi itu muncul bersamaan dengan dirinya dikeluarkan dari kelas agama sebelum pertengahan semester ditahun ketiga perkuliahan bahkan sebelum datangnya mimpi itu, tidak pula mengalami keragu-raguan terhadap keyakinannya. Ia sudah dibaptis, dibesarkan, disekolahkan dan telah lama pula dikukuhkan sebagai seorang katolik.
Katolik adalah satu-satunya agama yang benar setidaknya si bagian selatan Connecticut dengan perkecualian beberapa orang yahudi. Seluruh temannya, tetangga, saudara dan kenalan semua beragama katolik.Tetapi suatu hal menyebabkan terjadinya hal lain. Di permulaan tahun terakhir ia sekolah menengah atas di Notredame, guru agamanya seorang pendeta yang benar-benar baik memutuskan bahwa semua harus meyakini bahwa Tuhan itu Ada. Lalu pendeta itu mengemukakan argumen-argumen mengenai asal - muasal segala sesuatu.
Ketika itu Jeffrey muda adalah seorang pelajar matematika yang sangat pandai dan menyukai logika sehingga ia tidak bisa menahan diri untuk menentang kesimpulan-kesimpulan yang dibuat pendeta.
Dengan kemahirannya berlogika, ia sering mendebat teman-temannya melalui kelompok diskusi theologi. Ketika Jeffrey muda mempertahankan pendapatnya tentang keyakinan dan beragama adalah sebuah kebodohan dan dogma yang tidak masuk akal. Lalu setelah itu ia dikeluarkan dari kelas agama sampai ia merubah sudut pandangnya. Dalam mata kuliah agama Jeffrey mendapat nilai F.
Beberapa hari kemudian pada saat makan malam ia merasa ada baiknya untuk menerangkan kepada kedua orangtuanya mengapa ia gagal dalam mata kuliah agama.
" Bagaimana bisa kamu tidak percaya Tuhan ?" teriak Ayahnya. Ia mengemukakan salah satu prediksinya, " Tuhan akan membuatmu bertekuk lutut, Jeffrey !. Ia akan membuatmu rendah sehingga kamu berharap tidak pernah dilahirkan !".
Jeffrey membalas Ayahnya, "Tapi mengapa ,Ayah ? Hanya karena saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ?".
🍥🍥🍥Demikianlah mulai saat itu. Ia dipandang sebagai seorang atheis di mata keluarga, teman dan rekan sekolah. Anehnya sampai pada saat itu ia tidak meninggalkan kepercayaannya pada Tuhan. Ia hanya mempertahankan argumentasinya di kelas agama katolik di perkuliahannya.
Setelah menyelesaikan studi di Connecticut, Jeffrey Gibs menikah. Ia pindah di West Lafayette Indiana sehingga ia dapat mendaftarkan dirinya ke program pasca sarjana Universitas Purdeue. Meskipun baru menikah ia menyadari bahwa pernikahannya bukanlah suatu komitmen yang permanen dan bahwa ia akan mengakhirinya secara baik-baik jika ada kesempatan-kesempatan yang bagus muncul.
Jeffrey dan istrinya hanya saling berteman, tetapi tidak ada nafsu dan selanjutnya tiga tahun kemudian ia bercerai secara baik-baik.Kehidupan yang hampa pasca perceraian ia alihkan perhatiannya pada karir. Memiliki ijazah pasca sarjana Matematika ia bertekad mengambil Doktor. Dan tibalah saat itu setelah berjam-jam mempertahankan disertasi program doktornya di hadapan para penguji, ia menunggu kabar itu di luar saat panitia penguji mengambil keputusan. Pintu itu dibuka dan ia disambut dengan ucapan selamat.
"Selamat DR. Jeffrey Gibs !".
Jeffrey berjalan dengan penuh sukacita menuju apartemennya. Jeffrey Gibs memilih Canada untuk mengembangkan karirnya. Tepatnya di Universitas McGill. Ia diterima sebagai pengajar tetap di sana.
Author :
Alhamdulillah bisa apdet setelah terakhir bulan april 2018 lalu....dan lebih dari setahun pula...mohon maaf pembaca setiaku dan new follower watty-ku @fatatym, semoga bisa istiqamah updet dan rampung cerita ini.....🙏🙏🙏
![](https://img.wattpad.com/cover/78449480-288-k448871.jpg)
YOU ARE READING
ISTIKHARAH CINTA
SpiritualBlurb: "Berpihak pada isyarat langit adalah suatu ikhtiar pada hati seorang hamba yang diliputi suatu keraguan, rasa takut dan ketaatan pada sang pemilik hati yang hening dan bening dari nafsu maupun ego. Termasuk cinta. Kepada siapakah cinta diper...