Bulan Terang di Atas Loteng
Setiap kota tentu ada restoran, setiap restoran tentu berusaha dalam jangka panjang tentu mempunyai pelayanan yang istimewa, masakan yang khas.
Tapi tidak demikian dengan Ban-siu-kou ini, keistimewaannya adalah mahal, mau apapun yang tersedia disini, meski hanya sepiring nasi putih dan segelas teh juga harganya jauh lebih mahal dari restoran lain di manapun.
Manusia memang banyak cirinya, menghamburkan uang, bermuka-muka, menjaga gengsi merupakan salah satu ciri terlemah dari watak manusia. Oleh karena itu, suatu tempat yang memasang tarif tinggi, usaha dagangnya justru maju.
Waktu Yan Lam-hwi keluar dari Ban-siu-lou, melihat kudanya yang terikat di luar pintu, tak tertahan dia berteriak. Dua kaki betapapun tak lebih unggul dari enam kaki. Siapapun asal dia manusia pasti punya keinginan untuk membebaskan diri dari bayangan sendiri, bukankah inipun salah satu ciri dari manusia. Tapi waktu dia menarik tali kekang kuda sebelum berbuat lebih banyak, matanya tawanya seketika kuncup.
Karena begitu dia angkat kepala, matanya sudah melihat Pho Ang-soat. Pho Ang-soat berdiri di seberang jalan, mengawasinya dingin. Wajah yang pucat, sorot mata dingin, golok yang hitam.Yan Lam-hwi tertawa. Pantat kuda dipukulnya sekali, kuda lari pergi. Dia tetap berdiri di situ, dengan tersenyum dia mengawasi Pho Ang-soat. Lari kuda meninggalkan kepulan debu, bila debu sudah buyar tertiup angin baru dia menyeberang jalan menghampiri Pho Ang-soat, katanya tersenyum, "Akhirnya kau toh menyusulku juga. Karena siapa pun yang ingin kau kuntit, maka jangan harap orang itu dapat lolos."
Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.Yan Lam-hwi menghela nafas, katanya, "Untung aku ini bukan cewek, kalau dikuntit seketat ini, tidak ingin kawin dengan kau juga tidak mungkin."
Wajah yang pucat itu mendadak menampilkan rasa jengah, warna merah yang menakutkan, ternyata pelupuk matanya pun berkerut dan kedutan seperti menahan derita yang luar biasa. Entah ada derita apa yang menjadi kenangan dalam benaknya? Hanya sepatah kata kelakar yang tidak disengaja kenapa bisa membuatnya begitu merana?
Yan Lam-hwi segera tutup mulut, selamanya dia tidak suka melukai hati orang. Bila tanpa sengaja dia melukai hati orang, sanubarinya sendiripun akan ikut merasa sedih.
Maka kedua orang ini berdiri berhadapan di emper depan sebuah toko roti.Di dalam toko kebetulan ada seorang nenek tua kurus kering yang membawa dua bocah laki perempuan sedang memilih roti. Belum keluar pintu, kedua bocah itu sudah ribut minta makan roti, di mulut nenek itu berkata, "Di jalanan tidak boleh makan." Tak urung dia membuka bungkusan, merogoh keluar dua potong roti dan dibagikan kepada kedua cucunya.
Tak nyata setelah menerima roti kedua bocah itu malah makin ribut. Yang laki mencak-mencak dan berteriak, "Kenapa Siau Bing diberi roti yang lebih besar? Aku minta tukar."
Sudah tentu bocah perempuan itu tidak mau, bocah laki itu lantas memburu hendak merebut, yang perempuannya berlari kejar mengejar mengelilingi si nenek, mau mencegah juga kalah gesit, terpaksa si nenek hanya berkaok-kaok, menghela nafas serta geleng-geleng.
Anak perempuan larinya sudah tentu kalah gesit dan cepat, karena kewalahan berputar di sekitar badan sang nenek, akhirnya dia berlari ke belakang Yan Lam-hwi, menarik lengan baju Yan Lam-hwi seraya berseru, "Paman yang baik, tolonglah aku, dia ini perampok cilik."
Anak lelaki itu berteriak, "Mana bisa paman ini membantu kau, kita kan sama-sama laki, biasanya lelaki membantu lelaki."
Yan Lam-hwi tertawa, walau nakal tapi kedua anak ini kelihatan pintar dan lincah jenaka. Yan Lam-hwi juga pernah mengalami masa kanak-kanak, masa kanak-kanak adalah masa keemasan, masa yang tiada arti duka-lara dan masa kanak-kanak takkan pernah kembali lagi, teman bermain sejak kecil yang tak pernah terlupakan dalam benaknya, entah sekarang sudah menikah dengan siapa.
Dari kenakalan kedua bocah laki perempuan ini, seolah-olah dia melihat masa lampau waktu dirinya juga masih kanak-kanak dulu, mendadak hatinya diliputi rasa hangat, mesra tapi juga mendelu, tanpa sadar dia menarik kedua bocah itu serta berkata lembut, "Kalian jangan ribut, biar paman membelikan roti pula untuk kalian, setiap orang sepuluh buah."
Berseri wajah kedua bocah itu, seri tawa jenaka yang riang, berebut kedua orang ini memeluknya, Yan Lam-hwi juga mengulur tangan, seorang satu hendak dipeluknya.
Pada saat itulah sinar golok berkelebat, Pho Ang-soat yang selamanya tidak sembarangan mengeluarkan senjatanya, mendadak mencabut goloknya. Begitu sinar golok menyambar, roti yang dipegang kedua bocah itu sudah tertabas jatuh di tanah menjadi dua potong.
Kejadian yang mendadak itu keruan membuat kedua anak itu kaget terpana, dengan menangis keras mereka berlari balik ke samping sang nenek.
Yan Lam-hwi sendiri juga tertegun, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan apa-apa.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, "Sekarang baru aku mengerti, kecuali untuk membunuh orang golokmu itu masih ada pula gunanya."
"Hm," Pho Ang-soat hanya mendengus dalam tenggorokan.
"Golokmu inipun berguna untuk menakuti bocah."
"Ya, tapi aku hanya menakuti satu macam bocah."
"Bocah macam apa?"
"Bocah yang berani membunuh orang."
Kembali Yan Lam-hwi melengak, perlahan dia menoleh, dilihatnya si nenek sedang menyurut mundur sambil memeluk kedua anak itu. Kedua bocah itu tidak menangis lagi, matanya terbeliak, dengan penuh kebencian mereka melotot kepada Yan Lam-hwi. Terpancar cahaya kebencian dan dendam kesumat dari sinar matanya.
Yan Lam-hwi menundukkan kepala, hatinya juga seperti tenggelam, dari dalam roti yang tertabas jatuh di tanah ternyata memancarkan cahaya gemerlap. Waktu dia memungut setengah potong di antaranya, segera dia mendapatkan di dalam roti ternyata berisi sebuah bumbung kecil berisi jepretan jarum, itulah Ngo-tok-hwi-ciam, jarum terbang yang mengandung panca bisa. Laksana burung terbang, mendadak dia melesat ke depan dan berdiri di depan nenek itu, katanya, "kau inikah Kwi-gwa-po?"
Nenek itu tertawa, wajahnya yang kecil dan tirus itu mendadak berubah bengis menyeringai, katanya, "Sungguh tak nyana ternyata kau tahu juga tentang diriku."
Yan Lam-hwi menatapnya lama, katanya kemudian, "Tentu kau juga tahu aku punya semacam kebiasaan?"
"Kebiasaan apa?"
"Selamanya tidak pernah membunuh perempuan."
"Itu kebiasaan baik."
"Walau kau sudah tua, jelek-jelek kau juga perempuan." Kwi-gwa-po menghela napas, katanya, "Sayang kau tidak pernah melihat tampangku waktu masih muda, kalau tidak ..."
"Kalau tidak, aku tetap akan membunuhmu," desis Yan Lam-hwi.
"Masih segar dalam ingatanku, barusan kau bilang selamanya tidak pernah membunuh perempuan."
"Tapi kau boleh dikecualikan."
"Kenapa aku harus dikecualikan?"
"Anak-anak masih berjiwa polos dan bersih, tak pantas kau memperalat mereka, kau menyia-nyiakan masa depan mereka."
Kwi-gwa-po tertawa lagi, tawa yang menakutkan, katanya, "Nenek yang baik sayang kepada cucunya, anak-anak itu juga senang mengerjakan sesuatu untuk neneknya, memangnya apa sangkut-pautnya dengan kau."
Yan Lam-hwi bungkam, dia segan membicarakan soal ini, dia sudah menggenggam gagang pedang. Pedang yang merah, merah bagai darah segar.
Kwi-gwa-po menyeringai, katanya, "Orang lain takut terhadap Jio-hwi-kiam, aku...."
Ternyata dia tidak meneruskan ucapannya, mendadak sebungkus roti yang dipegang dibantingnya ke tanah dengan gregetan.
"Blam", ledakan cukup keras menimbulkan kepulan asap dan debu, dibarengi sinar bintik-bintik.
Yan Lam-hwi bersalto di tengah udara, mundur dua tombak jauhnya.
Setelah asap dan debu buyar tertiup angin, bayangan Kwi-gwa-po dan kedua bocah itu sudah tidak kelihatan lagi, tanah dimana tadi mereka berpijak sudah berlubang besar. Orang-orang merubung maju, lekas sekali mereka pun bubar, tiada tontonan yang bisa mereka saksikan di sini.
Yan Lam-hwi masih berdiri menjublek, lama sekali baru dia berputar ke arah Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tetap bersikap dingin laksana es.
Akhirnya Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Kali ini kau tidak meleset juga."
"Jarang sekali aku meleset."
KAMU SEDANG MEMBACA
Peristiwa Bulu Merak (The Bright Moon / The Sabre) - Khu Lung
General FictionLanjutan Mo-kau Kaucu, seri keempat dari Pisau Terbang Li. Cerita ini berkisah tentang seorang pendekar yang kakinya cacat, namun memiliki ilmu golok yang tiada bandingan di zamannya. Suatu kali dia mengalahkan seorang jago pedang. Di sinilah kisah...