chapter 4 -Senandung rindu-

1.1K 24 4
                                    

Tak terasa waktu berlalu sejak peristiwa itu. Syarifah terpaku, sesenggukan, menerima kenyataan Fadhol mengurungkan niat untuk mengkhitbahnya. Bagai runtuh langit saat itu. Pupus harapan, hilang harga diri, lenyap kepercayaan diri. Ia tertatih menggambar sisa - sisa harapan menghadapi masa depannya.
Dalam hati dia berkata,

"Aku harus move on. Hidup tak sepanjang tongkat penggalah. Aku tak mau menyerah pada takdir ini. Aku akan berikhtiar menggapai takdir terbaikku. Aku harus melangkah melihat lintasan masa lalu untuk membuat sketsa masa depan ".

Teheran, musim gugur 2012

Inilah negeri penuh warna. Musim gugur yang indah. Orang - orang terutama anak - anak meneriakkan kata untuk menyambut pelangi.
"Ranggin kaman ! ranggin kaman !" . Ada Pelangi, Ada Pelangi.

Akupun bergabung dengan mereka, menatap langit dari halaman belakang tempat tinggal kami, sebuah kompleks apartemen setengah kusam di jalan Sazman Barname, Teheran. Kami sama - sama mengungkapkan kekaguman kami pada keindahan sang pelangi. Keindahan yang jarang kami lihat karena hujan yang mengantarkan pelangi biasanya hanya turun di kota Teheran pada musim gugur.

Aku tiba di Iran beberapa bulan yang lalu, karena mendapat beasiswa S2 dari pemerintah Iran. Aku di terima di Fakultas Theologi di Teheran University. Namun sebelum kutempuh studi di kampus ini setahun aku harus mempelajari bahasa Persia di Universitas Imam Khomaeni. Inilah negeri Nasionalis. Ia menggunakan semua bahasa pengantar dengan bahasa Persia. Diwajibkan pula bagi pelajar dan Mahasiswa luar negeri. 

Sejak saat itu pula aku berusaha membiasakan diri dengan begitu banyak hal baru. Mulai makanan, pakaian hingga budaya . Hampir semua aspek kehidupan di negeri ini terasa asing diawal namun perlahan-lahan mulai kelihatan unik dan masing - masing bagaikan salah satu warna pelangi.

Aku masih ingat pada pagi pertama kusaksikan dinegeri ini. Dari jendela mobil yang membawaku ke kota Qom dari bandara Mehrabad, Teheran. Pemandangan yang pertama kutangkap adalah sebuah jembatan kecil menuju ke semacam masjid kubah emas. Jembatan itu kokoh dilatar belakangi cahaya matahari pagi. Kubah emas itu memancarkan kemilaunya, memantulkan sinar mentari. Menurut Sadiqeh, sahabat Persiaku itulah kubah emas yang menaungi makam Sayyidah Ma'shumah salah satu keturunan Nabi Muhammad. Kemudian aku mengetahui bahwa selain ramai diziarahi oleh banyak orang dari penjuru Iran dan bahkan luar negeri, makam Sayyidah Ma'shumah juga menjadi Pusat keilmuan Agama. Banyak majelis - majelis ilmu digelar.

Aku masih menikmati pelangi saat ini. Aroma musim gugur melayangkan kerinduan akan kampung halamanku. Sebuah kota Santri, tempat lahir para Ulama, tempat santri-santri menuntut ilmu. Mengingatkanku pada rumah peninggalan kakekku yang kini ditinggali orangtua dan dua adik laki-lakiku, Hasan dan Ridho. Oh ! sungguh aku rindu mereka. Bulan kemarin waktu ku telpon, mereka berdua di Madrasah Aliyah Program khusus di sebuah Pondok Pesantren, di kota yang sama. Apa kabar mereka ?. 

Ayah dan Ibuku juga yang masih setia menjadi peternak ayam kampung.Meski usaha keluarga kami tidak begitu besar namun dapat menghidupi kami sekeluarga dan barakahnya dapat membiayai studi kami bertiga.
Kini usiaku yang ke 22, kalau di desa tempat tinggalku gadis seusia itu sudah menikah. Aku sendiri hampir menikah, dikhitbah maksudku. Namun karena suatu hal belum jodoh begitu ibu mengatakan. Khitbah itu tidak pernah terjadi .
Aku masih ingat.

" Sudahlah, Nduk ! sing sabar. Iki jenenge takdir. Kalau semakin jauh namanya bukan jodoh. Jodoh itu gampang, mulus, cepat karena dikehendaki oleh Allah".
Aku menangisi nasib dipangkuan ibu. Memohon ampun barangkali sikapku pada ibu ada yang kurang baik menjadi sengkolo, ganjalan khitbah itu. Khitbah kekasihku, Fadhol.
Ibu, demikian sabar engkau menyemangatiku. Aku seperti sekarat saat itu.merasa dibohongi, ditilap, tidak berharga, terbuang.

ISTIKHARAH CINTAWhere stories live. Discover now