Warning: Mohon dibaca dulu ya :D aku akan share empat atau lima bab awal Oriana untuk versi cetak! Bukan repost ya... nanti dibilang PHP. trus tujuannya untuk apa? ya untuk promosi, ahaha. Jadi karena banyak yang tanya Oriana versi cetak beda atau nggak? ya aku jawab, ada yang tetap sama dan selebihnya aku melengkapi yang kurang dari versi wattpad.
Selamat menikmati teaser :) #jangantimpukaku btw PO baru dibuka lho, yuks daftar,ahhah.
***
Oriana's Wedding Diary
A.K
Prolog
Sudah tidak terhitung berapa kali Arga melirik jam tangannya. Mendadak, Sebastian memintanya datang ke kantor karena ada beberapa masalah di bagian keuangan. Sebastian yang ragu untuk mengambil kepastian terpaksa meminta Arga datang.
Akhirnya Arga terlambat menemui Oriana dari jam yang dia tentukan sendiri. Dari kejauhan dia sudah melihat istrinya duduk seorang diri di sudut ruangan, menatap jauh gedung pencakar langit dari balik kaca. Arga berhenti sejenak, menahan napasnya ... ingin dia berlari saat itu juga dan memeluk Oriana.
"Maaf, lama...," ucap Arga saat tiba di meja tempat Oriana berada. Di hadapannya, Oriana memakai dress berwarna pastel, rambutnya sudah tidak sependek saat terakhir kali mereka bertemu. Bagi Arga semua masih sama. Oriana tetap cantik.
Oriana tersenyum tenang dan langsung menanyakan tujuannya. "Kamu sudah siapkan berkas-berkasnya?"
Arga tidak mejawab dan memilih memanggil pelayan untuk memesan secangkir espresso. "Gimana kandungan kamu? Sehat?" Dari semua kekesalan yang paling Arga ingat, Arga masih belum bisa memaafkan Oriana yang menyembunyikan kehamilannya dan menjadi orang terakhir yang tahu.
Oriana tersenyum canggung dan mengelus perutnya. Kandungannya sudah memasuki bulan keempat, dan dia sangat bersyukur karena telah melewati masa-masa awal dengan baik meski tanpa Arga.
"Sehat," jawab Oriana dengan wajah merona. "Kamu gimana kabarnya?" Ini kali pertama mereka bertemu setelah sebulan yang lalu mereka bertengkar hebat dan Oriana memutuskan pergi dari kehidupan Arga.
"Nggak lebih baik tanpa kamu!" Arga memajukan tubuhnya.
Mata Arga menatap Oriana—mencari cinta yang dulu pernah bergelora di mata Oriana ketika mereka masih bersama. "Kamu berhasil bikin aku jungkir balik! Karena ... segalanya berbeda ketika kamu pergi."
Oriana tersenyum. Meski terlambat ternyata usahanya berhasil.
"Aku membatalkan surat perjanjian kita. Aku mau kita tetap menikah."
Di hadapannya, Oriana refleks menggeleng ... untuk semua rasa sakit hati dan kecewa yang dia pernah rasakan. Oriana hanya menginginkan satu hal. Lepas selamanya dari Argani Hanan.
"Tolong, Oriana. Dengarkan aku ... aku mengakui semua kesalahanku! Kamu boleh melakukan apa yang kamu mau, tapi tidak dengan bercerai!"
"Kita sudah sepakat dan kenapa kamu mengubahnya lagi?"
Di bawah meja, tangan Arga mengepal. "Aku harus minta maaf berapa kali biar kamu percaya? Nggak akan ada Ayesha lagi, Oriana. Cuma kamu, aku, dan anak kita."
Oriana menarik napasnya. "Aku udah maafin kamu, Ar. Tapi aku nggak bisa lupa ... tiap ingat semuanya, aku takut! Aku nggak mau sakit lagi. Aku mau bahagia, meski itu tanpa kamu, meski aku pernah cinta sama kamu."
Wajah Arga mengeras dan dipenuhi emosi. Di hadapannya Oriana dengan santai menyesap minumannya setelah dia menyelesaikan ucapannya.
"Maafin aku. Suami kamu ini emang nggak peka! Dan aku butuh kamu, Oriana."
Pilihan Oriana masih sama ... dia tidak ingin menyiksa dirinya lebih lama lagi dan hidup dalam ketakutan kalau sewaktu-waktu Ayesha akan kembali lagi dalam pernikahan mereka. Cukup sudah kesempatan yang diberikannya pada Arga. Jika melepaskan adalah yang terbaik, Oriana pun berusaha menguatkan hatinya.
"Jadi, kamu benar-benar ingin kita tetap berpisah?"
Tanpa berpikir lagi, Oriana mengangguk. "Aku capek, Ar! Aku mau hidup bahagia. Kamu juga, kan?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Oriana's Wedding Diary (Akan Tersedia Di Gramedia 8 Mei 2017)
Chick-LitWarning: Sebagian cerita telah dihapus demi kepentingan penerbitan "Kamu boleh mencintai orang lain dan aku nggak akan ngelarang," Oriana menggigit bibirnya. Iya atau tidak sama sekali, pikirannya bercabang. Dia pun memilih untuk hancur, sehancurnya...