Empat Puluh Tiga

917 80 5
                                    

Rio baru saja memarkirkan motornya saat sebuah seruan membuatnya segera mempercepat langkahnya. Suara yang tak asing baginya. Tanpa melepas helm, Rio melangkah cepat menuju kamarnya.

"Rio! Jam berapa ini? Kenapa baru pulang?"

Rio menoleh ragu. Kini ia sudah bersiap dengan segala risiko yang akan terjadi, terlebih saat ia pulang dalam keadaan seperti ini.

"Itu kenapa helm nggak dilepas?"

Rio bergeming. Tangannya menahan mamanya yang kini telah bersiap mengangkat helm dari kepalanya.

"Jangan mah", cegah Rio.

"Buka Yo!"

Rio yang masih berusaha mempertahankan helmnya akhirnya kalah juga ketika mamanya menatapnya tajam. Dengan penuh ketidakrelaan, ia terpaksa membiarkan mamanya menarik helm dari kepalanya.

"Rio! Astagaaa!", teriakan itu sontak membuat Rio menutup kedua telinganya.

"Ini kenapa bonyok gini? Kamu ikut tawuran di mana?"

Rio masih diam dengan sedikit meringis karena mamanya dengan tak berdosanya menekan-nekan wajahnya yang memar.

"Makanya kamu tuh cari temen yang bener, kayak Gabriel gitu. Anaknya sopan, kalem, nggak macem-macem". Mama Rio masih terus memberikan ocehannya sambil memegang wajah anaknya yang malang itu.

'Mama nggak tau aja gue bonyok gini karena berantem sama Gabriel', gerutu Rio dalam hati.

"Yaudah sana kamu ganti baju, mandi, terus mama obatin lukanya"

Rio mengangguk patuh, ia tak ingin menambah kuota dimarahi sore ini.

Sesampainya di kamar, Rio melempar asal tasnya. Alih-alih bergegas membersihkan diri, pemuda itu malah merebahkan badannya di kasur. Tangannya ia rentangkan hingga memenuhi sisi kanan dan kiri ranjang.

"Coba gue tau lebih awal kalau Gabriel itu kakaknya Ify, kan bisa gue baik-baikin dulu si Iel", gumamnya sambil terpejam.

"Lagian Gabriel kampret bener, bukannya bilang dari awal. Kenapa coba harus dirahasiain segala", ucapnya geram hingga tangan kanannya memukul kasur.

Setelah itu ia mengacak rambutnya frustasi. Tak lama, ia meraih tas yang tadi terlempar ke ujung kasur. Tangannya merogoh isi tas, mencari benda persegi panjang.

Setelah menemukan apa yang ia cari, tangannya segera mengetikkan beberapa kalimat di sana.

"Ah, semoga Ify maafin gue"

***

"Kok nganterin aku pulangnya pakai mobil? Tadi jemputnya pakai motor?"

Ify bertanya saat Alvin membukakan pintu mobil untuknya.

"Takut hujan", jawab Alvin singkat. Setelahnya, pemuda itu segera beranjak menuju sisi kemudi.

Ify menggelengkan kepala menatap Alvin yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Takut kok sama hujan. Takut mah sama Tuhan", celetuk Ify.

Alvin menoleh, menatap Ify gemas. Tangannya dengan mulus mendarat di kepala Ify dan memaksanya menghadap ke arahnya.

"Pinter banget. Siapa sih yang ngajarin?"

Deg

'Kak Alvin rese! Kenapa liatnya gitu sih. Aku kan bisa baper lagi. Kesel!'

Ify melepas paksa tangan Alvin dari kepalanya.

"Udah ah. Buruan jalan", ucap Ify untuk menutupi kegugupannya.

DEKAT (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang