Bagian 03

32.3K 2.7K 46
                                    

Satu minggu. Selama satu minggu penuh aku tidak beranjak sama sekali dari kamar sejak kejadian teror itu. Dan selama satu minggu itu juga aku tidak ingin bertemu Ali, meskipun setiap hari dia datang ke rumah. Mencoba untuk tidak peduli apa yang akan dia lakukan karena sikapku sekarang. Mungkin, baginya ini belum seberapa. Tapi bagiku, ini benar-benar keterlaluan. Aku mengalami trauma saat harus keluar dari kamar, bayangan bangkai kucing itu selalu ada.
Sayangnya, hari ini aku harus kembali ke sekolah. Tidak mungkin juga aku mengurung diri di kamar terus-menerus.
Setelah meyakinkan diri sendiri dengan kata-kata mutiara yang aku buat sendiri, akhirnya aku keluar dari angkutan umum yang berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah yang menjulang tinggi. Perlahan tapi pasti, aku berjalan masuk ke dalam pelataran sekolah.
"Tenang, Prill. Kalau ada Ali, lo tinggal lari, masuk kelas, terus sembunyi di belakang Bintang atau Reno. Tenang...."
"Prilly!" Mampus. Aku memegang tali tasku dengan erat. Lari, Prill. Lari.
"Bintang!" Oh, Bintang. Lo adalah mantan penyelamat gue sekarang. Ya, hanya sekarang. Bintang menghampiri aku bersamaan dengan Ali yang juga sekarang ada di sampingku dan memegang tanganku erat. Aku berusaha melepaskan tangan Ali.
"Lepas! Aku mau ke kelas sama Bintang."
"Aku mau ngomong sama kamu."
"Nanti aja lah, Li. Gue sama Prilly ada janji sama anak-anak, sekali ajalah biarin Prilly sama kita." Aku tersenyum padanya, dia memberikan tatapan penuh arti padaku. Syukurlah, Bintang tahu situasi.
"Gue ada urusan penting sama cewek gue. Sorry, ya-"
"Ya elah, tenang aja kali, Prilly nggak bakal gue apa-apa in. Sebagai mantan dan sahabat yang baik gue pasti jagain dia. Yuk, Prill." Belum juga Bintang menarik tanganku tiba-tiba tubuhku sudah melayang. Dasar tidak tahu malu!
"ALI!!"
"Diam. Dan jangan pernah coba buat menghindar dari aku lagi, atau Bintang yang kali ini jadi korban keegoisan kamu." Dia berbisik.
"Aku? Egois? Nggak salah? Kamu yang egois!" Aku menjawab saat dia sudah mendudukkan aku di kursi taman sekolah, sementara dia sendiri berdiri di hadapanku.
"Aku minta maaf. Udah berapa kali aku-"
"Lalu, apa kamu pikir maaf kamu itu bisa hilangin rasa trauma aku? NGGAK! Kamu keterlaluan! Aku cuma minta Reno buat anterin aku pulang karena saat itu nggak ada taksi, bus, atau ojek yang lewat. Kalau nggak ada Reno, mungkin aku nggak akan selamat sampai rumah. Tapi ternyata, di rumah aku dapat kejutan yang benar-benar nggak bisa aku lupakan dari kamu."
"Jangan pernah membela cowok lain di depan aku, Prilly!"
"Aku nggak belain dia! Aku cuma jelasin apa yang sebenarnya terjadi. Bagus kan? Aku mau jujur sama kamu! Nggak kayak kamu, yang nggak pernah jujur sama aku!"
"Omongan kamu ngelantur ke mana-mana!"
"Aku cuma mau bebas, nggak terkekang kayak begini. Mau ini nggak boleh, mau itu nggak boleh, aku tuh capek, Li! Capek!"
Dia pikir hanya dia yang inginnya dituruti ini dan itu, bebas melakukan apa saja, sementara aku tidak boleh. Dia pikir hanya dia yang bisa menuntut, dan aku tidak? Aku juga punya hati dan perasaan sama seperti gadis di luar sana yang diperlakukan secara wajar oleh kekasihnya. Marah sewajarnya. Cemburu sewajarnya. Ali berlutut di hadapanku, dia memegang kedua tanganku lembut.
"Prilly, aku minta maaf buat kejadian kemarin. Aku tahu, aku keterlaluan. Aku nggak suka membagi apa pun yang menjadi milikku sama orang lain. Aku sayang sama kamu, maafin aku."
Dia menatapku tulus. Ah, dia ini. Aku membuang tatapanku dari matanya yang sialan menghipnotis itu. Dia berdiri lagi dan melepaskan genggamannya.

