Via telah siap dengan penampilan sederhananya untuk bertemu dengan Cakka. Saat membuka pintu, Via berharap apa yang ia lihat tidaklah nyata. Via kira kejadian tadi pagi hanyalah mimpi semata. Tetapi kini Via melihat Alvin duduk santai di kursi panjang teras kost sampingnya sembari memakan cookies. Via mendesah kecewa.
"Mau kemana, Vi?" tanya Alvin tanpa beranjak dari posisinya.
"Jalan sama teman."
"Siapa?"
"Bukan urusan lo." dikuncinya pintu kost.
"Jelas jadi urusan gue saat lo berstatus sebagai cewek gue." Alvin berjalan ke tembok penyekat.
"Ck," Via berdecak. "Cuma pura-pura ya, Vin. Tolong jangan bersikap seolah-olah lo itu beneran pacar gue."
"Lo kenapa sih, Vi? Lo masih marah karena gue pindah di samping kostan lo?"
Via mengibaskan tangan tak peduli lantas berlalu dari hadapan Alvin. Meninggalkan Alvin yang mengernyit bingung.
***
Berjalan bersisian di jalan setapak sebuah taman, dinaungi jutaan bintang, di tengah temaram lampu malam, diantara deru kendaraan yang berlalu-lalang, tampak senyum Cakka dan Via yang merekah bahagia. Tanpa gandengan tangan, tanpa tatapan memuja, tanpa rayuan sekedar bualan, keduanya dapat merasakan perasaan unik lebih dari seorang teman. Hanya saja keduanya terjebak dalam ruang gelap berpenyekat bernama kenyataan.
Via dengan setumpuk rasa kecewa setelah mendiktekan dirinya menjadi pacar pura-pura Alvin. Dan Cakka dengan setumpuk penyesalan karena keterlambatannya mengungkapkan, juga ketidakberhasilannya menjaga Via dari pembalasan dendam yang ia sebabkan.
"Hh. . ." deru nafas Cakka memecah keheningan. Matanya menatap bintang yang paling terang di angkasa. Seolah berbicara padanya tentang apa yang sedang ia rasakan. "Gue boleh tanya sesuatu, Vi?"
Via menoleh pada Cakka. "Tanya apa?"
"Lo sudah punya pacar?" pertanyaan sekedar untuk memastikan agar Cakka yakin jika Alvin tak sekedar membual.
Via diam. Via tidak tahu harus menjawab apa. Via ingin berkata jika ia tak memiliki pacar, namun nyatanya ia terikat dengan Alvin. Ah. . .
"Gue--" Via menunduk, "sudah punya pacar." lanjutnya penuh keraguan.
Cakka menahan nafas sejenak. Jawaban yang tak ingin Cakka dengar karena rasanya begitu menyakitkan. Alvin benar-benar membuktikan ancamannya. Cakka tak mengerti sikap apa yang harus ia ambil.
"Gue telat ya?"
Ya. Batin Cakka berteriak.
"Telat gimana, Kka?" Via mendudukkan dirinya di bangku panjang di pinggir tiang lampu taman. Via khawatir jika saja ia tak kuat berdiri setelah mengetahui fakta-fakta mengejutkan berikutnya hanya karena pernyataan Cakka.
"Seharusnya gue bilang ini dari dulu. Salah gue yang pengecut. Salah gue yang takut lo ngga punya rasa yang sama kaya apa yang gue rasain."
"Kka. . ." jantung Via berdetak lebih cepat. Rentetan perkataan Cakka seperti mengarah pada-- ungkapan rasa cinta. Via tidak berani berharap.
Cakka duduk di samping Via. Matanya menancap di sepasang mata Via. Ingin rasanya Cakka menyalurkan perasaannya lewat tatapan mata. Namun Cakka sadar semuanya butuh rangkaian kata penjelas.
"Kalau gue bilang gue suka sama lo, lo mau ngga nerima gue jadi cowok lo?"
Degh
Via mematung tak mampu berkata. Rasanya separuh beban yang memberatkan punggungnya telah luruh bersamaan dengan ungkapan perasaan Cakka. Akhirnya Via bisa merasakan bagaimana leganya mengetahui rasa yang ia miliki terbalas. Namun separuh bebannya lagi terasa semakin berat. Via benci mengingat dirinya yang berstatus sebagai pacar Alvin. Jika bisa Via ingin berkhianat. Ingin sejenak mengecap indahnya hubungan sepasang kekasih yang sesungguhnya bersama Cakka.
"Gue--" Via terbata, masih bingung untuk memberi jawaban.
Cakka tersenyum miris. Cakka tahu ia tak memiliki kesempatan untuk menggandeng tangan Via dan mengajaknya berjalan bersisian dengan langkah seirama. Karena Alvin telah lebih dulu melakukannya.
"Ngga usah dijawab, Vi. Gue sudah tahu jawabannya. Lo pasti ngga bisa kan nerima gue? Lo kan sudah punya pacar." Cakka tertawa hambar. Menertawakan dirinya sendiri yang terlalu pengecut untuk mengungkapkan hingga kini sosok yang ia cintai jatuh ke pelukan Alvin. Jangan berpikir Cakka akan merebut Via dari Alvin. Karena Cakka akan berusaha merelakan meskipun separuh jiwanya memberontak. Meskipun begitu, Cakka akan terus menjaga Via. Cakka tahu ada motif lain dibalik Alvin yang menjadikan Via sebagai pacar. Yah, pembalasan. Cakka tidak ingin mengingat. Namun kesalahannya di masa lalu selalu membayangi Cakka. Cakka telah merebut sosok yang dicintai oleh Alvin di masa lalu. Haruskah Alvin merebut sosok yang dicintai oleh Cakka di masa kini?
Via ingin berkata tidak namun lidahnya terasa kelu. Entah mengapa bayangan wajah Alvin yang melintas di pikirannya membuat Via tak mampu mengatakan tidak pada Cakka. Padahal inilah yang Via tunggu-tunggu, ungkapan perasaan Cakka. Namun disaat momen ini datang, keadaan tak memungkinkan Via untuk menerima. Semua karena Via teringat akan perkataan Alvin tempo lalu. Meskipun Cakka menembaknya, Via tak bisa menerima Cakka karena Via masih terikat dengan Alvin. Alvin itu, penghancur harapan.
"Yuk, gue antar pulang." ada nada kegetiran yang berusaha Cakka sembunyikan. Cakka berdiri, lantas mengulurkan tangan. Via hanya mendongak menatap Cakka. Mata Via tampak berkaca namun tersamar oleh gelapnya malam. Cakka tak berani mengartikan selaput bening yang menyelubungi mata Via. Karena jika Cakka menafsirkannya sebagai kesedihan Via atas rasa cinta Via padanya yang tertunda, Cakka takut jika saja asumsinya salah. Atau justru air mata Via itu karena Via merasa kasihan pada Cakka.
"Gue boleh minta satu hal sama lo?" lirih Via.
Dengan senyum tenang seperti air menghanyutkan, Cakka menganggukkan kepala. Jangankan satu hal, apapun akan Cakka lakukan untuk Via. Jika itu bisa membuat rasa bersalah Cakka pada Via berkurang. Karena kesalahannya, kini Via telah dijadikan Alvin sebagai objek pembalasan.
"Pertahanin gue."
***
Alvin keluar dari kost ketika mendengar deru motor meninggalkan kostannya. Di teras kost sampingnya, Alvin melihat Via mematung tergugu dengan kedua bahu bergetar. Tanpa berpikir panjang Alvin langsung menghampiri Via.
"Vi, lo kena--"
"Ini semua gara-gara lo, tau ngga!"
Tiba-tiba saja Via berteriak. Telunjuknya mengacung ke arah Alvin. Air mata bercucuran di pipi Via. Wajahnya memerah menahan marah. Alvin terheran-heran dengan tingkah aneh Via yang tanpa Alvin tahu kesalahannya, tiba-tiba saja ia disalahkan. Penampilan Via juga tampak kacau, tak seperti sore tadi saat berangkat.
"Maksud lo apa sih? Gue salah apa sama lo sampai lo nyalahin gue?" Alvin ikut terbawa emosi. Memang Alvin tak terbiasa mendapat gertakan karena biasanya ialah yang menggertak. Dan disaat ada orang yang berani menggertaknya, Alvin pun merasa tak terima.
"Karena status gue sebagai pacar pura-pura lo itu, gue jadi ngga bisa bersatu sama Cakka!"
"Jadi--" Alvin tertegun. Apa maksud Via? Mungkinkah?
Alvin hendak meraih tangan Via namun dengan segera Via menepisnya. Tanpa sepatah kata, Via masuk kedalam kost tak lupa mengunci pintunya.
Alvin hanya memandangi kepergian Via. Berbagai pertanyaan masih berkelebat di kepala Alvin. Pertanyaan terbesar adalah, "Apakah Cakka sudah menembak Via?" jika ya, ini semakin memudahkan Alvin untuk melancarkan aksinya.
Yah, mungkin saat ini Via sedang menyesal meratapi keadaan. Namun besok Alvin akan meyakinkan Via jika keadaan yang sekarang justru sangat menguntungkan. Tentu saja sekedar bualan.
Alvin tersenyum iblis.
***
Part terakhir sebelum UTS dan sebelum kuota habis hehe
Yang kemarin minta Reuni Idola Cilik udah tak kasih ya. Maaf mengecewakan soalnya barangkali banyak yg ngga suka part tentang alv. Part selanjutnya soal icil divo insyaallah tapi ngga tau kapan wkwk tunggu aja ya
Vote lam komen kulo entosi(?)

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me Like You Do
Fiksi RemajaAlvin Pramuditya Anggara. Pentolan SMA Pelita. 3 kali dalam seminggu masuk ruang BP bersama dua sahabatnya, si kembar: Gabriel dan Rio. Alvin si trouble maker dipertemukan dengan Via, cewek asli Solo yang menyelamatkannya sewaktu tawuran. Sejak saa...