Ma Gun berdiri di pinggir pagar berukir di atas loteng, terhadap sesuatunya kelihatan amat puas. Tempat itu adalah gedung megah yang mentereng dengan panjang dan hiasan yang cukup mewah dan antik. Perabotnya serba kuno dan bernilai tinggi, setiap meja kursi terukir dari kayu pilihan, pecah-belah yang dipakai di sini seluruhnya terbuat dari pabrik keramik yang terkenal di kota King-tek-tin.
Tamu-tamu yang makan minum di sini semua adalah pejabat tinggi, hartawan atau orang-orang terkenal yang punya pengaruh. Padahal tarip di restoran ini satu kali lipat lebih mahal dari restoran termahal manapun dalam kota ini, tapi Ma Gun tahu tamu-tamunya itu tidak memikirkan tarip tinggi, karena kemewahan adalah kegemaran mereka, foya-foya adalah kenikmatan hidup bagi mereka yang kantongnya tebal, asal mereka puas oleh service memuaskan, tidak sayang mereka merogoh kantong membayar mahal.
Seperti biasanya dia memang paling suka berdiri di tempat itu, mengawasi orang-orang yang kelihatannya berduit, punya pangkat dan terpandang mondar-mandir di bawah kakinya, sehingga selalu dia merasakan dirinya jauh berada di atas mereka.
Padahal perawakannya tidak genap lima kaki, namun perasaan bangga itu selalu membuatnya mabuk kepayang, beranggapan bahwa dirinya satu kepala lebih tinggi dari orang lain, karena dia suka menikmati perasaannya ini.
Ternyata Ma Gun juga senang melakukan tindakan atau perbuatan yang dipandang luhur dan disegani, seumpama dia amat senang memegang kekuasaan. Tapi satu hal yang membuatnya selalu risau adalah Toh Cap-jit yang tidak mau mampus itu.
Bila Toh Cap-jit sudah minum arak, seperti tidak menghiraukan jiwanya lagi, bila dia berjudi, dia pun seperti tidak peduli akan raganya, apalagi bila berkelahi, jiwa raga pun dipertaruhkan seolah-olah dia punya jiwa rangkap sembilan.
"Umpama betul dia punya jiwa rangkap sembilan, aku tidak akan membiarkannya hidup lewat tanggal tujuh belas," Ma Gun sudah bertekad bulat, untuk melaksanakan tekadnya ini dia sudah mengatur rencana secara cermat. Cuma sayang dia sendiri tidak punya pegangan bahwa rencana ini yakin pasti berhasil. Bila memikirkan hal ini, selalu hatinya risau, masgul. Untunglah pada saat itu, orang yang dinantikannya sudah datang.
Orang yang ditunggunya ini bernama To Ceng, untuk memanggil To Ceng dari kotaraja dia berani merogoh kantong sebanyak tiga laksa tahil perak, To Ceng diundang untuk membunuh Toh Cap-jit.Nama To Ceng tidak begitu terkenal di kalangan Kangouw, karena terkenal merupakan pantangan besar bagi tugas dan profesinya. Memang yang dikejarnya bukan terkenal, bukan nama, tapi kekayaan.
To Ceng adalah pembunuh bayaran, imbalan untuk setiap tugas yang harus dia lakukan paling rendah adalah tiga laksa tahil perak. Pembunuh bayaran adalah suatu usaha misterius yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala, bagi setiap pembunuh yang berprofesi dalam bidangnya ini, dia pun pantang publikasi atau mengagulkan diri di depan umum.
Maka di dalam kalangan mereka sendiri, To Ceng adalah orang yang ternama, seorang jagoan, maka tuntutan imbalannya jauh lebih tinggi dari orang lain, karena belum pernah dia gagal membunuh orang.
Perawakan To Ceng tujuh kaki, kulitnya hitam kurus, sepasang matanya bercahaya seperti tajamnya mata elang. Baju yang dipakainya selalu dari bahan mahal, bikinan tukang jahit terkenal, namun warnanya tiada yang segar. Sikapnya dingin tabah, tangannya menjinjing sebuah buntalan panjang berwarna kelabu. Jari-jari tangannya kering bersih dan mantap, semua persyaratan ini amat mencocoki profesinya, sehingga orang akan merasa lega dan mantap meski megeluarkan tarip yang tinggi sebagai imbalannya.
Terhadap persoalan ini kelihatan Ma Gun juga amat puas.
To Ceng sudah mencari tempat duduk di sudut sana, jangan kata mengangkat kepala, melirik pun tidak.Gerak-geriknya selalu dirahasiakan, pantang bagi dirinya bila orang tahu bahwa antara dirinya dengan Ma Gun sudah terikat oleh suatu kerja sama, maka besar pantangannya, supaya tiada orang tahu untuk apa dia datang kemari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Peristiwa Bulu Merak (The Bright Moon / The Sabre) - Khu Lung
General FictionLanjutan Mo-kau Kaucu, seri keempat dari Pisau Terbang Li. Cerita ini berkisah tentang seorang pendekar yang kakinya cacat, namun memiliki ilmu golok yang tiada bandingan di zamannya. Suatu kali dia mengalahkan seorang jago pedang. Di sinilah kisah...