Delapan

1.9K 106 1
                                    

Shilla membuka pintu mobil Zahra dengan malas. Mobil itu kini berhenti tepat di depan rumah Shilla setelah sebelumnya mengantarkan Zevana pulang. Matanya masih mengantuk karena pulang dari Bandung dini hari. Mereka bertiga sempat bertukar posisi sebagai pengemudi beberapa kali karena tak kuat menahan kantuk. Liburannya bersama dua orang temannya harus berakhir lebih cepat. Tengah malam orang tua Zahra yang menelpon meminta Zahra segera pulang pagi itu juga dengan karena neneknya masuk rumah sakit dan mereka harus ke Surabaya.

"Makasih Ra. Hati-hati ya". Zahra hanya mengangguk dan segera melajukan kembali mobilnya.

Jam tangganya masih menunjukkan pukul 04.15 pagi saat Shilla berada tepat di depan pintu rumahnya. Dia mengetuk pintu beberapa kali tapi tidak ada respon dari penghuni rumah.

"Ify ke mana deh.. Si bibi juga mana lagi"

Tangannya mencoba membuka handel pintu. Ternyata tidak dikunci. 'jangan-jangan ada maling lagi', pikirnya.

Dengan hati-hati dia melangkah masuk. Saat menyalakan lampu, ia begitu terkejut melihat ruang tamunya yang berantakan. Dengan sedikit ragu, ia melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah. Ia menemukan sepasang sepatu yang tak ia kenal. Itu jelas bukan sepatunya ataupun sepatu Ify. Ukurannya 43, terlalu besar untuk mereka berdua. Ia melihat seperti ada orang yang sedang tidur di sofa ruang tengahnya. Kepalanya tertutup selimut biru muda. Shilla kembali menerka-nerka. Ia mencoba menyibakkan selimut itu pelan-pelan. Namun, belum sempat ia membukanya, ada gerakan menggeliat dari balik selimut itu.

"Aaaaaaaaaaa!!".

Shilla reflek berteriak dan mundur ke belakang. Ia sudah bersiap dengan sapu ditangan kanannya. Seseorang di balik selimut itu bangun karena mendengar teriakan Shilla. Matanya belum terbuka sempurna, apalagi ruangan itu masih remang karena lampunya belum dinyalakan. Shilla segera maju dan memukul orang yang masih berselimut itu dengan sapu yang dibawanya.

"Woy! Sakit. Sakit. Aduuuh!"

Shilla seperti mengenal suara itu. Ia menghentikan pukulannya dan menyalakan lampu ruang tengah.

"Heh, sipit! Ngapain lo tidur di sini?"

***

"Gue masih ngantuk. Lo apaan sih?"

Rio mengomel pada orang di seberang telfon yang sudah membangunkannya pagi-pagi. Jika saja orang tersebut ada di depannya saat ini pasti sudah ia lempar dengan bantal tepat di wajahnya.

"Ayolah Yo. Bantuin gue"

"Gue mager banget hari ini Yel. Lo kan tau kemaren gue capek banget abis nungguin nyokab nyalon lama banget. Mana abis itu lo ngajak nongkrong sampe malem lagi. Besok aja kenapa Yel", ucap Rio malas-malasan.

"Yah Yo, masa gue cuma sama Ify. Gue masih butuh bantuan tenaga cowo Yo"

"Eh, Ify?" gumam Rio. Ia berpikir sejenak. "Kayaknya gue nganggur juga Yel hari ini nggak ngapa-ngapain di rumah. Yaudah deh gue bantuin lo."

"Nah, gitu kek dari tadi. Gue ke rumah lo jam 7 ya. Thanks Yo. Bye"

Setelah menutup telfonnya, Rio segera beranjak dari tempat tidurnya. Niatnya untuk melanjutkan tidur sambil menunggu waktu subuh sudah lenyap. Padahal biasanya ia akan mendekam di balik selimut sampai adzan subuh benar-benar terdengar meski ia telah bangun sebelumnya. Pemuda itu segera mengambil handuk dan menuju kamar mandi.

Badannya kini lebih segar. Setelah berganti pakaian, ia turun ke lantai satu sambil bersandung kecil. Papanya heran melihatnya.

"Tumben kamu Yo udah bangun. Udah mandi lagi. Biasanya harus ditarik-tarik dulu. Padahal Papa baru aja mau bangunin buat shalat subuh jamaah."

"Weits. Papa harusnya bangga dong, anak Papa yang ganteng ini berubah ke arah yang lebih baik. Iya nggak Ma?", jawab Rio sambil menoleh ke arah mamanya yang baru keluar dari toilet.

***

Ify dan Via terbangun karena mendengar keributan di bawah. Keduanya segera turun karena khawatir terjadi apa-apa. Sesampainya dibawah mereka terkejut melihat memar di wajah Alvin.

"Lah? Kak Shilla kok udah pulang?", pandangan Ify kini beralih ke arah Shilla yang masih setia dengan sapu di tangannya.

"Zahra ada urusan mendadak."

"Oohh. Terus kok kak Alvin jadi bonyok gitu?", timpal Via. Ia sedikit prihatin juga melihat kakak kelasnya itu terlihat kesakitan, meskipun biasanya mereka jarang akur.

"Gue kira maling. Abis ruang tamu berantakan banget. Mana pintu depan nggak dikunci lagi." Baru saja Alvin akan membuka mulutnya, Shilla lebih dulu mengambil alih.

"Jahat lo Shil. Badan gue jadi sakit semua gini", keluh Alvin sambil memegangi wajah dan tangannya yang kini sedikit membiru. Shilla hanya nyengir merasa bersalah sambil menangkupkan kedua tangannya.

"Eh Fy, kok pintu depan nggak dikunci sih? Trus si bibi mana?". Shilla kembali melontarkan pertanyaan yang menurutnya janggal. Masih terlalu pagi tapi pintu rumahnya tidak terkunci.

"Ini kan hari Rabu kak, jadwalnya si bibi ke Pasar Pagi belanja sayur. Lagian ada kak Alvin di bawah."

Pasar Pagi adalah nama sebuah pasar yang khusus menjual sayur-mayur segar yang hanya buka hari Rabu dan Sabtu dari pukul 2 sampai 6 pagi. Ah, Shilla lupa itu. Jadwal rutin si bibi yang tak pernah terlewat setiap pekan. Sepertinya perjalanan Bandung-Jakarta dini hari yang baru saja ia jalani membuatnya sedikit bermasalah.

"Trus Vin. Kok lo bisa tidur di sini?"

"Semalem kak Alvin nganterin brownis dari tante Nia kak. Tuh masih ada di kulkas", jawab Ify. Gerakan kepalanya mengarah ke dapur. "Trus semalem ujan deres banget  dan kak Alvin bawa motor, jadinya dia nginep sini", lanjut Ify. Ia menjawab pertanyaan Shilla karena melihat Alvin yang masih sibuk dengan memar di tangannya.

"Iya, tadi sebelum pergi si bibi pamitan kok sama gue. Terus gue tidur lagi", tambah Alvin.

"Alaaah, si sipit modus tuh Fy. Udah tau sekarang musim ujan, eh bawa motor", timpal Shilla.

"Enak aja lo Shil", sahut Alvin sambil bersungut-sungut. Shilla, Ify, dan Via kompak tertawa melihat ekspresi Alvin yang marah sambil kesakitan. Lucu tapi kasihan.

***



Hai, terima kasih sudah membaca cerita ini.

Maafkan jika banyak typo bertebaran.

DEKAT (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang