23• Happily

255 10 8
                                    

Priza menunggu di depan papan mading dengan cemas. Di depannya masih banyak orang berebutan untuk melihat hasil kerja dari apa yang mereka perjuangkan sampai D3 ini.

Dari arah kanan, terlihat Alvis berjalan santai menuju papan mading. Matanya melihat ke arah kerumunan orang lalu beralih menatap Priza yang berada di belakang mereka sambil badannya terlihat seperti pompa ban sepeda, naik-turun-naik-turun begitu berulang-ulang. Dan menurut Alvis itu lucu.

"Oy!" Sapa Alvis, menepuk pundak Priza pelan, yang ternyata membuat Priza mengeluarkan sumpah serapahnya.

Kemudian Alvis melihat mulut Priza tengah komat-kamit seperti dukun. "Lo belum liat pengumumannya?"

Priza menggeleng sebagai jawabannya. Dan sekarang di depan papan mading hanya tinggal Priza dan Alvis. Priza melangkah ke depan namun langsung membalikkan badannya lagi. "Gu-gue takut, Vis."

Alvis tersenyum mengerti, "Yaudah gue aja yang nyari nama lo di urutan ke berapa, sekalian nyari nama gue."

Alvis berjalan dua langkah ke depan, baru saja Alvis berhenti dirinya sudah melihat nama Priza. "ANJIR!"

Mendengar respon Alvis, Priza langsung menoleh ke arah kiri dimana Alvis berdiri berlawanan arah dengannya. "Ke-kenapa?"

"Liat aja sendiri." Tukas Alvis menunjuk lokasi terteranya nama Priza dengan jari telunjuknya.

Priz akhirnya membalikkan badannya sehingga ia menghadap papan mading dan melihat ke arah yang ditunjuk Alvis. Mata Priza langsung membulat dan ia menarik nafas dalam. Kemudian langsung memeluk Alvis refleks. Alvis sempat tersentak dengan perilaku Priza, namun ia membiarkan Priza tetap memeluknya walaupun tangannya tidak membalas pelukan Priza. Sepersekian detik kemudian, Priza tersadar dan melepas pelukannya. "Sorry, Vis. Refleks."

Alvis hanya tersenyum dan membalas perkataan Priza singkat, "Gapapa."

"Masalahnya gue gak pernah meluk cowok selain ayah gue." Priza kembali komat-kamit gak jelas namun ternyata Alvis dapat membaca apa yang diucapkan tanpa suara oleh Priza.

Alvis terkekeh sebentar, "Ya, gapapa kali, Za. Gue kan first kiss lo, nah sekarang gue first hug lo juga. Duh, kenapa ya Mama gue ngelahirin anak sekece gue yang bikin kaum hawa layaknya magnet, nempel terus ke gue."

Priza menirukan gerakan muntah. Kemudian melihat ke papan mading lagi. "Ini beneran nama gue kan?"

"Iya Pri, lo dapet IPK dan TOEFL tertinggi di jurusan lo. Hm, tapi sayangnya-" Alvis sengaja menggantungkan kalimatnya membuat Priza menaikkan kedua alisnya dan menyahut, "Sayangnya?"

"Untuk paralel, lo di bawah gue." Sambung Alvis seraya menunjuk kertas pengumuman paralel dimana posisi Priza kedua dan Alvis pertama. Mata Priza yang mengikuti gerakan jari telunjuk Alvis pun membulat kembali. "Tahik! Gue gak terima!" Umpat Priza.

"Ey, languange please." Ucap Alvis mngingatkan. Priza langsung melirik Alvis tajam. Setahu Alvis, Priza kalau sudah marah itu bahaya dan menyeramkan. Darimana Alvis tahu itu semua? Jawabannya dari Shilfa. Ya, semenjak pertemuannya dengan Shilfa dan Priza di mall itu, Alvis meminta nomor Shilfa dengan langsung merebut ponsel Shilfa tak peduli sang pemilik mencak-mencak. Kemudian sepulangnya, Alvis langsung men-chat Shilfa namun karena tidak ada topik akhirnya Alvis memilih untuk menggibah Priza.

Setelah itu lah dia tahu beberapa sikap Priza termasuk aura menyeramkan kalau ia lagi marah. Tapi mana mungkin Priza marah hanya karena peringkat Alvis berada di atasnya. Priza menghadap kanan ke tempat Alvis sekarang, lalu menunjuknya tepat di batang hidung mancungnya sambil tetap menatapnya tajam. Priza melangkah ke depan, Alvis dengam refleks mundur ke belakang. Oke, sekarang Priza memang terlihat menyeramkan.

Le-tititaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang