Thank you for 250 followers :D Happy reading all... semoga masih pada suka sama cerita ini.
***
Seminggu sudah berlalu dari masa-masa berduka yang dialami Oriana atas kehilangan mamanya.
Setelah beberapa hari menginap di rumahnya, Oriana kembali pulang ke apartemen Arga. Papanya mencoba menahannya tapi Oriana menolak. Menghabiskan waktunya di sana justru membuat dadanya makin sesak.
Apartemen Arga memang tidak bisa dikatakan lebih baik dari rumahnya. Tapi minimal di apartemen milik suaminya itu, tidak ada sisa-sisa kenangan Oriana bersama mamanya.
Hidup harus terus berjalan kan? Kalimat itu terus terngiang di kepala Oriana. Meski tanpa mamanya, dia harus tetap melanjutkan hidupnya. Masih ada papanya yang juga membutuhkan perhatian darinya.
***
"Pa ... are you okay?" Sapa Oriana saat memaski ruang kerja papanya di lantai paling atas di salah satu gedung kawasan SCBD.
Pria separuh baya menatap layar iMac-nya dengan kosong. Papa ngelamun... Itu yang tebersit di pikiran Oriana karena panggilannya tidak diacuhkan. Oriana mendekat, menatap sedih pada papanya yang baru saja kehilangan sayapnya. Begitulah perumpamaan yang pernah papa katakan kepadanya; 'Mama itu membuat papa bisa terbang tinggi tanpa takut terjatuh, Na... keberadaan mama di samping papa, membuat sayap papa sempurna.'
Oriana iri setengah mati pada orang tuanya. Mereka mencintai satu sama lain dari muda hingga keriput menghiasi wajah keduanya dan mereka terpisah karena maut yang sudah ditakdirkan.
Kalau nanti dia bercerai, apakah Arga akan merasa kehilangan dirinya? Oriana bertanya getir pada dirinya sendiri.
Arga tidak akan pernah mencintainya jadi tidak mungkin pria itu akan kehilangan dirinya. Segala kebaikan yang diberikan lelaki itu hanyalah sebuah bentuk formalitas karena ikatan mereka sebagai suami-istri. Titik.
Tidak boleh ada harapan untuk Argani Hanan.
Kembali pada papa.
"Papa ..." panggil Oriana.
"Riana?" tanya Papa terkesiap. "Kok kamu nggak ketuk pintu?"
Oriana tertawa, "Aku udah dari tadi lho berdiri di sini. Tapi papa malah asyik ngelamun. Ngelamunin apa sih?"
Mata tua papa terlalu mudah ditebak. Tanpa dia harus menjelaskan Oriana tahu apa yang tengah papanya pikirkan.
"Kangen sama Mama? Aku juga..." sambung Oriana.
"Mama tuh kayak masih ada, Na. Dia cuma lagi pergi sebentar besok pasti pulang," kata Papa tenang.
Oriana mendekat dan memeluk papanya. Sekarang saatnya Oriana yang menghibur papanya sekaligus menjadi sandaran baginya.
"Makan siang bareng yuk, Pa? udah lama kita nggak pergi berdua."
Papa tampak mengerutkan keningnya. Oriana paling anti kalau disuruh datang ke kantor. Tumben sekali anak semata wayangnya itu ada di sini dan apa katanya mengajak makan siang?
"Delivery order aja?" tawar Papa. "Di luar macet dan Papa ada meeting jam dua."
"Masih meeting aja, Pa," goda Oriana. "Wakilin aja sama Om Sindu."
"Kalau kamu mau gantiin posisi Papa atau minimal jadi salah satu dewan direksi, Papa mau pensiun sekarang juga."
Oriana menggeleng, kalau sudah bahas masalah perusahaan pasti ujung-ujungnya dia yang kesindir.
"Atau suami kamu, Na? Papa sudah berniat, ketika kamu menikah dengan Arga. Papa mau menyerahkan perusahaan pada Arga."
"Kok Arga, Pa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oriana's Wedding Diary (Akan Tersedia Di Gramedia 8 Mei 2017)
ChickLitWarning: Sebagian cerita telah dihapus demi kepentingan penerbitan "Kamu boleh mencintai orang lain dan aku nggak akan ngelarang," Oriana menggigit bibirnya. Iya atau tidak sama sekali, pikirannya bercabang. Dia pun memilih untuk hancur, sehancurnya...