Lima Puluh (Last Part)

1.7K 106 54
                                    

Seusai Rio mengakhiri siaran ilegalnya yang cukup menghebohkan warga sekolah, Ify berniat menemui pemuda itu di ruang siaran yang hanya berjarak 3 ruangan dari ruang redaksi. Sungguh, ada yang harus ia sampaikan pada kapten basket sekolah itu saat ini juga.

Namun, belum juga langkahnya bergerak maju, seseorang yang ingin ditemuinya itu sudah berada di ambang pintu. Ify mundur beberapa langkah, memberi akses jalan Rio untuk masuk ke ruangan. Zahra melihatnya dengan seksama. Gadis itu jelas penasaran, tapi memilih untuk diam, bertahan duduk pada kursi di ujung ruangan.

"Fy, aku..."

"Bentar kak. Aku harus ngomong ini", Ify segera memotong kalimat Rio.

Pemuda itu terdiam. Apa ini tanda dari sebuah penolakan? Ia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Dilihatnya Ify kini seolah sedang menyiapkan kata untuk diucapkan.

"Kak, makasih buat lagunya", ucap Ify membuat Rio tersenyum.

"Tapi maafin aku", lanjut Ify yang sukses membuat senyum Rio memudar.

Rio menatap Ify was-was menunggu kalimat lanjutan dari gadis itu. Ia jelas penasaran, tapi juga tak siap dengan jawaban terburuk yang mungkin ia dapatkan.

"Aku nggak bisa jawab sekarang. Nggak saat ini dan nggak di sini". Ify mengakhiri ucapannya.

"Oke. Nggak papa. Mungkin kamu perlu waktu juga", ucap Rio.

Ify mengangguk lega saat merasa Rio mengerti maksudnya.

"Kalau gitu, nanti malem jam tujuh aku tunggu kamu di tempat kita neduh pas hujan waktu itu", lanjut Rio.

Ify langsung membulatkan matanya. Bukan ini yang ia maksud. Tidak saat ini dan tidak hari ini.

"Tapi kak. Ada yang harus aku selesaiin nanti malem", Ify berusaha menolak. Gadis itu nampak bimbang.

"Nggak papa aku tunggu. Tempatnya buka 24 jam. Selama belum ganti hari, aku bakal tetep di sana nunggu kamu", ucap Rio meyakinkan.

Setelah berucap demikian, Rio pamit pergi, meninggalkan Ify dengan segala kebimbangannya.

Ify bersyukur setidaknya di ruang redaksi hanya ada dirinya dan Zahra. Tapi, ia seakan tak sanggup kembali ke kelas saat ini, mengingat seluruh siswa bahkan mungkin guru mendengar saat Rio menyatakan perasaannya melalui radio sekolah. Rasanya ia ingin menghilang dulu untuk sementara, namun ulangan biologi bersama Bu Aida setelah jam istirahat pertama membuat rencana kaburnya gagal seketika.

Ify memilih meninggalkan ruang redaksi setelah bel berbunyi lewat dari lima menit. Alasannya jelas, ia tak ingin mendapat tatapan penuh tanya dan pusat perhatian saat melewati koridor menuju kelasnya. Ia berjalan sedikit terburu, namun seketika langkahnya melambat saat melihat seseorang berjalan menujunya dari arah yang berlawanan.

Ify menghentikan langkah kakinya, saat seseorang itu tepat berdiri di hadapannya. Mereka seakan bicara lewat isyarat mata, sebelum salah satu di antaranya akhirnya buka suara.

"Gimana?", tanya seseorang itu.

"Aku bakal tetap nepatin janji. Kak Cakka tenang aja", jawab Ify.

Cakka mengangguk, membuat Ify sedikit merasa lega, meski masih ada yang mengganjal di hatinya. Setelahnya, Ify pemit pergi, meninggalkan Cakka yang masih menyimpan beberapa pertanyaan di kepala.

***

Ify masih tidur-tiduran di kasurnya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dinding sampingnya. Matanya menatap jam dinding di depannya yang sudah menunjukkan pukul 19.18 WIB.

"Pergi nggak ya?", gumamnya penuh kebingungan.

Sebetulnya gadis itu sudah rapi sejak tadi. Tapi, rasa berat dan ragu tiba-tiba menghampirinya. Ia kembali melihat ponselnya dan membaca sebuah pesan di sana.

DEKAT (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang