Chapter 6 - Naysabur -

573 15 6
                                    

Usai mengunjungi makam Imam Ridho dan sayyidah Ma'shumah kami menyewa taksi untuk pergi ke Naysabur yang berjarak sekitar 125km dari mashad. Benar-benar perjalanan yang panjang namun tak terlupakan. Naysabur merupakan tempat kelahiran tokoh ulama sufi Abul Qasim Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi yang menulis kitab induk Tasauf Risalah Qusyairiyah.

Tanpa ku sangka-sangka, perjalanan menuju Naysabur benar-benar menakjubkan. Matahari yang bersinat cerah. Namun tak cukup panas untuk melelehkan salju. Karena itulah sepanjang jalan, sejauh mata memandang kami menyaksikan padang-padang salju dengan berlatar belakang cemara dan gunung-gunung yang berlapiskanes putih. Tak kalah dengan pemandangan di italia atau swiss.


Di Naysabur ada beberapa situs wisata, antara lain Qadamgah dan makam tiga seniman besar yaitu penyair Ommar Khayyam dan Atthar Neysabur serta seorang pelukis bernama Kamalul Mulk. Menjelang sampai di Naysabur kami melewati beberapa makam Imamzadeh yang dijelaskan sambil lalu ole sopir taksi yang langsung memerankan diri sebagai guide. Dia terlihat bersemangat mendapatkan penumpamg asing. Dengan penuh percaya diri dia mengajakku bicara dalam bahasa Persia dan aku hanya manggut-manggut agar dianggapnya paham. Sesekali menatap Sadiqeh yang bersedia menerjemahkan dalam bahasa inggris.


Sebuah tempat bernama Qadamghah yang berarti 'tempat telapak kaki' tempatnya ini adalah sebuah taman yang ditumbuhi pepohonan berukuran besar dan dialiri oleh mata air yang sangat jernih. Dibagian ujung taman ada sebuah bangunan yang menyimpan sebuah batu yang mencetak bekas tapak kaki Imam Ridho. Menurut riwayat, dalam perjalanannya dari Madinah ke Khurasan Imam ridho berhenti didekat mata air itu untuk menunaikan sholat, secara ajaib tapak kaki beliau tercetak diatas sebuah batu dan batu itu kemudian disimpan Oleh Warga setempat. Kemudian mereka membuat bangunan khusus untuk menyimpan batu tersebut.


Memasuki kota Naysabur yang rindang oleh pepohonan, kami beristirahat disebuah restoran. Menu pilihan kami lagi-lagi kabideh. Restoran Iran memang tidak variatif dalam penyediaan menu makanan. Selain kebab kabideh yang cukup lezat paling2 ada 2-3 menu variasi kebab lain yang rasanya hambar serta ayam yang dimasak dengan kuah tomat. Biasanya dipiring nasi juga disediakan mentega beku dalam bungkusan kecil yang akan segera meleleh saat diaduk dengan nasi hangat. Namun anehnya direstoran ini menteganya disajikan dalam jumlah banyak sepertinya di beli dalam kiloan.

Usai makan kami melanjutkan perjalanan, disebuah tempat kami tiba disebuah persimpangan. Jalan ke kiri menuju makam Ommar Khayyam dan jalan ke kanan adalah makam Athar An Naysaburi dan Kamalul Mulk. Keduanya berupa jalan sempit, namun beraspal dan diapit pohon-pohon rindang. Makam Athar hanya berjarak sekitar sepuluh menit dari persimpangan tadi.
Suasana makam sangat asri.

Di kelilingi pohon-pohon cemara dan dihiasi kolam yang saat ini airnya setengah membeku. Hawa memang terasa dingin meski ciaca cerah. Makam. Penyair itu berada dibangunan segi enam yang beratap kubah warna biru langit. Dibagian bawahnya tertera kaligrafi bertuliskan "laa ilaaha illallahh". Sadiqeh, sahabat persiaku, sambil menggenggam tangan kananku, seakan ingin mentransformasikan aura keagungan Sang Penyair, menhumandangkan bait syair terkenal Athar yang dihafalnya diluar kepala :

Gar Nahan Guy ayan gah bavad, gar ayan guynahan an gah bavad
Her beham juiy chu bichun ast uw, an gah
Az har dou birun ast uw

Kalau engkau mengatakan bahwa Dia itu tersembunyi, maka sesungguhnya ia Maha Nyata
Sesungguhnya ia Maha Ghaib
Tapi bila engkau cari Dia didalam keduanya, Dia pun tiada didalam keduanya,
Karena tak ada yang menyerupai Dia

Mendengar dan memandang Sadiqeh melantunkan Syair itu dengan suara lembut dan penuh penghayatan, aku laksana melihat Rabiah Adawiyah dalam munajat cintanya merayu Sang Maha Cinta.

Setelah melihat- lihat sebentar makam Athar dan Kamalul Mulk kami bergegas ke makam Ommar Khayyam karena hari sudah sangat sore. Kami hanya berfoto-foto sebentat dimakam penyair yang karya legendarisnya "Rubbaiyyat " telah diterjemahkan ke berbagai bahasa didunia. Entah mengapa saya menangkap adanya keterkaitan antara bentuk atap denhan nama "Khayyam " yang berarti tenda.

 Atap yang menaungi makam Ommar Khayyam bagaikan beton raksasa yang menjulang keatas dengan ketinggian sekitar 30 meter. Seolah-olah kini Khayyam memang sedang bersemayam disebuah tenda. Selain sebagai penyair, Ommar khayam sebenarnya juga seorang ahli matematika dan astronomi. Selain menemukan yeori-teori penting dalam aljabar dan melakukan reformasi dalam sistemasi kalender, khayyam sebenarnya yang lebih dahulu mengemukakan teori Heliocentris sebelum Copernicus.

Udara makin dingin, langit sudah gulita, ketika sopir taksi memacu mobilnya keluar kota Naysabur untuk kembali ke Mashad. Salju di kanan kiri jalan yang kami lalui tak lagi terlihat putih karena hari sudah larut. ***

ISTIKHARAH CINTAWhere stories live. Discover now