"Iya, aku maafin kamu. Tapi hari ini aku nggak mau sama kamu!"
"Tap-"
"Iya udah, kalau kamu nggak mau. Pokoknya aku maksa. Biarin hari ini aku bebas, hari ini aja. Pokoknya harus iya, titik." Aku pergi begitu saja setelah mengucapkan kalimat itu.
•••
"Gila, tumben apa nih, Miss school kita bisa diajak nongkrong?" Aku memutar bola mataku malas.
"Nggak usah ngeledek, deh. Bagus kan, kalau gue bebas dari Ali. Jadi, gue bisa full time sama kalian di luar sekolah."
"Lah, lo itu gimana sih, Prill? Kalau gue ya, rela deh seharian sama Ali terus. Siapa coba yang menolak kalau diajak full time sama cowok super perfect macam Ali." Kalau begitu, lo saja sana yang jadi pacarnya. Aku berucap dalam hati. Mereka tidak tahu saja, bagaimana rasanya tersiksa lahir batin menjadi kekasih psikopat bertopeng manusia sempurna itu. Masih untung aku masih hidup sampai sekarang.
"Prill, gimana sih rasanya jadi pacar most wanted?" Tersiksa.
"Biasa aja."
"Apa? Biasa aja? Gila, lo itu bego, ya?"
"Ya terus gue harus gimana, Vita?"
"Oh, gue tahu. Jangan-jangan lo belum bisa move on ya dari Bintang? Aduh, Prill... Ali sama Bintang itu mendingan Ali ke mana-mana, he is so perfect."
"Itu kan, menurut lo.  Menurut gue, Bintang itu jauh segalanya dari Ali. Mau tahu apa yang bikin gue nggak bisa move on dari Bintang?" Vita menggeleng polos, aku jadi ingin tertawa melihat ekspresinya. "Semuanya...."
"WHAT?"
"Ha ha ha. Serius muka lo lucu banget!!" Aku terbahak melihat wajahnya yang sedikit pucat. Eh? Pucat? "Muka lo biasa aja dong, Vit. Nggak usah pucat gitu." Aku tertawa lagi. Vita ini nggak bisa diajak bercanda.
"Apanya yang lucu?"
Cepat aku menengok ke belakang. Ali? Sejak kapan Ali ada di sini? Prilly, lo memang benar-benar cari mati.
"Al-"
"Aku ke sini mau jemput kamu aja, kok. Yuk, pulang! Vit, duluan nggak apa-apa, kan?"  Ali menarik tanganku begitu saja saat Vita mengangguk tidak keberatan.
Dia mendorongku sedikit kasar untuk masuk ke dalam mobil. Ini namanya, bercanda membawa petaka.
"Ka-kamu, sejak kapan-"
"Sejak kalian membandingkan aku sama Bintang." Jantungku seperti ingin lompat dari tempatnya.
"Ternyata Bintang masih tetap bersinar ya di hati kamu? Waw!"
"Aku tadi cuma bercanda, Li."
"Kamu udah terlalu sering bercanda kayak gitu. Basi! Jangan pernah berharap bisa balikan sama Bintang."
"Bintang." Aku menutup mulutku sendiri.
Tiba-tiba Ali makin kencang melajukan mobilnya.
"Li, jangan kencang-kencang. Aku takut!" Dia malah semakin menambah kecepatan mobilnya.
"Li!! Kamu ngapain, sih? ALI!!!"
"Kamu selalu sebut-sebut nama Bintang! Kalau kamu nggak bisa melupakan nama dia di pikiran kamu, akan lebih baik kalau dia hanya tinggal nama di hidup kamu!"
"ALI, JANGAN GILA! BINTANG NGGAK SALAH APA-APA! ALI!!!"
SRETT BRAK!!!
"BINTANGGGGGG!!!!!" Air mataku menetes begitu saja.
Mobil Ali terus melaju. Tanganku gemetaran meraih ponselku yang berada di dalam tas.
"Ha-halo... a-ambulance... tolong... tadi saya lihat ada korban tabrak lari di gang dekat jalan raya. Iya benar... tolong secepatnya!"
"MAU KAMU TUH, APA SIH?"
"AKU MAU HANYA AKU YANG ADA DI PIKIRAN KAMU! HANYA AKU YANG ADA DI HIDUP KAMU! AKU! HANYA AKU!" Aku makin terisak mendengar ucapannya.
"BINTANG NGGAK SALAH!!! KENAPA KAMU LAKUKAN ITU? GIMANA KALAU KEADAAN BINTANG PARAH? GIMANA? DAN- gimana kalau Bintang tahu kamu yang tabrak dia... dan semuanya gara-gara aku! Dia pasti benci banget sama aku, Li!!"
"Bagus! Itu bagus! Dengar, Prilly! Satu korban tumbang karena kamu! Jangan sampai aku bikin korban lain karena kesalahan kamu! Kamu nggak mau Bintang tahu? Baiklah. Kita akan buat semua orang nggak akan mencurigai kita. Dan satu hal, aku hanya menyerempet motornya sampai jatuh. Jadi, Bintang nggak akan kenapa-kenapa. Dan tindakan kamu yang memanggil ambulance itu sangat berlebihan." Stupid Prilly!
"DAN AKU NGGAK SUKA LIHAT KAMU MENANGIS KARENA KHAWATIR SAMA DIA! KAMU. HANYA. BOLEH. MENGKHAWATIRKAN. AKU. Siap?" Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaannya, siap? Siap apa? "Ayo, Sayang. Kita bikin mereka nggak curiga sama kita."
"Maksudnya?" Dia tersenyum sangat mengerikan. Mendadak suhu AC di dalam mobil terasa sangat dingin.
"Kita buat kondisi kita sama seperti kondisi Bintang."
BRUMMMM!!!!!!
"ALI!!!! AWAS!"

BRAK!

DUK!

"Ma-maaf...."

•••••Sabtu, 01 Oktober 2016

Psychopath Boyfriend [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang