Fifteen

1K 101 20
                                    

Aku berlari menuju jembatan terdekat disini. Langkahku tidak beraturan. Aku terjatuh berkali-kali dengan air mata yang terus menerus mengalir. Tapi aku tidak peduli. Aku harus bertemu dengan Louis.

Malam yang dingin itu menciptakan kabut disekitar jembatan. Semakin aku berlari mendekat, semakin jelas aku melihat seseorang yang tengah diikat.

"LOUIS!" Teriakku. Aku berlari lebih cepat. Tapi aku melihat beberapa orang yang tidak ku kenal disekitar Louis; mereka memukuli Louis!

"Lihatlah nak, tamu spesialmu sudah datang" Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku melihat Louis yang diikat dengan seutas tali, wajahnya berwarna ungu-merah-biru bagaikan galaksi. Cairan berwarna merah pekat mengalir dari bibir ke dagunya. Dengan cepat aku langsung berlutut; menyamakan tinggi dengannya yang terduduk lemas.

"Louis, apa yang terjadi?" aku tidak mampu membuat suara yang keras, aku hanya mampu berbisik.

"T-tidak ada." Ucapnya tak berdaya. Hatiku sangat sakit melihatnya.

Kenapa harus Louis?

Kenapa harus louis yang dipukuli?

Kenapa tidak aku?

"Pak tua itu benar, melihat dua orang pria saling mencintai itu menggelikan." Aku langsung menoleh begitu mendengar salah satu dari ketiga orang itu berbicara. Badannya tidak bagus. Hanya beberapa tato dan perut buncit yang menghiasi tubuhnya, juga sebuah botol bir yang masih penuh.

"Apa kau bilang?" aku mengatup rahangku dan langsung berdiri, "Yang menggelikan itu perut buncitmu, keparat!" Aku mendorongnya dengan kuat dan memukulinya. Sampai-sampai ia tidak mampu melawan. Sosok preman hanya istilah dari gayanya saja; ia bahkan tidak mampu berkelahi! Aku mengambil botol bir itu dan memecahkannya tepat dikepalanya. Darah segar mengalir di kepalanya. Matanya terbuka lebar seperti meminta tolong, mulutnya juga terbuka lebar seperti habis melihat setan, dan tubuhnya dingin seketika. Ia sudah mati.

Aku baru saja membunuh seseorang!

Aku tak peraya aku telah membunuhnya hanya dengan beberapa pukulan kecil! Dan aku lebih tidak percaya dua orang lainnya bahkan tidak membanntu pria gendut ini sedikit pun!

"Ya sudahlah. Lagipula kami membenci Erick, ataupun merk bir yang ia beli." Ucap seseorang dengan bandana berwarna hijau dikepalanya. "Yah, paling tidak kami telah menyelesaikan tugas dari pak tua itu." Ucapnya.

"Tugas apa?"

"Bukan urusanmu, bocah homo."

"Tentu saja ini urusanku!" Aku menarik rahang bawahnya. Aku tidak marah dia bilang aku 'bocah homo' atau yang lainnya. Karena itu memang aku.

Tapi aku marah jika dia bilang ini bukan urusanku!

"Beritau aku, atau aku akan membuat nasibmu sama sepertinya!" Seruku sambil menunjuk pria yang baru saja kubunuh.

"Baiklah, tapi lepaskan dulu." Ucapnya, "Anak jaman sekarang, berani sekali menggertak orang tua." Gumannya pelan, walau aku masih bisa mendengar.

"Jadi pak tua yang kaya ini memberi kami perintah untuk memberi pelajaran kepada bocah lemah itu, aku sendiri tidak tau kenapa. Tapi dia memberikan uang yang banyak. Yah, terima kasih juga karena kau telah membunuh Erick, jatah kami tidak jadi dibagi tiga." Ucap pria itu sambil tertawa terbahak-bahak, disertai temannya dibelakang.

"Siapa 'pria kaya' itu?" Tanyaku geram.

"Hmm.. aku tidak tau namanya. Hey Jonny, kau tau nama pria itu?" Tanyanya pada temannya yang cungkring itu.

"Sorry bro, aku tidak ingat. Erick yang tau."

"Apa!? Jangan bercanda!" Seruku.

"Akan ku cari tau asalkan kau berani membayar." Ucap temannya.

"Aku akan bayar dengan nyawamu!" Seruku lalu mendorongnya ke ujung jembatan, satu dorongan lagi, dia akan jatuh dan mati di atas batu tajam.

"Baiklah! Baiklah! Namanya Richard Cox! Dia seorang pengusaha kaya. Jangan bunuh aku!"

"Sialan! Sudah kuduga!" Seruku lalu melempar orang itu ke tengah jembatan.

"Pergi." Ucap ku. Kedua orang itu pun langsung berlari menjauh.

"H-harry.." Aku langsung tersadar dan berlari melepas tali yang mengikat tangan Louis.

Ia berusaha untuk tidak menangis, tapi air mata tetap mengalir deras melewati pipinya.

"Jangan lihat aku.." bisiknya lemah.

"Jangan bicara begitu.." balasku sambil memegang pipinya dengan kedua telapak tanganku.

Apa saja yang sudah mereka lakukan kepada Louis?

"Kita akan kerumah sakit sekarang."

"Tidak perlu, Harry. Aku baik-baik saja."

"Tidak, kau harus kerumah sakit." Ucap ku sambil menggendongnya di punggungku.

"Sungguh tidak apa.."

"Berhentilah bicara, Loueh."

"Baiklah, terima kasih, Harreh." Louis pun berhenti bicara, tapi ia masih memeluk leherku selama perjalanan menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari jembatan tadi.

***

Gays (lol) maaf kan karena diriku lama sekali update nyaaa :( Q jarang buka wattpad sekarang.

It's almost five months since the last update, i'm sorry :( soalnya otak gue stuck sekali hehe + gue lagi into anime h3h3. Untuk chap berikutnya gue usahain lusa (kalau ingat soalnya Q mau ke j-fest hehe//gak)

Btw baterai Q sisa 3% hehe. See ya @ next chapter.

Lots of love, Raisa Stylinson.

Secret Little RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang