Dua Puluh

1.7K 116 3
                                    

Senin pagi, awal semester baru. Tak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya bagi Shilla, kecuali mulai hari itu ia dan Ify harus menggunakan jasa supir. Hal ini jelas sedikit banyak merugikan bagi Shilla mengingat ia tak lagi bisa bebas pergi ke mana-mana.

Shilla sudah siap di kursi belakang sambil menunggu Ify yang masih sibuk dengan sepatunya. Di kedua telinganya, telah terpasang earphone.

Pintu belakang mobil terbuka, disusul dengan sosok Ify yang kini duduk manis di sebelah Shilla.

"Pagi kakaknya Ify...", gadis manis itu menyapa Shilla dan mengecup singkat pipi Shilla disertai senyum yang mengembang.

Shillla menatap Ify heran. 'Ini anak kenapa sih? Kemarin ngurung diri di kamar seharian, sekarang kok malah kayak orang kelebihan vitamin gini?'

"Fy?"

"Ya?", Ify memutar tubuhnya menghadap Shilla.

"Kamu sehat?", Shilla masih menatap Ify penuh tanya sambil menempelkan telapak tangannya di dahi Ify.

"Kok nanya gitu?"

"Nggak. Aneh aja"

Ify menaikkan sebelah alisnya. Tatapannya dipenuhi tanda tanya dengan pernyataan Shilla barusan.

"Udah lupain aja", sergah Shilla sebelum Ify kembali melontarkan pertanyaan. "Yuk Pak, jalan", sambungnya pada supir barunya.

***

"Nungguin siapa?"

Via terlonjak kaget saat terdengar suara bariton menyapanya. Tubuhnya ia putar ke samping untuk melihat siapa orang yang barusan menepuk pundaknya. Matanya menangkap seseorang yang kini menyandarkan sebelah bahunya di dinding dan menatapnya dengan wajah datar yang menurutnya membosankan.

"Apaan sih kak Alvin liatin gue kayak gitu? Kalau lo suka sama gue kan bahaya"

Alvin memutar bola matanya malas. Ia kini menegakkan tubuhnya dan menepuk kepala Via dengan buku catatan yang ada di tangannya.

"ish. Lo mah irit ngomong tapi langsung main fisik ya?", Via mengusap-usap kepalanya yang barusan menjadi sasaran Alvin. "Eh, eh. Itu mata nggak usah sok melotot gitu! Kalau sipit mah sipit aja", sambungnya.

"Heh! Nyadar, lo juga sipit!"

"Enak aja. Mata gue tuh nggak sipit ya, cuma kurang gede aja", elak Via.

Alvin tak terlalu mempedulikan jawaban gadis berpipi chubby itu. Ia malah melongokkan kepalanya ke dalam kelas Via. Kursi-kursi yang yang ada di dalamnya masih kosong. Hanya terlihat beberapa tas di atas meja yang sedang ditinggal penghuninya ke luar kelas.

"Ngapain? Nyari Ify? Belum dateng dia"

Alvin menarik tangan Via memasuki kelas dan duduk di kursi barisan kedua paling kanan.

"Gue bukan nyari Ify. Gue nyari lo"

Via memandang Alvin heran. Tapi ia memilih diam sampai Alvin melanjutkan kalimatnya.

"Gue udah lama sih mikirin ini", Alvin memberi jeda sejenak. "...dan ya, setelah gue pertimbangkan baik-baik...", Alvin menarik napas panjang sebelum kembali bersuara. "Gue mau nembak..."

"Jangan bilang lo mau nembak gue kak! Plis jangan! Urusan lo sama duo kakak adik itu aja belum beres. Aduh, gue nggak mau ya dibilang nikung temen...", potong Via. Gadis itu terus berceloteh dengan dramatis, hingga tatapan tajam Alvin menghentikan ucapannya.

Via meringis sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya sebagai isyarat damai.

"Abis lo bertele-tele banget sih. Gue kan gregetan kak dengerinnya", omel Via.

DEKAT (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang