Khong-Jiok-San-Ceng
Wajah manusia memangnya juga sebuah topeng, topeng yang mudah berubah menyesuaikan situasi dari yang empunya.
Siapa pula yang dapat menebak rahasia yang terbenam di dalam sanubari orang dari mimik mukanya? Adakah topeng yang benar-benar bagus sebagus wajah manusia? Manusia yang punya kedudukan makin tinggi yang terpandang dan diagungkan, dengan adanya topeng yang dikenakan di wajahnya justru makin sukar orang melihatnya.
Waktu berhadapan dengan Jiu Cui-jing, dalam hati Bing-gwat-sim bertanya kepada diri sendiri, "Topeng macam apakah yang dikenakan di mukanya?"Peduli topeng apa yang dipakainya, bahwa majikan Khong-jiok-san-ceng sendiri keluar menyambut kedatangan mereka, betapapun adalah suatu hal yang menggembirakan.
Bulu merak yang indah, Khong-jiok-san-ceng nan megah.Gentingnya berwarna hijau pupus, ditimpa sinar mentari menjelang magrib kelihatan lebih mengkilap laksana zamrud, undakan panjang yang bersusun seindah batu jade masuk melalui tembok-tembok tinggi laksana emas, tempat ini seolah-olah tersusun dari kepingan-kepingan mutiara atau permata lainnya.
Di bawah pohon dalam taman, beberapa ekor merak sedang mondar-mandir, di tengah empang angsa sedang berenang santai. Beberapa gadis berpakaian kain kembang warna-warni berjalan-jalan di atas rerumputan yang empuk, menghilang di tengah gerombolan kembang, lenyap ditelan keindahan taman yang berwarna-warni.
Hembusan angin membawa bau harum yang memabukkan, di kejauhan seperti ada seorang meniup seruling, mayapada ini seperti diliputi kedamaian.
Tiga lapis pintu besar di luar maupun di dalam perkampungan terpentang lebar, tiada seorang pun yang menjaganya.Jiu Cui-jing berdiri di undakan terbawah di depan pintu, mengawasi Pho Ang-soat dengan tenang. Dia seorang yang serba hati-hati, serba kolot, bicara atau bekerja pantang membocorkan rahasia, umpama hatinya amat senang, juga tidak pernah diperlihatkan di wajahnya.
Melihat kedatangan Pho Ang-soat, dia hanya tertawa tawar, sapanya, "Aku tidak menduga kau bakal kemari, tapi kedatanganmu memang kebetulan."
"Kenapa kebetulan?" tanya Pho Ang-soat."Malam ini tempat ini akan kedatangan tamu, kebetulan bukan tamu sembarangan."
"Siapa?"
"Kongcu Gi."
Pho Ang-sot mengancing mulut, wajahnya tidak menampilkan perubahan perasaan, demikian pula Bing-gwat-sim ternyata juga adem-ayem.
Jiu Cui-jing meliriknya sekali lalu mengawasi Yan Lam-hwi yang digotong masuk.
"Mereka ini temanmu?" tanyanya.
Pho Ang-soat tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal. Bahwasanya mereka kawan atau lawan? Mereka sendiri pun sukar membedakan.
Ternyata Jiu Cui-jing juga tidak banyak bertanya, sedikit miringkan tubuh dia berkata, "Silakan, silakan masuk."
Dua orang menggotong Yan Lam-hwi menaiki undakan panjang, Bing-gwat-sim mengikut di belakang, tiba-tiba dia berhenti menatap Jiu Cui-jing, katanya, "Kenapa Cengcu tidak bertanya untuk apa kami kemari?"
Jiu Cui-jing menggeleng kepala. Kalau kalian adalah teman Pho Ang-soat, maka aku tidak perlu bertanya, kalau tidak mau bertanya, maka tak usah buka mulut. Biasanya dia memang tidak suka berbicara.
Bing-gwat-sim justru tidak mau menutup mulut, katanya, "Umpama Cengcu tidak bertanya, akulah yang akan menerangkan."
Karena dia bicara, terpaksa Jiu Cui-jing mendengarkan.
"Kedatangan kami kemari, pertama, untuk menyembunyikan diri dari bencana, kedua, mohon pengobatan, entah Cengcu sudi tidak memeriksa dulu penyakitnya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Peristiwa Bulu Merak (The Bright Moon / The Sabre) - Khu Lung
General FictionLanjutan Mo-kau Kaucu, seri keempat dari Pisau Terbang Li. Cerita ini berkisah tentang seorang pendekar yang kakinya cacat, namun memiliki ilmu golok yang tiada bandingan di zamannya. Suatu kali dia mengalahkan seorang jago pedang. Di sinilah kisah...